Senin, 05 November 2012

Makalah Seminar


BAB I
PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang Masalah
Karya sastra merupakan hasil karya cipta manusia yang mengandung daya imajinasi dengan menggunakan bahasa sebagai medianya. Menurut Wellek dan Warren (1993:14) bahasa adalah bahan baku kesusastraan, seperti batu dan tembaga untuk seni patung, cat lukisan, dan  bunyi untuk seni musik, sehingga diperlukan bahasa sebagai media penyampaiannya. Sastra sebagai karya imajinatif, memiliki acuan berupa dunia fiksi atau imajinasi. Sastra lahir dari proses kegelisahan sastrawan atas terjadinya ketegangan atas kebudayaannya. Sastra sering juga ditempatkan sebagai potret sosial. Sebuah karya sastra berfungsi mengungkapkan kondisi masyarakat pada masa tertentu. Dengan demikian, karya sastra akan memancarkan semangat zamannya dan memberi pemahaman yang khas atas situasi sosial, kepercayaan dan harapan-harapan individu yang sesungguhnya mempresentasikan kebudayaan bangsanya. Sastra menyajikan dunia dalam kata, yang bukan dunia sesungguhnya, namun dunia yang “mungkin” ada.
Selain bercirikan keindahan, sebuah karya sastra haruslah memiliki kegunaan. Dalam hal ini fungsi sastra bagi manusia, yaitu sebagai kesenangan dan manfaat. Kedua sifat tersebut saling mengisi. Kesenangan yang diperoleh melalui pembacaan karya sastra bukanlah kesenangan ragawi, melainkan kesenangan yang lebih tinggi, yaitu kesenangan kontemplasi yang tidak mencari keuntungan. Sedangkan manfaatnya adalah keseriusan yang menyenangkan, keseriusan estetis, dan keseriusan persepsi. Selain itu sastra juga memiliki fungsi katarsis, yaitu membebaskan pembaca dan penulisnya dari tekanan emosi.
Karya sastra jika dilihat dari bentuknya dibagi menjadi tiga yaitu, drama, puisi, dan prosa. Menurut  Rahmanto (1988: 89-90), drama bukan hanya pemaparan atau diskusi tentang peristiwa kehidupan yang nyata, tetapi drama lebih merupakan penciptaan kembali kehidupan nyata seperti pendapat Aristoteles (dalam Rahmanto,1988: 90) yaitu peniruan gerak yang memanfaatkan unsur-unsur aktivitas nyata. Bentuk karya sastra yang kedua adalah puisi. Puisi adalah pendramaan pengalaman yang bersifat penafsiran bahasa berirama (Altenbernd dalam Rahmad Djoko Pradopo, 2005: 5-6). Kepuitisan sebuah puisi dapat dicapai dengan bermacam-macam cara, misalnya dengan bentuk visual: tipografi, susunan bait dengan bunyi: persajakan, asonansi, aliterasi, kiasan bunyi, dan lambang rasa (Rahmad Djoko Pradopo, 2005: 13). Selain drama dan puisi, karya sastra yang lain adalah prosa. Menurut  Burhan Nurgiyantoro (1994: 2) prosa dalam pengertian  kesastraan juga disebut fiksi (fiction), teks naratif (narrative text) atau wacana naratif (narrative discouce). Karya fiksi menyaran pada suatu karya yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak ada dan terjadi sungguh-sungguh sehingga perlu dicari kebenarannya pada dunia nyata. Istilah fiksi sering dipergunakan dalam pertentangannya dengan realitas yang terjadi di dunia nyata sehingga kebenarannyapun dapat dibuktikan dengan data empiris. Ada tidaknya, atau dapat tidaknya sesuatu yang dikemukakan dalam karya sastra dibuktikan secara empiris antara lain yang membedakan karya fiksi dengan karya nonfiksi. Tokoh, peristiwa, dan tempat yang bersifat imajinatif, sedang pada karya nonfiksi bersifat faktual.
Menurut  Julia Kristeva (1994: 54) bahwa intertekstual mempunyai prinsip. Prinsip ini berarti bahwa setiap teks sastra dibaca dan harus dibaca dengan latar belakang teks-teks lain; tidak ada sebuah teks pun yang sungguh-sungguh mandiri, dalam arti bahwa penciptaan dan pembacaannya tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks-teks lain sebagai contoh, teladan, kerangka; tidak dalam arti bahwa teks baru hanya meneladan teks lain atau mematuhi kerangka yang  telah diberikan terlebih dahulu; tetapi dalam arti bahwa dalam penyimpangan dan transformasi pun model teks yang sudah ada memainkan peranan yang penting; pemberontakan atau penyimpangan mengandalkan adanya sesuatu yang dapat diberontaki dan disimpangi.  Pemahaman teks baru memerlukan latar belakang pengetahuan tentang teks-teks yang mendahuluinnya (Teeuw, 1984: 144).
Prinsip intertekstual yang utama adalah prinsip memahami dan memberikan makna karya yang bersangkutan. Karya itu diprediksikan sebagai reaksi, penyerapan, atau transformasi dari karya-karya yang lain. Intertekstual lebih dari sekedar pengaruh, ambilan, atau jiplakan, melainkan bagaimana kita memperoleh makna sebuah karya secara penuh dalam kontrasnya dengan karya lain yang menjadi hipogramnnya (Burhan  Nurgiyantoro, 1994: 54).
Karya sastra memang tidak secara langsung mendidik pembacanya, namun karya sastra menampilkan citra energetis yang secara langsung berpengaruh terhadap kualitas emosional, yang kemudian berpengaruh terhadap kualitas lain, misalnya pendidikan, pengajaran, etika, budi pekerti, dan sistem norma yang lain. Dalam konteks itulah, mempelajari sastra suatu bangsa pada hakikatnya tidak berbeda dengan usaha memahami kebudayaan bangsa yang bersangkutan.
Seiring dengan perkembangan peradaban dunia, sebuah karya sastra akan memiliki prestise yang  semakin dihargai. Dalam hal ini, sebuah karya sastra akan berada dalam sebuah persaingan yang akan menunjukkan kualitas karya tersebut. Di sisi lain, masyarakat yang merupakan konsumen sastra akan membaca serta menelaah karya-karya yang memiliki nilai guna bagi dirinya serta bagi lingkungannya.
Namun pada kenyataanya, karya sastra masih jarang dinikmati oleh masyarakat. Hal ini terjadi karena masyarakat kurang mengetahui nilai estetis sebuah karya sastra.
Keprihatinan ini menggerakkan kami untuk mengadakan sebuah acara bernama “Seminar Novel Sepatu Dahlan”, yang bertemakan “Kemilau Mimpi Anak Bangsa”. Novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara merupakan novel pertama dari trilogy novel Sepatu Dahlan yang menggambarkan fenomena kehidupan kaum bawah. Novel ini menggambarkan gejala-gejala alam termasuk segala sesuatu yang terjadi dalam masyarakatnya khususnya kehidupan rakyat kalangan bawah.  Tidak hanya menampilkan fenomena alam dan gejala masyarakat baik berupa tingkat sosial ekonomi, pendidikan, kesehatan, tetapi novel ini memiliki nilai-nilai historis. Khrisna Pabichara menuangkan nilai-nilai historis dalam Sepatu Dahlan secara halus, bagaimana kehidupan kaum bawah yang berada dibawah tekanan para tokoh politik yang haus akan kekuasaan.
Pengkajian terhadap novel tersebut dengan menganalisis struktur yang ada dalam novel tersebut serta mencari nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam novel tersebut. Sehingga akan memberikan jawaban permasalahan  dan mempermudah dalam memahami  novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara sebagai salah satu bentuk apresiasi terhadap karya sastra.

