BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Karya sastra merupakan hasil karya cipta
manusia yang mengandung daya imajinasi dengan menggunakan bahasa sebagai
medianya. Menurut Wellek dan Warren (1993:14) bahasa adalah bahan baku
kesusastraan, seperti batu dan tembaga untuk seni patung, cat lukisan, dan bunyi untuk seni musik, sehingga diperlukan
bahasa sebagai media penyampaiannya. Sastra sebagai karya imajinatif, memiliki
acuan berupa dunia fiksi atau imajinasi. Sastra lahir dari proses kegelisahan
sastrawan atas terjadinya ketegangan atas kebudayaannya. Sastra sering juga
ditempatkan sebagai potret sosial. Sebuah
karya sastra berfungsi mengungkapkan
kondisi masyarakat pada masa tertentu. Dengan
demikian, karya sastra akan memancarkan semangat
zamannya dan memberi pemahaman yang khas atas situasi sosial, kepercayaan dan
harapan-harapan individu yang sesungguhnya mempresentasikan kebudayaan
bangsanya. Sastra menyajikan dunia dalam kata, yang bukan dunia sesungguhnya,
namun dunia yang “mungkin” ada.
Selain bercirikan keindahan, sebuah
karya sastra haruslah memiliki kegunaan. Dalam hal ini fungsi sastra bagi
manusia, yaitu sebagai kesenangan dan manfaat. Kedua sifat tersebut saling
mengisi. Kesenangan yang diperoleh melalui pembacaan karya sastra bukanlah
kesenangan ragawi, melainkan kesenangan yang lebih tinggi, yaitu kesenangan
kontemplasi yang tidak mencari keuntungan. Sedangkan manfaatnya adalah
keseriusan yang menyenangkan, keseriusan estetis, dan keseriusan persepsi.
Selain itu sastra juga memiliki fungsi katarsis, yaitu membebaskan pembaca dan
penulisnya dari tekanan emosi.
Karya sastra jika dilihat dari bentuknya
dibagi menjadi tiga yaitu, drama, puisi, dan prosa. Menurut Rahmanto (1988: 89-90), drama bukan hanya
pemaparan atau diskusi tentang peristiwa kehidupan yang nyata, tetapi drama
lebih merupakan penciptaan kembali kehidupan nyata seperti pendapat Aristoteles
(dalam Rahmanto,1988: 90) yaitu peniruan gerak yang memanfaatkan unsur-unsur
aktivitas nyata. Bentuk karya sastra yang kedua adalah puisi. Puisi adalah
pendramaan pengalaman yang bersifat penafsiran bahasa berirama (Altenbernd
dalam Rahmad Djoko Pradopo, 2005: 5-6). Kepuitisan sebuah puisi dapat dicapai
dengan bermacam-macam cara, misalnya dengan bentuk visual: tipografi, susunan
bait dengan bunyi: persajakan, asonansi, aliterasi, kiasan bunyi, dan lambang
rasa (Rahmad Djoko Pradopo, 2005: 13). Selain drama dan puisi, karya sastra
yang lain adalah prosa. Menurut Burhan
Nurgiyantoro (1994: 2) prosa dalam pengertian
kesastraan juga disebut fiksi (fiction), teks naratif (narrative text)
atau wacana naratif (narrative discouce). Karya fiksi menyaran pada suatu karya
yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak
ada dan terjadi sungguh-sungguh sehingga perlu dicari kebenarannya pada dunia
nyata. Istilah fiksi sering dipergunakan dalam pertentangannya dengan realitas
yang terjadi di dunia nyata sehingga kebenarannyapun dapat dibuktikan dengan
data empiris. Ada tidaknya, atau dapat tidaknya sesuatu yang dikemukakan dalam
karya sastra dibuktikan secara empiris antara lain yang membedakan karya fiksi
dengan karya nonfiksi. Tokoh, peristiwa, dan tempat yang bersifat imajinatif,
sedang pada karya nonfiksi bersifat faktual.
Menurut
Julia Kristeva (1994: 54) bahwa intertekstual mempunyai prinsip. Prinsip
ini berarti bahwa setiap teks sastra dibaca dan harus dibaca dengan latar
belakang teks-teks lain; tidak ada sebuah teks pun yang sungguh-sungguh
mandiri, dalam arti bahwa penciptaan dan pembacaannya tidak dapat dilakukan
tanpa adanya teks-teks lain sebagai contoh, teladan, kerangka; tidak dalam arti
bahwa teks baru hanya meneladan teks lain atau mematuhi kerangka yang telah diberikan terlebih dahulu; tetapi dalam
arti bahwa dalam penyimpangan dan transformasi pun model teks yang sudah ada
memainkan peranan yang penting; pemberontakan atau penyimpangan mengandalkan
adanya sesuatu yang dapat diberontaki dan disimpangi. Pemahaman teks baru memerlukan latar belakang
pengetahuan tentang teks-teks yang mendahuluinnya (Teeuw, 1984: 144).
Prinsip intertekstual yang utama adalah prinsip
memahami dan memberikan makna karya yang bersangkutan. Karya itu diprediksikan
sebagai reaksi, penyerapan, atau transformasi dari karya-karya yang lain.
Intertekstual lebih dari sekedar pengaruh, ambilan, atau jiplakan, melainkan
bagaimana kita memperoleh makna sebuah karya secara penuh dalam kontrasnya
dengan karya lain yang menjadi hipogramnnya (Burhan Nurgiyantoro, 1994: 54).
Karya sastra memang tidak secara
langsung mendidik pembacanya, namun karya sastra menampilkan citra energetis
yang secara langsung berpengaruh terhadap kualitas emosional, yang kemudian
berpengaruh terhadap kualitas lain, misalnya pendidikan, pengajaran, etika,
budi pekerti, dan sistem norma yang lain. Dalam konteks itulah, mempelajari
sastra suatu bangsa pada hakikatnya tidak berbeda dengan usaha memahami
kebudayaan bangsa yang bersangkutan.
Seiring
dengan perkembangan peradaban dunia, sebuah karya sastra akan memiliki prestise
yang semakin
dihargai. Dalam hal ini, sebuah karya sastra
akan berada dalam sebuah persaingan yang akan menunjukkan kualitas karya
tersebut. Di
sisi lain, masyarakat yang merupakan konsumen sastra akan membaca serta menelaah
karya-karya yang memiliki nilai
guna bagi dirinya serta bagi lingkungannya.