B.            Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana kepaduan struktur pembangun novel Sepatu Dahlan?
2.      Bagaimana nilai pendidikan dalam novel Sepatu Dahlan?

C.           Tujuan Penelitian
Tujuan dilaksanakan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.      Mengetahui struktur pembangun novel Sepatu Dahlan.
2.      Mengetahui nilai pendidikan dalam novel Sepatu Dahlan.

D.           Manfaat Penelitian
Manfaat dilaksanakan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.      Meningkatkan kemampuan menganalisis struktur pembangun pada novel.
2.      Menanamkan nilai-nilai yang tersirat dalam sebuah novel.
3.      Meningkatkan minat baca terhadap karya sastra Indonesia, khususnya generasi muda.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Analisa Unsur Instrinsik dan Ekstrinsik Novel Sepatu Dahlan
1.      Unsur-unsur Instrinsik
Unsur-unsur intrinsik adalah unsur-unsur pembangun karya sastra yang dapat ditemukan di dalam teks karya sastra itu sendiri. Dalam hal ini, unsur intrinsik memiliki pemahaman yang berbeda dengan analisa intrinsik. Analisis intrinsik adalah mencoba memahami suatu karya sastra berdasarkan informasi-informasi yang dapat ditemukan di dalam karya sastra itu atau secara eksplisit terdapat dalam karya sastra. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa suatu karya sastra menciptakan dunianya sendiri yang berbeda dari dunia nyata. Segala sesuatu yang terdapat dalam dunia karya sastra merupakan fiksi yang tidak berhubungan dengan dunia nyata. Karena menciptakan dunianya sendiri, karya sastra tentu dapat dipahami berdasarkan apa yang ada atau secara eksplisit tertulis dalam teks tersebut. Unsur intrisik sebuah novel mencakup tema, latar/setting, alur/plot, penokohan/perwatakan, sudut pandang, amanat, konflik dan gaya bahasa.
a.       Tema
Tema adalah gagasan, ide, atau pikiran utama yang mendasari suatu karya sastra. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa tema dapat dipandang sebagai dasar cerita, gagasan dasar umum, sebuah karya novel. Tema  dalam sebuah karya sastra, fiksi, hanyalah merupakan salah satu  dari penjumlahan unsur pembangun cerita yang lain, yang secara bersama membentuk sebuah kemenyeluruhan. Bahkan eksistensi tema itu  sendiri amat bergantung dari berbagai unsur yang lain. Hal itu disebabkan tema, yang notabene hanya berupa makna atau gagasan dasar umum suatu cerita, tak mungkin hadir tanpa unsur bentuk yang menampungnya. Dengan demikian, sebuah tema baru akan menjadi makna cerita jika ada keterkaitannya dengan unsur-unsur cerita lainnya (Burhan Nurgiyantoro, 1994: 74).
Ada beberapa macam tema, yaitu
1)   Tema sentral
Tema sentral dalam novel ini yaitu Mimpi dan Cita-cita. Secara umum dalam novel ini, pengarang ingin mengungkapkan masalah sosial khususnya kemampuan seseorang untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan hidupnya dengan menempuh berbagai cara. Khrisna Pabichara mengungkapkan bagaimana upaya yang dilakukan seorang anak “Dahlan Iskan” untuk menggapai mimpi dan cita-citanya berupa sepatu dan sepeda. Tema ini dibuktikan pada penggalan :
“Aku terperangah memandangi kejadian tak disangka-sangka itu. Kaus tim adalah impian lama kami, dan tiba-tiba saja tergeletak di depan kami.”(Khrisna Pabhicara, 2012: 227)

“Mimpi-mimpi itu, seandainya sepatu dan sepeda tak layak di sebut cita-cita, tak jauh berbeda dengan mimpi-mimpi anak-anak di kampungku. Bedanya, sepenuh daya aku berusaha meraih mimpi-mimpi itu, dan tak berhenti sampai benar-benar aku memilikinya. Kalupun ada anak-anak lain yang punya mimpi berbeda, pasti Kadirlah orangnya. Dia bermimpi punya gitar dan dia korbankan seekor domba kesayangannya demi mewujudkan mimpi itu.barangkali mimpi anak-anak miskin di mana-mana sama, sederhana. Manakal mimpi itu sudah kupenuhi, anehnya aku merasa ini bukan akhir dari keinginan yang hendak kupenuhi.ada mimpi barau, mimpi yang tiba-tiba saja ingin kupenuhi, bias makan setiap kali perut melilit-lilit karena kelaparan. Mimpi ini, mungkin, seperti sepatu dan sepeda, juga sederhana. Tak ada yang aneh, apalagi ajaib.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 338)

“Demikianlah, hari ini aku menyadari bahwa sepatu dan sepeda bukanlah cita-cita atau mimpi besar yang sebenarnya bagiku. Tetapi, aku belum tahu apa cita-cita atau mimpi yang lebih besar dari sepatu atau sepeda itu.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 339)

2)   Tema sampingan
Khrisna Pabichara mengungkapkan kehidupan keluarga “Dahlan Iskan” dalam kondisi kesederhanaanya, dimana antaranggota keluarga saling menyayangi satu sama lain, dan mengingatkan apabila salah satu diantaranya melakukan tindakan yang merugikan orang lain. Hal ini dibuktikan pada penggalan :
 “Ada sesuatu yang jauh lebih kuinginkan, kasih sayang. Dengan luka anak kecil, aku menolak niat Mbak Atun untuk merantau ke Kalimantan, menceritakan kejadian yang mungkin akan menimpa kami – aku,  Zain, dan Bapak – berharap Mbak Atun mengurungkan niat besarnya itu, tetapi akhirnya Mbak Atun tetap memilih pergi. Aku ceritakan kepada siapa pun kegetiran yang kucemaskan ketika Ibu sakit dan kemudian pergi jauh, tetapi tak ada yang mampu menjelaskan dengan baik kenapa seseorang bisa pergi dan bila yang pergi itu akan kembali. Aku ceritakan kepada Bapak keinginanku untuk menuntut ilmudi sekolah yang aku idamkan, tetapi Bapak punya keinginan lain dan sebagai anank aku harus menuruti keinginan itu – meski belakangan aku tahu, Bapak menginginkan yang terbaik bagiku.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 339)

“Dan, ada beberapa waktu, berkali-kali, aku merindukan kehadiran mereka. Disiplin keras dan didikan tegas Bapak menjelaskan kepadaku bahwa tidak ada sesuatu yang bias kupandang enteng, dan dari sana bermula nikmat kebersahajaan – sebagai anak yang dibesarkan oleh lengan-lengan kemiskinan – yang sering kurindukan setiap kali Bapak jauh dariku.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 339-340)

Persahabatan tulus anak-anak miskin diungkapkan dengan baik oleh pengarang. Persahabatan ini membuahkan banyak kejadian-kejadian tak terduga dan menjadi motivator anak-anak untuk terus berupaya menjalani kehidupan dengan apa adanya. Bukti penggalan novel :
“Kami berhenti menunggu Maryati dan Rombongan mendekat. ‘Ini.’ Seru Maryati sembari menyodorkan sepasang sepatu yang terbungkus kain merah.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 267)

“Tiga laki-laki dan dua perempuan di hadapanku seperti sepakat memandang ke masa silam. Kadir baru saja merampungkan lagu yang dia dendangkan, lagu yang dia gubah sendiri syairnya. Lagu tentang persahabatan sejati tanpa memandang asal-muasal. Lagu yang diilhami oleh persahabatan kami— Arif, Imran, Maryati, Komariyah, dia, dan aku— dan berharap persahabatan kami tidak berakhir di sini, di masa-masa akhir Madrasah Aliyah Pesantren Sabillil Muttaqien.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 340)

“Tuhan memberkati hidupku lewat pertemuan dan pertemanan yang hebat.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 344)

b.      Penokohan dan Perwatakan
Tokoh dan watak tokoh mempunyai kaitan yang erat.  Tokoh-tokoh  yang memiliki watak akan menyebabkan terjadinya konflik, yang kemudian konflik tersebut akan menghasilkan sebuah cerita. Tokoh  cerita menurut Abrams (dalam Burhan  Nurgiyantoro, 2005:165) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 167). Artinya tokoh cerita hanyalah alat penyampai pesan atau bahkan merupakan refleksi pikiran, sikap, pendirian, dan keinginan-keinginan pengarang.
Secara garis besar, tokoh yang menyebabkan konflik disebut tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang mendukung jalannya cerita sebagai tokoh yang mendatangkan simpati atau tokoh baik. Tokoh antagonis merupakan kebalikan dari tokoh protagonis adalah tokoh yang menentang arus cerita atau yang menimbulkan perasaan anti atau benci pada diri pembaca. Konflik antara kedua tokoh ini berkembang terus. Karena itu, kedua jenis tokoh ini menguasai (mendominasi) keseluruhan cerita. Kedua jenis tokoh ini dapat diklasifikasikan sebagai tokoh sentral yang berarti tokoh-tokoh yang dipentingkan atau ditonjolkan atau menjadi pusat penceritaan (Herman J. Waluyo dan Nugraheni Eko Wardani, 2009: 28-29).
Untuk mempermudah menganalisis tokoh maka dibuat tabel pembagian tokoh. Tabel pembagian tokoh dalam novel Sepatu Dahlan dapat dilihat dalam tabel dibawah ini.
  No
Pembagian Tokoh
Protagonis
Antagonis
Tritagonis
Tambahan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Dahlan Iskan
Bapak
Ibu
Zain
Mbak Atun
Mbak Sofwati
Ustaz Ilhamm
Ustaz Hamim
Kadir
Aisha
Maryati
Komariyah
Imran
Arif

Berikut deskripsi karakteristik beberapa tokoh yang terdapat dalam novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara :
a)      Dahlan Iskan
Dahlan Iskan adalah tokoh utama sekaligus tokoh protagonis dalam novel Sepatu Dahlan. Tokoh ini adalah tokoh yang sering kali muncul dan mendominasi cerita. Pengarang menggunakan teknik analitik dalam pelukisan tokoh. Dahlan Iskan dilukiskan sebagai seorang anak dari sebuah keluarga miskin yang selalu bekerja setiap hari untuk mendapatkan upah yang akan digunakan untuk membeli barang idamannya yaitu sepatu dan sepeda. Kutipan yang menjelaskan watak Dahlan Iskan :
“...: setelah sholat Subuh sudah harus menyabit rumput, terus ke sekolah, setelahnya menyabit rumput lagi, lalu belajar mengaji …” (Khrisna Pabhicara, 2012: 19)