Namun pada kenyataanya,
karya sastra masih jarang dinikmati oleh masyarakat. Hal ini terjadi karena
masyarakat kurang mengetahui nilai estetis sebuah karya sastra.
Keprihatinan ini menggerakkan kami untuk
mengadakan sebuah acara bernama “Seminar Novel Sepatu Dahlan”, yang bertemakan
“Kemilau Mimpi Anak Bangsa”. Novel
Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara merupakan
novel pertama dari trilogy novel Sepatu Dahlan
yang menggambarkan fenomena kehidupan kaum bawah. Novel ini menggambarkan
gejala-gejala alam termasuk segala sesuatu yang terjadi dalam masyarakatnya
khususnya kehidupan rakyat kalangan bawah.
Tidak hanya menampilkan fenomena alam dan gejala masyarakat baik berupa
tingkat sosial ekonomi, pendidikan,
kesehatan, tetapi novel ini
memiliki nilai-nilai historis.
Khrisna Pabichara menuangkan
nilai-nilai historis
dalam Sepatu Dahlan secara halus,
bagaimana kehidupan kaum bawah yang berada
dibawah tekanan para tokoh politik yang haus akan kekuasaan.
Pengkajian terhadap novel tersebut
dengan menganalisis struktur yang ada dalam novel tersebut serta mencari
nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam novel tersebut. Sehingga akan
memberikan jawaban permasalahan dan
mempermudah dalam memahami novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara sebagai
salah satu bentuk apresiasi terhadap karya sastra.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka perumusan masalah
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana kepaduan struktur
pembangun novel Sepatu Dahlan?
2. Bagaimana
nilai pendidikan dalam novel Sepatu
Dahlan?
C.
Tujuan Penelitian
Tujuan dilaksanakan
penelitian ini adalah sebagai berikut
:
1. Mengetahui
struktur pembangun novel Sepatu Dahlan.
2. Mengetahui
nilai pendidikan dalam novel Sepatu Dahlan.
D.
Manfaat Penelitian
Manfaat
dilaksanakan penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Meningkatkan
kemampuan menganalisis struktur
pembangun pada novel.
2. Menanamkan
nilai-nilai yang tersirat dalam sebuah novel.
3. Meningkatkan
minat baca terhadap karya sastra Indonesia, khususnya generasi muda.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Analisa
Unsur Instrinsik dan Ekstrinsik Novel Sepatu Dahlan
1. Unsur-unsur
Instrinsik
Unsur-unsur
intrinsik adalah unsur-unsur pembangun karya sastra yang dapat ditemukan di
dalam teks karya sastra itu sendiri.
Dalam
hal ini, unsur intrinsik memiliki pemahaman yang berbeda dengan analisa
intrinsik. Analisis intrinsik adalah mencoba memahami suatu karya sastra
berdasarkan informasi-informasi yang dapat ditemukan di dalam karya sastra itu
atau secara eksplisit terdapat dalam karya sastra. Hal ini didasarkan pada
pandangan bahwa suatu karya sastra menciptakan dunianya sendiri yang berbeda
dari dunia nyata. Segala sesuatu yang terdapat dalam dunia karya sastra
merupakan fiksi yang tidak berhubungan dengan dunia nyata. Karena menciptakan
dunianya sendiri, karya sastra tentu dapat dipahami berdasarkan apa yang ada
atau secara eksplisit tertulis dalam teks tersebut. Unsur intrisik sebuah novel
mencakup tema, latar/setting, alur/plot, penokohan/perwatakan, sudut pandang,
amanat, konflik dan gaya bahasa.
a. Tema
Tema adalah gagasan, ide, atau pikiran
utama yang mendasari suatu karya sastra. Oleh karena itu dapat disimpulkan
bahwa tema dapat dipandang sebagai dasar cerita, gagasan dasar umum, sebuah
karya novel. Tema dalam sebuah karya sastra, fiksi, hanyalah
merupakan salah satu dari penjumlahan
unsur pembangun cerita yang lain, yang secara bersama membentuk sebuah
kemenyeluruhan. Bahkan eksistensi tema itu
sendiri amat bergantung dari berbagai unsur yang lain. Hal itu
disebabkan tema, yang notabene hanya berupa makna atau gagasan dasar umum suatu
cerita, tak mungkin hadir tanpa unsur bentuk yang menampungnya. Dengan
demikian, sebuah tema baru akan menjadi makna cerita jika ada keterkaitannya
dengan unsur-unsur cerita lainnya (Burhan Nurgiyantoro, 1994: 74).
Ada beberapa macam tema, yaitu
1) Tema sentral
Tema sentral dalam novel ini yaitu Mimpi dan Cita-cita. Secara
umum dalam novel ini, pengarang ingin mengungkapkan masalah sosial khususnya kemampuan seseorang untuk memenuhi keinginan dan
kebutuhan hidupnya dengan menempuh berbagai cara. Khrisna Pabichara mengungkapkan
bagaimana upaya yang dilakukan seorang
anak “Dahlan Iskan” untuk menggapai mimpi dan cita-citanya berupa sepatu dan
sepeda. Tema ini dibuktikan pada penggalan :
“Aku terperangah
memandangi kejadian tak disangka-sangka itu. Kaus tim adalah impian lama kami,
dan tiba-tiba saja tergeletak di depan kami.”(Khrisna Pabhicara, 2012: 227)
“Mimpi-mimpi
itu, seandainya sepatu dan sepeda tak layak di sebut cita-cita, tak jauh
berbeda dengan mimpi-mimpi anak-anak di kampungku. Bedanya, sepenuh daya aku
berusaha meraih mimpi-mimpi itu, dan tak berhenti sampai benar-benar aku
memilikinya. Kalupun ada anak-anak lain yang punya mimpi berbeda, pasti
Kadirlah orangnya. Dia bermimpi punya gitar dan dia korbankan seekor domba
kesayangannya demi mewujudkan mimpi itu.barangkali mimpi anak-anak miskin di
mana-mana sama, sederhana. Manakal mimpi itu sudah kupenuhi, anehnya aku merasa
ini bukan akhir dari keinginan yang hendak kupenuhi.ada mimpi barau, mimpi yang
tiba-tiba saja ingin kupenuhi, bias makan setiap kali perut melilit-lilit
karena kelaparan. Mimpi ini, mungkin, seperti sepatu dan sepeda, juga
sederhana. Tak ada yang aneh, apalagi ajaib.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 338)
“Demikianlah,
hari ini aku menyadari bahwa sepatu dan sepeda bukanlah cita-cita atau mimpi
besar yang sebenarnya bagiku. Tetapi, aku belum tahu apa cita-cita atau mimpi
yang lebih besar dari sepatu atau sepeda itu.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 339)
2) Tema sampingan
Khrisna Pabichara mengungkapkan kehidupan keluarga “Dahlan Iskan” dalam
kondisi kesederhanaanya, dimana antaranggota keluarga saling menyayangi satu
sama lain, dan mengingatkan apabila salah satu diantaranya melakukan tindakan
yang merugikan orang lain. Hal ini dibuktikan pada penggalan :
“Ada sesuatu yang jauh lebih kuinginkan, kasih
sayang. Dengan luka anak kecil, aku menolak niat Mbak Atun untuk merantau ke
Kalimantan, menceritakan kejadian yang mungkin akan menimpa kami – aku, Zain, dan Bapak – berharap Mbak Atun
mengurungkan niat besarnya itu, tetapi akhirnya Mbak Atun tetap memilih pergi.