Tokoh Dahlan dalam Sepatu Dahlan memiliki watak  pekerja keras, suka membantu, rapi, patuh pada orang tua dan berjiwa pemimpin. Tetapi Dahlan memiliki watak negatif, yaitu watak Dahlan yang menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan barang yang diinginkannya. Kutipan-kutipan yang menunjukkan watak Dahlan :
“Aku dan Zain juga sama. Bangun lebih pagi dari biasanya, bersama-sama ke tegalan, pematang-pematang sawah, atau ke jalanan pembatas ladang tebu untuk menyabit rumput.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 163)

“Siapa yang mau bantu Ibu mbawa anglo dan wajan kecil dari pawon?‘Aku saja, Bu,’ kataku sambil berlari ke arah dapur dengan riang.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 49)

“Aku mengangguk dengan pasti, berusaha meyakinkan Bapak bahwa tak ada lagi kebimbangan yang tersisa di hati. Lalu pagi itu, bersama Bapak, aku mulai petualanagan berjalan aki sepanjang enam kilometer dari Kebon Dalem ke Pesantren Takeran.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 28)

“Aku pindah ke depan kelas, menata kembali batu-batu yang terlepas dari tempatnya.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 141)

“Pasir yang berserakan kuraup dengan tangan, menata kembali di jalur berbatas bata merah segitiga yang tertancap rapi ke dalam tanah.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 141)

“Pada saat seperti ini, aku harus bisa mengambil keputusan dengan cepat. Sebagai kapten tim,Ustaz Jabbar memberikan kewenangan penuh kepadaku untuk mengatur jadwal latihan dan mengambil keputusan demi kepentingan tim.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 198)

“Aku segera mengajak mereka merapat, menyusun strategi untuk melawan tim bola voli wakil Kecamatan Bendo itu.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 226)
Watak negatif tokoh Dahlan adalah menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan barang yang diinginkannya. Kutipan yang menjelaskan watak negatif tokoh Dahlan sebagai berikut.
“Setelah bertemu batang yang tepat, aku pegang pertengahan batang sambil menebaskan parang.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 86)

“Ini kebun bengkok milik Pak Lurah. Kedapatan mencuri pisang pasti lebih ‘mengerikan’ ketimbang mencuri tebu.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 95)

“Maka, kucongkel dengan pintu lemari, melepas engselnya dan segera menemukan kotak duit Bapak. Dengan jantung yang berdegup kencang, kotak itu kuambil dan kutaruh di atas lantai tanah.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 256)

“Aku mengambil uang itu dengan mata melotot dan dada yang berdentam-dentam.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 258)

b)      Bapak
Tokoh Bapak adalah tokoh antagonis karena tokoh ini yang menyebabkan konflik dalam batin tokoh utama (Dahlan). Tokoh ini yang pada mulanya memunculkan konflik dalam cerita. Sisi positif watak tokoh Bapak memiliki semangat bekerja yang tinggi. Kutipan yang menunjukkan psikis dari Bapak yang memiliki semangat yang tinggi dalam bekerja sebagai berikut :
“Tangannya tak pernah bisa diam. Ada saja yang dia kerjakan: memangkas pohon beluntas di pagar halaman, meratakan lantai tanah rumah, membuang palapah pisang yang daunnya mulai menguning.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 23)
Dari kutipan di atas jelas bahwa Tokoh Bapak adalah orang tua yang bertanggung jawab dalam menafkahi keluarganya. Selain itu, tokoh Bapak memiliki watak yang keras, disiplin, pendiam, serta pandai bercerita. Kutipan-kutipan yang menunjukkan watak Tokoh Bapak :
 “Aku sangat menghormati Bapak, mungkin karena takut atau memang suka, terlepas dari sikap taatnya terhadap aturan-aturan yang dibuatnya. Tak da yang boleh melanggar, termasuk Ibu dan anak-anak perempuannya.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 17)

“Bapak sangat pendiam. Sampai-sampai aku bisa menghitung berapa banyak kata yang diucapkannya dalam satu hari.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 23)

 “Masih pagi, Le, Bapak mau bercerita, sebentar saja.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 27)

c)      Ibu
Tokoh Ibu merupakan tokoh tritagonis, kedudukan tokoh Ibu ini sebagai penengah konflik. Tokoh Ibu sebagai pelerai konflik yang terjadi pada tokoh utama yaitu Dahlan. Ibu dilukiskan sebagai orang yang memiliki watak yang baik hati dan tekun. Sifat positif tokoh Ibu terdapat dalam kutipan berikut ini :
 “Ibu mambawakan sepiring nasi, sepotong ikan kering dan sambal favoritku.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 44)

 “Malam sudah tiba. Ibu sudah siap-siap menceburkan diri dalam kebisuan. Selembar kain mori, yang baru diterimanya tadi pagi sudah ditaruh di atas tikar pandan.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 47)

d)     Zain
Tokoh Zain merupakan tokoh tritagonis, kedudukan tokoh Zain ini sebagai penengah konflik. Zain dilukiskan sebagai seorang anak yang memiliki watak suka membantu dan rajin bekerja. Penggalan novel yang menunjukkan watak zain :
 “Hanya butuh dua langkah lagi sebelum meletakkan anglo itu ketika Zain yang sepertinya bermaksud membantu tiba-tiba berdiri dan menyenggol tanganku.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 49)

 “Sebulan belakangan ini, setiap pulang menyabit rumput, aku dan Zain bahu-membahu mencangkuli tanah kosong di halaman belakang, menggemburkan tanahnya, menebarinya dengan benih jagung, ketela, umbi-umbian, sayur-sayuran – atau yang semacam itu.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 172)

e)      Mbak Atun
Tokoh Mbak Atun merupakan tokoh tambahan  yang fungsinya  sebagai pendukung tokoh utama. Tokoh Mbak Atun adalah kakak Dahlan yang digambarkan sebagai sosok yang memiliki ciri fisik dan watak keibuan. Kutipan yang menunjukkan ciri fisik dan watak keibuan dari tokoh Mbak Atun sebagai berikut.
 “…Mbak Atun adalah cerminan sosok Ibu yang sempurna : rambut hitam, alis lebat, hidung bangir, lesung pipi, dan tinggi badan benar-benar bak pinang dibelah dua.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 219)