Aku ceritakan kepada siapa pun kegetiran yang kucemaskan ketika Ibu sakit dan
kemudian pergi jauh, tetapi tak ada yang mampu menjelaskan dengan baik kenapa
seseorang bisa pergi dan bila yang pergi itu akan kembali. Aku ceritakan kepada
Bapak keinginanku untuk menuntut ilmudi sekolah yang aku idamkan, tetapi Bapak
punya keinginan lain dan sebagai anank aku harus menuruti keinginan itu – meski
belakangan aku tahu, Bapak menginginkan yang terbaik bagiku.” (Khrisna Pabhicara,
2012: 339)
“Dan, ada
beberapa waktu, berkali-kali, aku merindukan kehadiran mereka. Disiplin keras
dan didikan tegas Bapak menjelaskan kepadaku bahwa tidak ada sesuatu yang bias
kupandang enteng, dan dari sana bermula nikmat kebersahajaan – sebagai anak
yang dibesarkan oleh lengan-lengan kemiskinan – yang sering kurindukan setiap
kali Bapak jauh dariku.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 339-340)
Persahabatan tulus anak-anak miskin diungkapkan dengan baik oleh
pengarang. Persahabatan ini membuahkan banyak kejadian-kejadian tak terduga dan
menjadi motivator anak-anak untuk terus berupaya menjalani kehidupan dengan apa
adanya. Bukti penggalan novel :
“Kami berhenti
menunggu Maryati dan Rombongan mendekat. ‘Ini.’ Seru Maryati sembari
menyodorkan sepasang sepatu yang terbungkus kain merah.” (Khrisna Pabhicara,
2012: 267)
“Tiga laki-laki
dan dua perempuan di hadapanku seperti sepakat memandang ke masa silam. Kadir baru
saja merampungkan lagu yang dia dendangkan, lagu yang dia gubah sendiri
syairnya. Lagu tentang persahabatan sejati tanpa memandang asal-muasal. Lagu
yang diilhami oleh persahabatan kami— Arif, Imran, Maryati, Komariyah, dia, dan
aku— dan berharap persahabatan kami tidak berakhir di sini, di masa-masa akhir
Madrasah Aliyah Pesantren Sabillil Muttaqien.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 340)
“Tuhan
memberkati hidupku lewat pertemuan dan pertemanan yang hebat.” (Khrisna
Pabhicara, 2012: 344)
b. Penokohan dan Perwatakan
Tokoh dan watak tokoh mempunyai kaitan yang
erat. Tokoh-tokoh yang memiliki watak akan menyebabkan
terjadinya konflik, yang kemudian konflik tersebut akan menghasilkan sebuah
cerita. Tokoh cerita menurut Abrams
(dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005:165)
adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang
oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu
seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.
Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan,
amanat, moral atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca
(Burhan Nurgiyantoro, 2005: 167). Artinya tokoh cerita hanyalah alat penyampai
pesan atau bahkan merupakan refleksi pikiran, sikap, pendirian, dan
keinginan-keinginan pengarang.
Secara
garis besar, tokoh yang menyebabkan konflik disebut tokoh protagonis dan tokoh
antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang mendukung jalannya cerita sebagai
tokoh yang mendatangkan simpati atau tokoh baik. Tokoh antagonis merupakan
kebalikan dari tokoh protagonis adalah tokoh yang menentang arus cerita atau
yang menimbulkan perasaan anti atau benci pada diri pembaca. Konflik antara
kedua tokoh ini berkembang terus. Karena itu, kedua jenis tokoh ini menguasai
(mendominasi) keseluruhan cerita. Kedua jenis tokoh ini dapat diklasifikasikan
sebagai tokoh sentral yang berarti tokoh-tokoh yang dipentingkan atau
ditonjolkan atau menjadi pusat penceritaan (Herman J. Waluyo dan Nugraheni Eko
Wardani, 2009: 28-29).
Untuk
mempermudah menganalisis tokoh maka dibuat tabel pembagian tokoh. Tabel
pembagian tokoh dalam novel Sepatu
Dahlan dapat dilihat dalam tabel dibawah ini.
No
|
Pembagian Tokoh
|
|||
Protagonis
|
Antagonis
|
Tritagonis
|
Tambahan
|
|
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
|
Dahlan
Iskan
|
Bapak
|
Ibu
Zain
|
Mbak Atun
Mbak
Sofwati
Ustaz
Ilhamm
Ustaz
Hamim
Kadir
Aisha
Maryati
Komariyah
Imran
Arif
|
Berikut deskripsi karakteristik
beberapa tokoh yang terdapat
dalam novel Sepatu Dahlan
karya Khrisna Pabichara :
a)
Dahlan Iskan
Dahlan Iskan adalah tokoh utama
sekaligus tokoh protagonis dalam novel Sepatu
Dahlan. Tokoh ini adalah tokoh yang sering kali muncul dan
mendominasi cerita. Pengarang
menggunakan teknik analitik
dalam pelukisan tokoh. Dahlan Iskan
dilukiskan sebagai seorang anak dari sebuah keluarga miskin yang selalu bekerja
setiap hari untuk mendapatkan upah yang akan digunakan untuk membeli barang
idamannya yaitu sepatu dan sepeda. Kutipan yang
menjelaskan watak Dahlan Iskan :
“...: setelah
sholat Subuh sudah harus menyabit rumput, terus ke sekolah, setelahnya menyabit
rumput lagi, lalu belajar mengaji …” (Khrisna Pabhicara, 2012: 19)
Tokoh
Dahlan dalam Sepatu Dahlan memiliki
watak pekerja keras, suka membantu, rapi, patuh pada orang tua dan berjiwa pemimpin.