“Belum lagi tutur katanya, seolah-olah seluruh karakter Ibu diwariskan kepadanya.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 219)

f)       Mbak Sofwati
Tokoh Mbak Sofwati merupakan tokoh tambahan  yang fungsinya  sebagai pendukung tokoh utama. Tokoh Mbak Sofwati adalah kakak Dahlan yang digambarkan sebagai sosok yang pendiam. Kutipan yang menunjukkan watak pendiam dari tokoh Mbak Sofwati sebagai berikut.
 “Mbak Sofwati mengangguk. Seperti Bapak, kakak perempuanku yang satu ini memang bicara seperlunya saja, tegas dan tidak suka basa-basi.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 108)

g)      Ustaz Ilham
Tokoh Ustaz Ilham merupakan tokoh tambahan  yang fungsinya  sebagai pendukung tokoh utama. Tokoh Ustaz Ilham adalah guru Dahlan yang digambarkan sebagai sosok yang ramah. Kutipan yang menunjukkan watak ramah dari tokoh Ustaz Ilham sebagai berikut.
“Begitulah ustaz muda bersarung kotak-kotak itu menyambut kedatangan kami.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 35)
Ustaz Ilham merupakan motivator bagi para santri di pesantren Takeran. Kutipan yang menunjukkan tokoh Ustaz Ilham seorang motivator sebagai berikut.
 “Beliau mengobarkan semangat kami agar jauh dari rendah diri dan lebih dekat pada rendah hati.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 37)

h)      Ustaz Hamim
Ustaz Hamim merupakan guru di pesantren Takeran yang pandai bercerita. Kutipan yang menunjukkan tokoh Ustaz Hamim seorang yang pandai bercerita sebagai berikut.
 “Ustaz hamim yang hafal Al-Qur’an sejak usia remaja itu menghampiri kami, tersenyum, menatap kami satu per satu, kemudian meneruskan kisah Pesantren Takeran yang membuat kami takjub dan merasa seolah-olah kamilah yang mendirikan pesantren ini dari semula.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 55)

i)        Aisha
Aisha merupakan tokoh tambahan yang fungsinya  sebagai pendukung tokoh utama. Tokoh ini mempengaruhi konflik yang muncul dalam cerita.  Tokoh Aisha dijelaskan ciri fisik dan psikisnya. Tokoh Aisha adalah sosok gadis yang memiliki rambut panjang dan kulit kuning langsat. Tokoh Aisha digambarkan sebagai sosok yang suka menolong. Kutipan yang menunjukkan bahwa Aisha suka menolong sebagai berikut.
 “Gadis berambut panjang yang menolong Maryatai mengulum senyum.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 117)
Kelebihan dari tokoh Aisha  diungkapkan oleh pengarang bahwa dirinya anak orang kaya. Akan tetapi, Aisha tetap rajin bekerja. Penggalan cerita yang menunjukkan bahwa Aisha rajin bekerja sebagai berikut.
 “Ketika melewati Sawojajar, di depan sebuah rumah gedong besar dengan halaman yang lapang, seorang perempuan muda sedang menjemur pakaian di samping rumahnya.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 194)
j)        Kadir
Tokoh Kadir merupakan tokoh tambahan yang dilukiskan dengan watak polos, pendiam, serta mudah tersentuh. Watak tokoh Kadir dilukiskan secara dramatik melalui pikiran tokoh lain. Penggalan novel yang menunjukkan watak tokoh Kadir sebagai berikut.
 “Yang kusuka dari Kadir adalah kepolosan dan keterusterangannya.”(Khrisna Pabhicara, 2012: 34)

“Lagi-lagi Kadir membisu. Sejak dulu, waktu pertama kali bertemu sengannya di SR Bukur, dia sangat pendiam.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 307)

 “Sedang larut menyimak kisah hilangnya Kiai Mursyid itu, samar-samar kudengar seorang terisak. Dan ketika aku menoleh kearah isakan itu, Kadir memejamkan mata. Pada kedua sisi hidungnya terlihat jelas bekas alur air mata.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 56)

k)      Maryati
Maryati merupakan tokoh tambahan yang fungsinya  sebagai pendukung tokoh utama. Ciri psikis dari tokoh Maryati yaitu suka berbagi. Kutipan yang menunjukkan tokoh Maryati seorang anak yang suka berbagi sebagai berikut.
 “Maryati menghentikan langkah, ’Buat kamu…,’ katanya sambil menyandarkan sepeda di pinggangnya, dan segera membuka tas. Sesisir pisang besar-besar segera “menggelitik” perutku. “(Khrisna Pabhicara, 2012: 114)

Selain itu, tokoh Maryati digambarkan sebagai seorang gadis yang baik hati dan cerewet. Tokoh Maryati dijelaskan ciri fisiknya secara langsung oleh pengarang. Tokoh Maryati adalah sosok gadis yang memiliki wajah cantik dan senyum yang menawan. Hal ini dibuktikan pada kutipan berikut ini :
 “Kalau tersenyum sungguh menawan. Dia santri yang baik hati dan paling cantik dikelasku. Sekaligus paling cerewet.” (Khrisna Pabhicara,2012: 99)

l)        Komariyah
Tokoh Komariyah merupakan tokoh tambahan yang memiliki keterkaitan dengan tokoh utama. Tokoh Ksomariyah dilukiskan sebagai seorang gadis yang tidak suka mengerjakan pekerjaan anak perempuan. Tokoh Komariyah lebih suka bermain dengan anak laki-laki. Sisi positif dari tokoh Komariyah yaitu pandai bergaul, teliti dan hemat kata. Sisi positif dari tiokoh Komariyah ditunjukkan pada kutipan berikut ini :
“Parahnya lagi, dia pula perempuan pertama yang mau menggembala domba bersama penggembala yang semuanya laki-laki.”(Khrisna Pabhicara,2012: 150)