Tetapi Dahlan memiliki watak
negatif, yaitu watak Dahlan yang
menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan barang yang diinginkannya. Kutipan-kutipan yang menunjukkan watak Dahlan :
“Aku dan Zain
juga sama. Bangun lebih pagi dari biasanya, bersama-sama ke tegalan, pematang-pematang
sawah, atau ke jalanan pembatas ladang tebu untuk menyabit rumput.” (Khrisna
Pabhicara, 2012: 163)
“Siapa yang mau
bantu Ibu mbawa anglo dan wajan kecil dari pawon?‘Aku saja, Bu,’ kataku sambil
berlari ke arah dapur dengan riang.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 49)
“Aku mengangguk
dengan pasti, berusaha meyakinkan Bapak bahwa tak ada lagi kebimbangan yang
tersisa di hati. Lalu pagi itu, bersama Bapak, aku mulai petualanagan berjalan
aki sepanjang enam kilometer dari Kebon Dalem ke Pesantren Takeran.” (Khrisna
Pabhicara, 2012: 28)
“Aku pindah ke
depan kelas, menata kembali batu-batu yang terlepas dari tempatnya.” (Khrisna
Pabhicara, 2012: 141)
“Pasir yang
berserakan kuraup dengan tangan, menata kembali di jalur berbatas bata merah
segitiga yang tertancap rapi ke dalam tanah.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 141)
“Pada saat
seperti ini, aku harus bisa mengambil keputusan dengan cepat. Sebagai kapten tim,Ustaz
Jabbar memberikan kewenangan penuh kepadaku untuk mengatur jadwal latihan dan
mengambil keputusan demi kepentingan tim.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 198)
“Aku segera
mengajak mereka merapat, menyusun strategi untuk melawan tim bola voli wakil
Kecamatan Bendo itu.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 226)
Watak negatif tokoh Dahlan adalah menghalalkan berbagai cara untuk
mendapatkan barang yang diinginkannya. Kutipan yang
menjelaskan watak negatif tokoh Dahlan
sebagai
berikut.
“Setelah bertemu
batang yang tepat, aku pegang pertengahan batang sambil menebaskan parang.”
(Khrisna Pabhicara, 2012: 86)
“Ini kebun
bengkok milik Pak Lurah. Kedapatan mencuri pisang pasti lebih ‘mengerikan’
ketimbang mencuri tebu.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 95)
“Maka, kucongkel
dengan pintu lemari, melepas engselnya dan segera menemukan kotak duit Bapak.
Dengan jantung yang berdegup kencang, kotak itu kuambil dan kutaruh di atas
lantai tanah.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 256)
“Aku mengambil
uang itu dengan mata melotot dan dada yang berdentam-dentam.” (Khrisna
Pabhicara, 2012: 258)
b)
Bapak
Tokoh
Bapak adalah tokoh antagonis
karena tokoh ini yang menyebabkan konflik dalam batin tokoh utama (Dahlan). Tokoh ini yang pada
mulanya memunculkan konflik dalam cerita. Sisi positif watak tokoh Bapak memiliki semangat
bekerja yang tinggi. Kutipan yang menunjukkan psikis dari Bapak yang memiliki semangat
yang tinggi dalam bekerja sebagai berikut
:
“Tangannya tak
pernah bisa diam. Ada saja yang dia kerjakan: memangkas pohon beluntas di pagar
halaman, meratakan lantai tanah rumah, membuang palapah pisang yang daunnya
mulai menguning.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 23)
Dari kutipan di atas jelas bahwa Tokoh Bapak adalah orang tua yang bertanggung
jawab dalam menafkahi keluarganya. Selain itu, tokoh Bapak memiliki watak yang
keras, disiplin, pendiam, serta pandai bercerita. Kutipan-kutipan yang
menunjukkan watak Tokoh Bapak :
“Aku sangat menghormati Bapak, mungkin karena
takut atau memang suka, terlepas dari sikap taatnya terhadap aturan-aturan yang
dibuatnya. Tak da yang boleh melanggar, termasuk Ibu dan anak-anak
perempuannya.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 17)
“Bapak sangat
pendiam. Sampai-sampai aku bisa menghitung berapa banyak kata yang diucapkannya
dalam satu hari.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 23)
“Masih pagi, Le, Bapak mau bercerita, sebentar saja.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 27)
c)
Ibu
Tokoh Ibu merupakan
tokoh tritagonis, kedudukan tokoh
Ibu ini sebagai penengah
konflik. Tokoh Ibu
sebagai pelerai konflik yang terjadi pada tokoh utama yaitu Dahlan. Ibu dilukiskan sebagai
orang yang memiliki watak yang baik hati
dan tekun. Sifat positif tokoh Ibu terdapat dalam kutipan
berikut ini :
“Ibu mambawakan sepiring nasi, sepotong ikan
kering dan sambal favoritku.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 44)
“Malam sudah tiba. Ibu sudah siap-siap
menceburkan diri dalam kebisuan. Selembar kain mori, yang baru diterimanya tadi
pagi sudah ditaruh di atas tikar pandan.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 47)
d)
Zain
Tokoh Zain merupakan
tokoh tritagonis, kedudukan tokoh
Zain ini sebagai penengah
konflik. Zain dilukiskan
sebagai seorang anak yang memiliki watak suka membantu dan rajin bekerja. Penggalan novel yang menunjukkan watak
zain :
“Hanya butuh dua langkah lagi sebelum
meletakkan anglo itu ketika Zain yang sepertinya bermaksud membantu tiba-tiba
berdiri dan menyenggol tanganku.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 49)
“Sebulan belakangan ini, setiap pulang
menyabit rumput, aku dan Zain bahu-membahu mencangkuli tanah kosong di halaman
belakang, menggemburkan tanahnya, menebarinya dengan benih jagung, ketela,
umbi-umbian, sayur-sayuran – atau yang semacam itu.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 172)
e)
Mbak Atun
Tokoh
Mbak Atun merupakan tokoh
tambahan yang fungsinya sebagai pendukung tokoh utama. Tokoh Mbak Atun adalah kakak Dahlan yang digambarkan sebagai sosok yang memiliki ciri fisik dan watak keibuan. Kutipan yang
menunjukkan ciri fisik dan watak keibuan
dari tokoh Mbak Atun
sebagai berikut.