 “Jika bicara, dia seperti sudah sangat dewasa, padahal umurnya setahun lebih muda dariku.” (Khrisna Pabhicara,2012: )

m)    Arif
Tokoh Arif merupakan tokoh tambahan yang dilukiskan sebagai seorang anak yang cerdas dan memiliki kemauan keras. Kutipan yang menunjukkan watak tokoh Arif sebagai berikut.
 “Arif murid paling cerdas di kelasku. Selain hafal Al-Qur’an 10 juz, dia juga hafal banyak hadis di luar kepala.” (Khrisna Pabhicara,2012: 142)

 “Arif yang semula malas berlatih, sekarang tak mau kalah. Dia melatih pukulan voli pelan tanpa lompatan yang di tahan dan di kelmbalikan dengan baik oleh Imran, berulang-ulang,hingga Zainal dan Rahmat yang sedari tadi jadi penonton di pinggir lapangan merasa penasaran.” (Khrisna Pabhicara,2012: 205)

n)      Imran
Tokoh Imran merupakan tokoh tambahan yang dilukiskan sebagai seorang anak yang nakal. Kutipan yang menunjukkan watak tokoh Imran sebagai berikut.
 “Ada saja ulahnya setiap hari : berisik saat belajar atau ujian, mengganggu teman sebangkunya, melempari murid lain dengan remasan kertas, menggoda murid-murid perempuan hingga mereka menangis, bolos kalau dapat gilirran belajar pidato dan tak pernah duduk diam di kursi, meski sudah berkali-kali ditegur oleh guru.” (Khrisna Pabhicara,2012: 143)
Akan tetapi, tokoh Imran memiliki kemauan keras dalam berusaha. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut ini.
 “Janji Imran untuk berlatih keras bukan isapan jempol. Hanya dalam seminggu dia sudah mahir menahan smash dan mengirimkan bola pertama yang ciamik kepadaku, lantas menjadi umpan yag ‘dilahap’ dengan empuk oleh lengan Fadli.” (Khrisna Pabhicara,2012: 203)

i.        Alur
Alur adalah urutan atau rangkaian peristiwa dalam cerita rekaan. Alur pada novel ini adalah alur mundur (sorot-balik/ flash-back). Urutan kejadian yang dikisahkan dalam karya fiksi tidak bersifat kronologis, cerita tidak dimulai dari tahap awal, melainkan mungkin dari tahap tengah atau bahkan tahap akhir, baru kemudian tahap awal cerita dikisahkan. Karya yang berplot jenis ini langsung menyuguhkan adegan-adegan konflik, bahkan barangkali konflik yang telah meruncing. Padahal pembaca belum lagi dibawa masuk ke situasi dan permasalahan yang menyebabkan terjadinya konflik dan pertentangan itu.

j.        Setting atau Latar
Menurut Herman J. Waluyo dan Nugraheni Eko Wardani (2009: 35) setting berkaitan dengan  pengadegan, latar belakang, waktu cerita, dan waktu  penceritaan. Pengadeganan artinya penyusunan adegan-adegan di dalam cerita. Tidak semua kejadian dalam kehidupan sang tokoh dilukiskan di dalam adegan-adegan. Adegan dipilih yang benar-benar mewakili cerita. Adegan bisa di dalam rumah dan dapat juga di luar rumah.
a.       Latar tempat :
Latar tempat adalah tempat cerita. Setting cerita dalam novel Sepatu Dahlan ini lebih banyak di  pedesaan, rumah warga, madrasah, pasar, dan kantor kecamatan. Khrisna Pabichara dalam Novel Sepatu Dahlan ini  lebih banyak atau dominan melukiskan latar tempat yang dilukiskan secara analitik. Hal itu terlihat pada kutipan berikut:
“Kebon Dalem. Itulah kampung kelahiranku. Sebuah kampung kecil dengan enam buah rumah, atau sebut saja gubug, yang letaknya saling berjauhan.”(Khrisna Pabhicara, 2012: 13)

 “Benar saja, setiba di dalam rumah, Bapak dan Ibu sudah menungguku di atas sehelai tikar pandan. Mereka bersila di bawah jilatan lampu teplok yang meliuk-liuk ditiup angin.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 17)

“Yang terbaring kaku di depanku, di atas tikar pandan di tengah rumah, adalah perempuan yang paling kusayangi. Ibu.”(Khrisna Pabhicara, 2012: 124)

 “Alangkah terkejutnya aku ketikaa melihat ibuku berjongkok memegangi batang pisang. Bahunya terguncang-guncang menahan batuk.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 75)

“Ketika menyelinap di sela-sela batang tebu yang tingginya dua kali melebihi tinggi tubuhku, aku mulai gugup.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 85)

“Tiba-tiba aku melihat sebatang pisang dengan buah yang sudah layak ditanak atau dibakar. Pisang itu bukan milik Bapak, apa lagi milikku. Ini kebun bengkok, milik Pak Lurah.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 95)

“Setiba di makam ibu ada seseorang di sana.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 182)

“Beberapa ratus meter sebelum Pesantern Takeran, di depan rumah Maryati, aku berhenti. Aku menelan ludah, berkali-kali, melihat buah-buah pisang diturunkan dari mobil dengan bak terbuka.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 111)

“Aisha berlari kecil menuju pintu rumahnya sambil terus tersenyum.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 322)
Tidak hanya tempat di pedesaan, namun novel ini juga menjelaskan secara jelas kondisi madrasah, cerita ketika Dahlan bersama Bapak mendaftar di Madrasah Tsanawiyah di Pesantren Takeran, serta cerita ketika Dahlan bersama sahabatnya telah lulus menempuh pendidikan di Pesantren Takeran. Kutipan yang menunjukkan setting tempat sebagai berikut.
“Gedung-gedung di Pesantren Takeran ini terlihat antik dan kokoh. Di sebelah kanan, gedung bercat hijau lumut memanjang berbentuk L. di depan kelas paling kana nada sebuah papan bertuliskan MADRASAH TSANAWIYAH, terpaku di tiang kayu jati. Di sebelah kiri, gedung bercat biru langit membentuk huruf U. Pada kelas kiri terpajang papan bertuliskan MADRASAH ALIYAH.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 32)

“Santri-santri bergerombol, duduk tak beraturan, bising bak lebah yang diusik dari sarangya, hingga Ustaz Ilham berdiri sambil mengangkat kedua tangannya.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 35)

“Mereka sedang berkumpul di ruang luas berbentuk persegi panjang ini untuk memilih pengurus Ikatan Santri Pesantren Takeran yang baru.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 156)

“Hari itu di bawah rindang trembesi di halaman gedung berbentuk huruf U, aku membayangkan nasib baru yang akan digariskan Tuhan untukku.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 340)
Latar tempat dalam novel ini juga menunjukkan kehidupan masyarakat Desa Kebon Dalem yang religius. Khrisna Pabichara menceritakan kegiatan anak-anak Desa Kebon Dalem yang selalu berangkat mengaji di langgar pada malam hari. Kutipan yang menyatakan hal tersebut adalah sebagai berikut.
“Bapak berjalan ke langgar, sementara kami lansung ke dapur. Beberapa saat kemudian, kami sudah berada di dalam langgar bersama anak-anak Kebon Dalem.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 303)
Latar tempat dalam novel ini juga menunjukkan bukti sejarah bangsa Indonesia di bawah pengaruh komunismenya. Kutipan yang menunjukkan latar tempat tersebut sebagai berikut.
“Dan, tibalah kami di sumur tua Cigrok yang berada di tengah-tengah tegalan dengan batang-batang ketela yang tumbuh liar,semak belukar dan rumput-rumput setinggi lutut, juga beringin besar yang terkenal keramat.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 68)
Latar tempat pada Novel Trilogi Sepatu Dahlan ini juga menunjukkan tempat-tempat kegiatan pemerintahan berlangsung.
“Setelah tiba di belakang kantor camat, serta merta anggota tim melompat-lompat, berjingkrak-jingkrak kegirangan menyambut kedatanganku, eolah-olah mereka sedang mengelu-elukan kedatangan seorang patriot sejati yang lama dinanti-nanti.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 224-225)

Pusat kegiatan sosial juga diceritakan dalam latar tempat Novel Sepatau Dahlan karya Khrisna Pabichara ini. Latar tempat ini dapat dilihat dalam kutipan berikut ini :
“Pedagang sepatu itu terkekeh-kekeh sambil mengusap-usap perut buncitnya. Aku letakkan sepatu itu di tempatnya semula dengan perasaan masygul.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 260).

“Pedagang sepatu bekas bertubuh tambun yang dulu mengejekku karena tidak mampu membeli sepatu yang ku idam-idamkan, hari ini membungkus dua pasang sepatu bekas tanpa banyak bicara.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 333)

b.      Latar suasana
Latar suasana menggambarkan suasana kedaerahan. Dalam novel  Sepatu Dahlan, Khrisna Pabichara menunjukkan latar suasana yang dialami tokoh Dahlan Iskan ketika dirinya menghadapi suatu peristiwa. Latas suasana dalam novel ini berupa menegangkan, menyakitkan, menyenangkan, memprihatinkan, mengharukan dan panik. Kutipan yang menunjukkan latar suasana kehidupan tokoh sebagai berikut.
 “Aku segera mencium tangan Bapak dan Ibu, kemudian duduk takzim di hadaan mereka. Tertunduk, sedalam-dalamnya.” (Khrisna Pabhicara,2012 : 17)

 “Aku berdiri tegak, membeku, terperangah mendengar pertanyaan Bapak yang tidak pernah kusangka-sangka.”(Khrisna Pabhicara,2012: 70)

“Rasa sakit di ulu hatiku makin menjadi-jadi.”(Khrisna Pabhicara,2012 : 85)

“Penonton yang didominasi warga Takeran bergemuruh menyambut kemenangan kami. Mereka bertepuk tangan, bersuit-suit, dan berteriak kegirangan.” (Khrisna Pabhicara,2012 : 233)

“Seperti memenangi olimpiade saja gaya kami saat Bupati Magetan menyerahkan piala setinggi setengah meter kepadaku. Piala itu kucium sepenuh hati, lalu berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain. Penonton bergemuruh.” (Khrisna Pabhicara,2012 : 279)

 “Yang terbaring kaku di depanku, di atas tikar pandan di tengah rumah, adalah perempuan yang paling kusayangi. Ibu.” (Khrisna Pabhicara,2012 : 124)

 “Ketika nama pengurus disebut satu per satu, aku lihat Bapak menengadah dengan mata berbinar-binar, bercahaya.” (Khrisna Pabhicara,2012 : 165)

“Saat itulah Bapak mendekat, memeluk, dan mengusap-usap kepalaku.” (Khrisna Pabhicara,2012 : 280)

 “Ibu tak bergerak. Dengan panik, aku meraba pipi Ibu dan berdoa semoga tak terjadi apa-apa, kemudian menggigil ketika memeluk tubuh ibuku yang terasa dingin, sangat dingin.” (Khrisna Pabhicara,2012 : 76)

“Sekuat tenaga aku menjaga keseimbangan, menatap jalanan dengan seksama, hingga tak menyadari dari arah depan melaju sebuah sepeda. Karena kaget aku membanting setang ke kiri, dan sebuah batu yang agak besar menebarkan ancaman baru.” (Khrisna Pabhicara,2012 : 116)

“Wajah Komariyah mulai pucat, dia terisak-isak dan menjerit ketakutan. Kami benar-benar panic karena Nanang tak kunjung siuman.” (Khrisna Pabhicara,2012 : 240)

c.       Latar waktu
Dalam novel Sepatu Dahlan menunjukkan setting waktu berupa hari. Situasi pagi, siang, sore, dan malam. Kutipan yang menunjukkan sebagai berikut.
Malam itu aku dan Zain tidur di langgar bersama teman-teman yang lain. Tiba-tiba, badan Zain sangat panas dingin.”(Khrisna Pabhicara,2012: 191)