“…Mbak Atun adalah cerminan sosok Ibu yang
sempurna : rambut hitam, alis lebat, hidung bangir, lesung pipi, dan tinggi
badan benar-benar bak pinang dibelah dua.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 219)
“Belum lagi
tutur katanya, seolah-olah seluruh karakter Ibu diwariskan kepadanya.” (Khrisna
Pabhicara, 2012: 219)
f)
Mbak Sofwati
Tokoh
Mbak Sofwati merupakan tokoh
tambahan yang fungsinya sebagai pendukung tokoh utama. Tokoh Mbak Sofwati adalah kakak Dahlan yang digambarkan sebagai sosok yang pendiam. Kutipan yang
menunjukkan watak pendiam
dari tokoh Mbak Sofwati
sebagai berikut.
“Mbak Sofwati mengangguk. Seperti Bapak, kakak
perempuanku yang satu ini memang bicara seperlunya saja, tegas dan tidak suka
basa-basi.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 108)
g)
Ustaz Ilham
Tokoh Ustaz Ilham merupakan tokoh tambahan yang fungsinya sebagai pendukung tokoh utama. Tokoh Ustaz Ilham adalah guru Dahlan yang digambarkan sebagai sosok yang ramah. Kutipan yang
menunjukkan watak ramah dari
tokoh Ustaz Ilham sebagai berikut.
“Begitulah ustaz
muda bersarung kotak-kotak itu menyambut kedatangan kami.” (Khrisna Pabhicara,
2012: 35)
Ustaz Ilham merupakan
motivator bagi para santri di pesantren Takeran. Kutipan
yang menunjukkan tokoh Ustaz Ilham
seorang motivator sebagai
berikut.
“Beliau mengobarkan semangat kami agar jauh
dari rendah diri dan lebih dekat pada rendah hati.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 37)
h)
Ustaz Hamim
Ustaz Hamim merupakan guru di pesantren Takeran yang pandai
bercerita. Kutipan yang menunjukkan tokoh Ustaz Hamim seorang yang pandai bercerita sebagai
berikut.
“Ustaz hamim yang hafal Al-Qur’an sejak usia
remaja itu menghampiri kami, tersenyum, menatap kami satu per satu, kemudian
meneruskan kisah Pesantren Takeran yang membuat kami takjub dan merasa
seolah-olah kamilah yang mendirikan pesantren ini dari semula.” (Khrisna
Pabhicara, 2012: 55)
i)
Aisha
Aisha merupakan tokoh
tambahan yang fungsinya sebagai pendukung tokoh utama. Tokoh ini
mempengaruhi konflik yang muncul dalam cerita.
Tokoh Aisha
dijelaskan ciri fisik dan psikisnya.
Tokoh
Aisha adalah sosok gadis yang memiliki rambut panjang dan kulit
kuning langsat. Tokoh Aisha digambarkan sebagai
sosok yang suka menolong. Kutipan yang
menunjukkan bahwa Aisha suka menolong
sebagai berikut.
“Gadis berambut panjang yang menolong Maryatai
mengulum senyum.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 117)
Kelebihan dari tokoh Aisha diungkapkan oleh pengarang bahwa dirinya anak
orang kaya. Akan tetapi, Aisha tetap rajin bekerja. Penggalan cerita yang
menunjukkan bahwa Aisha rajin bekerja sebagai berikut.
“Ketika melewati Sawojajar, di depan sebuah
rumah gedong besar dengan halaman yang lapang, seorang perempuan muda sedang
menjemur pakaian di samping rumahnya.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 194)
j)
Kadir
Tokoh Kadir merupakan tokoh
tambahan yang dilukiskan dengan watak polos, pendiam, serta mudah tersentuh. Watak
tokoh Kadir dilukiskan secara dramatik melalui pikiran tokoh lain. Penggalan
novel yang menunjukkan watak tokoh Kadir sebagai berikut.
“Yang kusuka dari Kadir adalah kepolosan dan
keterusterangannya.”(Khrisna Pabhicara, 2012: 34)
“Lagi-lagi Kadir
membisu. Sejak dulu, waktu pertama kali bertemu sengannya di SR Bukur, dia
sangat pendiam.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 307)
“Sedang larut menyimak kisah hilangnya Kiai
Mursyid itu, samar-samar kudengar seorang terisak. Dan ketika aku menoleh kearah
isakan itu, Kadir memejamkan mata. Pada kedua sisi hidungnya terlihat jelas
bekas alur air mata.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 56)
k)
Maryati
Maryati merupakan tokoh
tambahan yang fungsinya sebagai pendukung tokoh utama. Ciri psikis dari tokoh Maryati yaitu suka berbagi.
Kutipan yang menunjukkan tokoh Maryati seorang anak yang suka berbagi sebagai
berikut.
“Maryati menghentikan langkah, ’Buat kamu…,’
katanya sambil menyandarkan sepeda di pinggangnya, dan segera membuka tas. Sesisir
pisang besar-besar segera “menggelitik” perutku. “(Khrisna Pabhicara, 2012: 114)
Selain itu, tokoh Maryati digambarkan sebagai seorang gadis yang baik hati dan
cerewet. Tokoh Maryati dijelaskan ciri fisiknya secara langsung oleh pengarang. Tokoh Maryati adalah sosok gadis yang memiliki wajah cantik dan senyum yang
menawan. Hal ini dibuktikan pada kutipan berikut ini :
“Kalau tersenyum sungguh menawan. Dia santri
yang baik hati dan paling cantik dikelasku. Sekaligus paling cerewet.” (Khrisna
Pabhicara,2012: 99)
l)
Komariyah
Tokoh
Komariyah merupakan tokoh tambahan yang memiliki keterkaitan dengan tokoh
utama. Tokoh Ksomariyah dilukiskan sebagai seorang gadis yang tidak suka
mengerjakan pekerjaan anak perempuan. Tokoh Komariyah lebih suka bermain dengan
anak laki-laki. Sisi positif dari tokoh Komariyah yaitu pandai bergaul, teliti
dan hemat kata. Sisi positif dari tiokoh Komariyah ditunjukkan pada kutipan
berikut ini :
“Parahnya lagi,
dia pula perempuan pertama yang mau menggembala domba bersama penggembala yang
semuanya laki-laki.”(Khrisna Pabhicara,2012: 150)
“Jika bicara, dia seperti sudah sangat dewasa,
padahal umurnya setahun lebih muda dariku.” (Khrisna Pabhicara,2012: )
m)
Arif
Tokoh
Arif merupakan tokoh tambahan yang dilukiskan sebagai seorang anak yang cerdas
dan memiliki kemauan keras. Kutipan yang menunjukkan watak tokoh Arif sebagai
berikut.
“Arif murid paling cerdas di kelasku. Selain
hafal Al-Qur’an 10 juz, dia juga hafal banyak hadis di luar kepala.” (Khrisna
Pabhicara,2012: 142)
“Arif yang semula malas berlatih, sekarang tak
mau kalah. Dia melatih pukulan voli pelan tanpa lompatan yang di tahan dan di
kelmbalikan dengan baik oleh Imran, berulang-ulang,hingga Zainal dan Rahmat
yang sedari tadi jadi penonton di pinggir lapangan merasa penasaran.” (Khrisna
Pabhicara,2012: 205)
n)
Imran
Tokoh
Imran merupakan tokoh tambahan yang dilukiskan sebagai seorang anak yang nakal.
Kutipan yang menunjukkan watak tokoh Imran sebagai berikut.
“Ada saja ulahnya setiap hari : berisik saat
belajar atau ujian, mengganggu teman sebangkunya, melempari murid lain dengan
remasan kertas, menggoda murid-murid perempuan hingga mereka menangis, bolos
kalau dapat gilirran belajar pidato dan tak pernah duduk diam di kursi, meski
sudah berkali-kali ditegur oleh guru.” (Khrisna Pabhicara,2012: 143)
Akan tetapi, tokoh Imran
memiliki kemauan keras dalam berusaha. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut
ini.
“Janji Imran untuk berlatih keras bukan isapan
jempol. Hanya dalam seminggu dia sudah mahir menahan smash dan mengirimkan bola
pertama yang ciamik kepadaku, lantas menjadi umpan yag ‘dilahap’ dengan empuk
oleh lengan Fadli.” (Khrisna Pabhicara,2012: 203)
i.
Alur
Alur
adalah urutan atau rangkaian peristiwa dalam cerita rekaan. Alur pada novel ini
adalah alur mundur (sorot-balik/ flash-back). Urutan kejadian yang
dikisahkan dalam karya fiksi tidak bersifat kronologis, cerita tidak dimulai
dari tahap awal, melainkan mungkin dari tahap tengah atau bahkan tahap akhir,
baru kemudian tahap awal cerita dikisahkan. Karya yang berplot jenis ini langsung
menyuguhkan adegan-adegan konflik, bahkan barangkali konflik yang telah meruncing. Padahal pembaca belum
lagi dibawa masuk ke situasi dan permasalahan yang menyebabkan terjadinya
konflik dan pertentangan itu.
j.
Setting atau Latar
Menurut
Herman J. Waluyo dan Nugraheni Eko Wardani (2009: 35) setting berkaitan
dengan pengadegan, latar belakang, waktu
cerita, dan waktu penceritaan.
Pengadeganan artinya penyusunan adegan-adegan di dalam cerita. Tidak semua
kejadian dalam kehidupan sang tokoh dilukiskan di dalam adegan-adegan. Adegan
dipilih yang benar-benar mewakili cerita. Adegan bisa di dalam rumah dan dapat
juga di luar rumah.
a. Latar
tempat :
Latar
tempat adalah tempat cerita. Setting cerita dalam novel Sepatu Dahlan ini lebih
banyak di pedesaan, rumah warga, madrasah, pasar, dan kantor kecamatan.
Khrisna Pabichara dalam
Novel Sepatu Dahlan ini lebih banyak atau dominan melukiskan latar
tempat yang dilukiskan secara analitik.
Hal itu terlihat pada kutipan berikut:
“Kebon Dalem.
Itulah kampung kelahiranku. Sebuah kampung kecil dengan enam buah rumah, atau
sebut saja gubug, yang letaknya saling berjauhan.”(Khrisna Pabhicara, 2012: 13)
“Benar saja, setiba di dalam rumah, Bapak dan
Ibu sudah menungguku di atas sehelai tikar pandan. Mereka bersila di bawah
jilatan lampu teplok yang meliuk-liuk ditiup angin.” (Khrisna Pabhicara, 2012:
17)
“Yang terbaring
kaku di depanku, di atas tikar pandan di tengah rumah, adalah perempuan yang
paling kusayangi. Ibu.”(Khrisna Pabhicara, 2012: 124)
“Alangkah terkejutnya aku ketikaa melihat
ibuku berjongkok memegangi batang pisang. Bahunya terguncang-guncang menahan
batuk.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 75)
“Ketika
menyelinap di sela-sela batang tebu yang tingginya dua kali melebihi tinggi
tubuhku, aku mulai gugup.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 85)
“Tiba-tiba aku
melihat sebatang pisang dengan buah yang sudah layak ditanak atau dibakar.
Pisang itu bukan milik Bapak, apa lagi milikku. Ini kebun bengkok, milik Pak
Lurah.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 95)
“Setiba di makam
ibu ada seseorang di sana.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 182)
“Beberapa ratus
meter sebelum Pesantern Takeran, di depan rumah Maryati, aku berhenti. Aku
menelan ludah, berkali-kali, melihat buah-buah pisang diturunkan dari mobil
dengan bak terbuka.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 111)
“Aisha berlari
kecil menuju pintu rumahnya sambil terus tersenyum.” (Khrisna Pabhicara, 2012:
322)
Tidak hanya tempat di pedesaan, namun novel ini juga
menjelaskan secara jelas kondisi madrasah,
cerita ketika Dahlan bersama Bapak
mendaftar di Madrasah Tsanawiyah di Pesantren Takeran, serta cerita ketika
Dahlan bersama sahabatnya telah lulus menempuh pendidikan di Pesantren Takeran.
Kutipan
yang menunjukkan setting tempat sebagai berikut.