 “Matahari sudah sepenggalah waktu aku dan Bapak memasuki kawasan Pesantren Takeran.” (Khrisna Pabhicara,2012: 29)

“Cahaya matahari menerobos masuk lewat pintu yang terbuka dan membangunkanku, pertanda sekarang sudah siang.” (Khrisna Pabhicara,2012: 80)

 “Matahari tepat berada di ubun-ubun, panas membara.” (Khrisna Pabhicara,2012: 39)

“Komariyah berjalan paling depan, di bawah terik sinar matahari, menjunjung tampah berisi makanan yang sudah kami tunggu-tunggu.” (Khrisna Pabhicara,2012: 243)

“Matahari senja kembali mengapung di permukaan sungai.” (Khrisna Pabhicara,2012: 148)

 “Malam sudah tiba, gelap menyelimuti Kebon Dalem. Hanya kelip-kelip lampu teplok sesekali terlihat.” (Khrisna Pabhicara,2012: 16)

“Hening. Senyap. Suara jangkrik dan binatang malam di luar rumah terasa nyaring di telinga.” (Khrisna Pabhicara,2012: 20)
Selain setting hari, novel Sepatu Dahlan juga menunjukkan setting tahun. Berikut beberapa kutipan yang menunjukkan setting tersebut.
“Desember 1962. Baru saja kuterima ijazah Sekolah Rakyat.”(Khrisna Pabhicara,2012: 16)
Selain itu, setting waktu ditunjukkan dengan angka jam. Kutipan yang menunjukkan seting tersebut sebagai berikut.
“Senin, 6 Agustus 2007, pukul 09.00”(Khrisna Pabhicara,2012: 1)

k.      Point of View/ Sudut Pandang
Point of View atau sudut pandang cerita mengacu pada cara sebuah cerita dikisahkan. Sudut pandang merupakan cara atau pandangan yang digunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan tokoh, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam karya fiksi kepada pembaca.  Sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih oleh pengarang untuk mengemukakan gagasan ceritanya. Sudut pandang yang digunakan pada novel Sepatu Dahlan yaitu pesona atau gaya “aku”, pengarang atau narator berada di dalam cerita. Pengarang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut dirinya “aku”. Sudut pandang yang paling menonjol dalam novel Sepatu Dahlan, menggunakan cara ini. Berikut ini kutipan yang menunjukkan sudut pandang tersebut.
“Aku masih tertunduk, memandangi tikar pandan yang kududuki. Aku memang suka ketiga pelajaran yang mendapat nilai Sembilan itu : Menyanyi, Menulis, dan Gerak Badan. Aku suka menyanyi karena kata teman-teman suaraku bagus. Sebenarnya, setiap bernyanyi, aku sedang berusaha melupakan kepedihan hidupku. Aku juga suka menulis. Sangat suka. Bukuku penuh catatan pengalaman tentang apa saja : domba-dombaku yang bertambah banyak, sepatu Pak Suprapto –Kepala  SR Bukur—yang mengilat atau sepedanya yang gagah membelah jalanan, dan pelbagai hal yang kualami sehari-hari.sebab itulah tak ada seorang pun yang melampaui angka pelajaran menulisku. Aku juga suka Gerak Badan karena setiap berkumpul dengan teman-temann di tempat menggembala, kami biasa balap lari atau main voli atau sepak bola. Selebihnya, aku tak punya banyak waktu untuk belajar.”(Khrisna Pabhicara,2012: 18-19)
Sudut pandang (Point of View) pesona “aku” ini banyak menyebutkan tokoh utama yang mengemukakan gagasan utama cerita melalui tokoh Dahlan, pengarang menuangkan kehidupan masyarakat Desa Kebon Dalem sebagai masyarakat yang miskin. Perasaan batin kehidupan orang miskin terhadap mimpi dan cita-cita. Hal ini banyak dituangkan melalui tokoh Dahlan.

l.        Amanat
Amanat yang terdapat dalam karya sastra tertuang secara implisit. Secara implisit yaitu jika jalan keluar atau ajaran moral itu disiratkan dalam tingkah laku tokoh menjelang cerita berakhir, Sudjiman (1986:35). Amanat secara eksplisit yaitu jika pengarang pada tengah atau akhir cerita menyampaikan seruan, saran, peringatan, nasihat, anjuran, larangan dan sebagainya, berkenaan dengan gagasan yang mendasari cerita itu.
1)      Jangan berhenti bermimpi, karena mimpi yang akan membawa kita pada kenyataan.
“Mimpi-mimpi itu, seandainya sepatu dan sepeda tak layak di sebut cita-cita, tak jauh berbeda dengan mimpi-mimpi anak-anak di kampungku. Bedanya, sepenuh daya aku berusaha meraih mimpi-mimpi itu, dan tak berhenti sampai benar-benar aku memilikinya. Kalupun ada anak-anak lain yang punya mimpi berbeda, pasti Kadirlah orangnya. Dia bermimpi punya gitar dan dia korbankan seekor domba kesayangannya demi mewujudkan mimpi itu.barangkali mimpi anak-anak miskin di mana-mana sama, sederhana. Manakal mimpi itu sudah kupenuhi, anehnya aku merasa ini bukan akhir dari keinginan yang hendak kupenuhi.ada mimpi barau, mimpi yang tiba-tiba saja ingin kupenuhi, bias makan setiap kali perut melilit-lilit karena kelaparan. Mimpi ini, mungkin, seperti sepatu dan sepeda, juga sederhana. Tak ada yang aneh, apalagi ajaib.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 338)
2)      Kita harus menjalani problema kehidupan dengan ikhlas, sebab di situlah mental kita diuji.
Hidup, bagi orang miskin, harus dijalani apa adanya.”(Khrisna Pabichara,2012: 322)
3)      Kerja keras merupakan tonggak dari prestasi.
“Keesokan harinya, tanpa buang-buang waktu, aku berangkat sendirian ke Pasar Madiun. Terik matahari, letih tubuh, dan angin kencang tak terasa sama sekali.sepeda meleju kencang, demi peristiwa paling bersejarah sepanjang hidupku: membeli sepatu dan sepeda.”(Khrisna Pabhicara,2012: 333)