“Gedung-gedung
di Pesantren Takeran ini terlihat antik dan kokoh. Di sebelah kanan, gedung
bercat hijau lumut memanjang berbentuk L. di depan kelas paling kana nada
sebuah papan bertuliskan MADRASAH TSANAWIYAH, terpaku di tiang kayu jati. Di
sebelah kiri, gedung bercat biru langit membentuk huruf U. Pada kelas kiri
terpajang papan bertuliskan MADRASAH ALIYAH.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 32)
“Santri-santri
bergerombol, duduk tak beraturan, bising bak lebah yang diusik dari sarangya,
hingga Ustaz Ilham berdiri sambil mengangkat kedua tangannya.” (Khrisna
Pabhicara, 2012: 35)
“Mereka sedang
berkumpul di ruang luas berbentuk persegi panjang ini untuk memilih pengurus
Ikatan Santri Pesantren Takeran yang baru.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 156)
“Hari itu di
bawah rindang trembesi di halaman gedung berbentuk huruf U, aku membayangkan
nasib baru yang akan digariskan Tuhan untukku.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 340)
Latar tempat dalam novel ini
juga menunjukkan kehidupan masyarakat Desa Kebon Dalem yang religius. Khrisna
Pabichara menceritakan kegiatan anak-anak Desa Kebon Dalem yang selalu
berangkat mengaji di langgar pada malam hari. Kutipan yang menyatakan hal
tersebut adalah sebagai berikut.
“Bapak berjalan
ke langgar, sementara kami lansung ke dapur. Beberapa saat kemudian, kami sudah
berada di dalam langgar bersama anak-anak Kebon Dalem.” (Khrisna Pabhicara,
2012: 303)
Latar tempat dalam novel ini
juga menunjukkan bukti sejarah bangsa Indonesia di bawah pengaruh komunismenya.
Kutipan yang menunjukkan latar tempat tersebut sebagai berikut.
“Dan, tibalah
kami di sumur tua Cigrok yang berada di tengah-tengah tegalan dengan
batang-batang ketela yang tumbuh liar,semak belukar dan rumput-rumput setinggi
lutut, juga beringin besar yang terkenal keramat.” (Khrisna Pabhicara, 2012:
68)
Latar tempat pada Novel
Trilogi Sepatu Dahlan ini juga menunjukkan tempat-tempat kegiatan pemerintahan
berlangsung.
“Setelah tiba di
belakang kantor camat, serta merta anggota tim melompat-lompat,
berjingkrak-jingkrak kegirangan menyambut kedatanganku, eolah-olah mereka
sedang mengelu-elukan kedatangan seorang patriot sejati yang lama
dinanti-nanti.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 224-225)
Pusat kegiatan sosial juga
diceritakan dalam latar tempat Novel Sepatau Dahlan karya Khrisna Pabichara ini.
Latar tempat ini dapat dilihat dalam kutipan berikut ini :
“Pedagang sepatu
itu terkekeh-kekeh sambil mengusap-usap perut buncitnya. Aku letakkan sepatu
itu di tempatnya semula dengan perasaan masygul.” (Khrisna Pabhicara, 2012:
260).
“Pedagang sepatu
bekas bertubuh tambun yang dulu mengejekku karena tidak mampu membeli sepatu
yang ku idam-idamkan, hari ini membungkus dua pasang sepatu bekas tanpa banyak
bicara.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 333)
b. Latar
suasana
Latar
suasana menggambarkan suasana kedaerahan. Dalam
novel Sepatu Dahlan, Khrisna Pabichara menunjukkan
latar suasana yang dialami tokoh Dahlan Iskan ketika dirinya
menghadapi suatu peristiwa. Latas suasana dalam novel ini berupa menegangkan,
menyakitkan, menyenangkan, memprihatinkan, mengharukan dan panik. Kutipan
yang menunjukkan latar suasana
kehidupan tokoh
sebagai berikut.
“Aku segera
mencium tangan Bapak dan Ibu, kemudian duduk takzim di hadaan mereka.
Tertunduk, sedalam-dalamnya.” (Khrisna Pabhicara,2012 : 17)
“Aku berdiri tegak, membeku, terperangah mendengar
pertanyaan Bapak yang tidak pernah kusangka-sangka.”(Khrisna Pabhicara,2012:
70)
“Rasa sakit di
ulu hatiku makin menjadi-jadi.”(Khrisna Pabhicara,2012 : 85)
“Penonton yang
didominasi warga Takeran bergemuruh menyambut kemenangan kami. Mereka bertepuk
tangan, bersuit-suit, dan berteriak kegirangan.” (Khrisna Pabhicara,2012 : 233)
“Seperti
memenangi olimpiade saja gaya kami saat Bupati Magetan menyerahkan piala
setinggi setengah meter kepadaku. Piala itu kucium sepenuh hati, lalu berpindah
dari satu tangan ke tangan yang lain. Penonton bergemuruh.” (Khrisna
Pabhicara,2012 : 279)
“Yang terbaring kaku di depanku, di atas tikar
pandan di tengah rumah, adalah perempuan yang paling kusayangi. Ibu.” (Khrisna
Pabhicara,2012 : 124)
“Ketika nama pengurus disebut satu per satu,
aku lihat Bapak menengadah dengan mata berbinar-binar, bercahaya.” (Khrisna
Pabhicara,2012 : 165)
“Saat itulah
Bapak mendekat, memeluk, dan mengusap-usap kepalaku.” (Khrisna Pabhicara,2012 :
280)
“Ibu tak bergerak. Dengan panik, aku meraba
pipi Ibu dan berdoa semoga tak terjadi apa-apa, kemudian menggigil ketika
memeluk tubuh ibuku yang terasa dingin, sangat dingin.” (Khrisna Pabhicara,2012
: 76)
“Sekuat tenaga
aku menjaga keseimbangan, menatap jalanan dengan seksama, hingga tak menyadari
dari arah depan melaju sebuah sepeda. Karena kaget aku membanting setang ke
kiri, dan sebuah batu yang agak besar menebarkan ancaman baru.” (Khrisna
Pabhicara,2012 : 116)
“Wajah Komariyah
mulai pucat, dia terisak-isak dan menjerit ketakutan. Kami benar-benar panic
karena Nanang tak kunjung siuman.” (Khrisna Pabhicara,2012 : 240)
c. Latar
waktu
Dalam
novel Sepatu Dahlan menunjukkan
setting waktu berupa hari. Situasi pagi, siang, sore, dan malam. Kutipan yang
menunjukkan sebagai berikut.
Malam itu aku
dan Zain tidur di langgar bersama teman-teman yang lain. Tiba-tiba, badan Zain
sangat panas dingin.”(Khrisna Pabhicara,2012: 191)
“Matahari sudah sepenggalah waktu aku dan
Bapak memasuki kawasan Pesantren Takeran.” (Khrisna Pabhicara,2012: 29)
“Cahaya matahari
menerobos masuk lewat pintu yang terbuka dan membangunkanku, pertanda sekarang
sudah siang.” (Khrisna Pabhicara,2012: 80)
“Matahari tepat berada di ubun-ubun, panas
membara.” (Khrisna Pabhicara,2012: 39)
“Komariyah
berjalan paling depan, di bawah terik sinar matahari, menjunjung tampah berisi
makanan yang sudah kami tunggu-tunggu.” (Khrisna Pabhicara,2012: 243)
“Matahari senja
kembali mengapung di permukaan sungai.” (Khrisna Pabhicara,2012: 148)
“Malam sudah tiba, gelap menyelimuti Kebon
Dalem. Hanya kelip-kelip lampu teplok sesekali terlihat.” (Khrisna
Pabhicara,2012: 16)
“Hening. Senyap.
Suara jangkrik dan binatang malam di luar rumah terasa nyaring di telinga.”
(Khrisna Pabhicara,2012: 20)
Selain setting hari, novel Sepatu Dahlan juga menunjukkan setting tahun.
Berikut beberapa kutipan yang menunjukkan setting tersebut.
“Desember 1962.
Baru saja kuterima ijazah Sekolah Rakyat.”(Khrisna Pabhicara,2012: 16)
Selain itu, setting waktu ditunjukkan
dengan angka jam. Kutipan yang menunjukkan
seting tersebut sebagai berikut.
“Senin, 6 Agustus 2007, pukul 09.00”(Khrisna Pabhicara,2012:
1)
k. Point
of View/ Sudut Pandang
Point of View atau sudut pandang cerita
mengacu pada cara sebuah cerita dikisahkan. Sudut pandang merupakan cara atau
pandangan yang digunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh,
tindakan tokoh, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam karya
fiksi kepada pembaca. Sudut pandang pada
hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih oleh
pengarang untuk mengemukakan gagasan ceritanya. Sudut pandang yang digunakan pada
novel Sepatu Dahlan yaitu pesona
atau gaya “aku”,
pengarang atau narator berada di dalam
cerita. Pengarang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut dirinya “aku”. Sudut pandang
yang paling menonjol dalam novel Sepatu
Dahlan, menggunakan cara ini. Berikut ini kutipan yang
menunjukkan sudut pandang tersebut.
“Aku masih
tertunduk, memandangi tikar pandan yang kududuki. Aku memang suka ketiga
pelajaran yang mendapat nilai Sembilan itu : Menyanyi, Menulis, dan Gerak
Badan. Aku suka menyanyi karena kata teman-teman suaraku bagus. Sebenarnya, setiap
bernyanyi, aku sedang berusaha melupakan kepedihan hidupku. Aku juga suka
menulis. Sangat suka. Bukuku penuh catatan pengalaman tentang apa saja :
domba-dombaku yang bertambah banyak, sepatu Pak Suprapto –Kepala SR Bukur—yang mengilat atau sepedanya yang
gagah membelah jalanan, dan pelbagai hal yang kualami sehari-hari.sebab itulah
tak ada seorang pun yang melampaui angka pelajaran menulisku. Aku juga suka
Gerak Badan karena setiap berkumpul dengan teman-temann di tempat menggembala,
kami biasa balap lari atau main voli atau sepak bola. Selebihnya, aku tak punya
banyak waktu untuk belajar.”(Khrisna Pabhicara,2012: 18-19)
Sudut pandang (Point of View) pesona “aku” ini banyak
menyebutkan tokoh utama yang mengemukakan gagasan utama cerita melalui tokoh Dahlan, pengarang menuangkan
kehidupan masyarakat Desa Kebon Dalem
sebagai masyarakat yang miskin.
Perasaan batin kehidupan orang miskin terhadap mimpi dan cita-cita. Hal ini banyak
dituangkan melalui tokoh Dahlan.
l.
Amanat
Amanat
yang terdapat dalam karya sastra tertuang secara implisit. Secara implisit
yaitu jika jalan keluar atau ajaran moral itu disiratkan dalam tingkah laku
tokoh menjelang cerita berakhir, Sudjiman (1986:35). Amanat secara eksplisit yaitu jika
pengarang pada tengah atau akhir cerita menyampaikan seruan, saran, peringatan,
nasihat, anjuran, larangan dan sebagainya, berkenaan dengan gagasan yang
mendasari cerita itu.
1)
Jangan berhenti
bermimpi, karena mimpi yang akan membawa kita pada kenyataan.
“Mimpi-mimpi
itu, seandainya sepatu dan sepeda tak layak di sebut cita-cita, tak jauh
berbeda dengan mimpi-mimpi anak-anak di kampungku. Bedanya, sepenuh daya aku
berusaha meraih mimpi-mimpi itu, dan tak berhenti sampai benar-benar aku
memilikinya. Kalupun ada anak-anak lain yang punya mimpi berbeda, pasti
Kadirlah orangnya. Dia bermimpi punya gitar dan dia korbankan seekor domba
kesayangannya demi mewujudkan mimpi itu.barangkali mimpi anak-anak miskin di
mana-mana sama, sederhana. Manakal mimpi itu sudah kupenuhi, anehnya aku merasa
ini bukan akhir dari keinginan yang hendak kupenuhi.ada mimpi barau, mimpi yang
tiba-tiba saja ingin kupenuhi, bias makan setiap kali perut melilit-lilit
karena kelaparan. Mimpi ini, mungkin, seperti sepatu dan sepeda, juga sederhana.
Tak ada yang aneh, apalagi ajaib.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 338)
2)
Kita harus
menjalani problema kehidupan dengan ikhlas, sebab di situlah mental kita diuji.
“Hidup, bagi
orang miskin, harus dijalani apa adanya.”(Khrisna
Pabichara,2012: 322)
3)
Kerja keras
merupakan tonggak dari prestasi.
“Keesokan
harinya, tanpa buang-buang waktu, aku berangkat sendirian ke Pasar Madiun.
Terik matahari, letih tubuh, dan angin kencang tak terasa sama sekali.sepeda
meleju kencang, demi peristiwa paling bersejarah sepanjang hidupku: membeli
sepatu dan sepeda.”(Khrisna Pabhicara,2012: 333)