BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Karya sastra merupakan hasil karya cipta
manusia yang mengandung daya imajinasi dengan menggunakan bahasa sebagai
medianya. Menurut Wellek dan Warren (1993:14) bahasa adalah bahan baku
kesusastraan, seperti batu dan tembaga untuk seni patung, cat lukisan, dan bunyi untuk seni musik, sehingga diperlukan
bahasa sebagai media penyampaiannya. Sastra sebagai karya imajinatif, memiliki
acuan berupa dunia fiksi atau imajinasi. Sastra lahir dari proses kegelisahan
sastrawan atas terjadinya ketegangan atas kebudayaannya. Sastra sering juga
ditempatkan sebagai potret sosial. Sebuah
karya sastra berfungsi mengungkapkan
kondisi masyarakat pada masa tertentu. Dengan
demikian, karya sastra akan memancarkan semangat
zamannya dan memberi pemahaman yang khas atas situasi sosial, kepercayaan dan
harapan-harapan individu yang sesungguhnya mempresentasikan kebudayaan
bangsanya. Sastra menyajikan dunia dalam kata, yang bukan dunia sesungguhnya,
namun dunia yang “mungkin” ada.
Selain bercirikan keindahan, sebuah
karya sastra haruslah memiliki kegunaan. Dalam hal ini fungsi sastra bagi
manusia, yaitu sebagai kesenangan dan manfaat. Kedua sifat tersebut saling
mengisi. Kesenangan yang diperoleh melalui pembacaan karya sastra bukanlah
kesenangan ragawi, melainkan kesenangan yang lebih tinggi, yaitu kesenangan
kontemplasi yang tidak mencari keuntungan. Sedangkan manfaatnya adalah
keseriusan yang menyenangkan, keseriusan estetis, dan keseriusan persepsi.
Selain itu sastra juga memiliki fungsi katarsis, yaitu membebaskan pembaca dan
penulisnya dari tekanan emosi.
Karya sastra jika dilihat dari bentuknya
dibagi menjadi tiga yaitu, drama, puisi, dan prosa. Menurut Rahmanto (1988: 89-90), drama bukan hanya
pemaparan atau diskusi tentang peristiwa kehidupan yang nyata, tetapi drama
lebih merupakan penciptaan kembali kehidupan nyata seperti pendapat Aristoteles
(dalam Rahmanto,1988: 90) yaitu peniruan gerak yang memanfaatkan unsur-unsur
aktivitas nyata. Bentuk karya sastra yang kedua adalah puisi. Puisi adalah
pendramaan pengalaman yang bersifat penafsiran bahasa berirama (Altenbernd
dalam Rahmad Djoko Pradopo, 2005: 5-6). Kepuitisan sebuah puisi dapat dicapai
dengan bermacam-macam cara, misalnya dengan bentuk visual: tipografi, susunan
bait dengan bunyi: persajakan, asonansi, aliterasi, kiasan bunyi, dan lambang
rasa (Rahmad Djoko Pradopo, 2005: 13). Selain drama dan puisi, karya sastra
yang lain adalah prosa. Menurut Burhan
Nurgiyantoro (1994: 2) prosa dalam pengertian
kesastraan juga disebut fiksi (fiction), teks naratif (narrative text)
atau wacana naratif (narrative discouce). Karya fiksi menyaran pada suatu karya
yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak
ada dan terjadi sungguh-sungguh sehingga perlu dicari kebenarannya pada dunia
nyata. Istilah fiksi sering dipergunakan dalam pertentangannya dengan realitas
yang terjadi di dunia nyata sehingga kebenarannyapun dapat dibuktikan dengan
data empiris. Ada tidaknya, atau dapat tidaknya sesuatu yang dikemukakan dalam
karya sastra dibuktikan secara empiris antara lain yang membedakan karya fiksi
dengan karya nonfiksi. Tokoh, peristiwa, dan tempat yang bersifat imajinatif,
sedang pada karya nonfiksi bersifat faktual.
Menurut
Julia Kristeva (1994: 54) bahwa intertekstual mempunyai prinsip. Prinsip
ini berarti bahwa setiap teks sastra dibaca dan harus dibaca dengan latar
belakang teks-teks lain; tidak ada sebuah teks pun yang sungguh-sungguh
mandiri, dalam arti bahwa penciptaan dan pembacaannya tidak dapat dilakukan
tanpa adanya teks-teks lain sebagai contoh, teladan, kerangka; tidak dalam arti
bahwa teks baru hanya meneladan teks lain atau mematuhi kerangka yang telah diberikan terlebih dahulu; tetapi dalam
arti bahwa dalam penyimpangan dan transformasi pun model teks yang sudah ada
memainkan peranan yang penting; pemberontakan atau penyimpangan mengandalkan
adanya sesuatu yang dapat diberontaki dan disimpangi. Pemahaman teks baru memerlukan latar belakang
pengetahuan tentang teks-teks yang mendahuluinnya (Teeuw, 1984: 144).
Prinsip intertekstual yang utama adalah prinsip
memahami dan memberikan makna karya yang bersangkutan. Karya itu diprediksikan
sebagai reaksi, penyerapan, atau transformasi dari karya-karya yang lain.
Intertekstual lebih dari sekedar pengaruh, ambilan, atau jiplakan, melainkan
bagaimana kita memperoleh makna sebuah karya secara penuh dalam kontrasnya
dengan karya lain yang menjadi hipogramnnya (Burhan Nurgiyantoro, 1994: 54).
Karya sastra memang tidak secara
langsung mendidik pembacanya, namun karya sastra menampilkan citra energetis
yang secara langsung berpengaruh terhadap kualitas emosional, yang kemudian
berpengaruh terhadap kualitas lain, misalnya pendidikan, pengajaran, etika,
budi pekerti, dan sistem norma yang lain. Dalam konteks itulah, mempelajari
sastra suatu bangsa pada hakikatnya tidak berbeda dengan usaha memahami
kebudayaan bangsa yang bersangkutan.
Seiring
dengan perkembangan peradaban dunia, sebuah karya sastra akan memiliki prestise
yang semakin
dihargai. Dalam hal ini, sebuah karya sastra
akan berada dalam sebuah persaingan yang akan menunjukkan kualitas karya
tersebut. Di
sisi lain, masyarakat yang merupakan konsumen sastra akan membaca serta menelaah
karya-karya yang memiliki nilai
guna bagi dirinya serta bagi lingkungannya.
Namun pada kenyataanya,
karya sastra masih jarang dinikmati oleh masyarakat. Hal ini terjadi karena
masyarakat kurang mengetahui nilai estetis sebuah karya sastra.
Keprihatinan ini menggerakkan kami untuk
mengadakan sebuah acara bernama “Seminar Novel Sepatu Dahlan”, yang bertemakan
“Kemilau Mimpi Anak Bangsa”. Novel
Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara merupakan
novel pertama dari trilogy novel Sepatu Dahlan
yang menggambarkan fenomena kehidupan kaum bawah. Novel ini menggambarkan
gejala-gejala alam termasuk segala sesuatu yang terjadi dalam masyarakatnya
khususnya kehidupan rakyat kalangan bawah.
Tidak hanya menampilkan fenomena alam dan gejala masyarakat baik berupa
tingkat sosial ekonomi, pendidikan,
kesehatan, tetapi novel ini
memiliki nilai-nilai historis.
Khrisna Pabichara menuangkan
nilai-nilai historis
dalam Sepatu Dahlan secara halus,
bagaimana kehidupan kaum bawah yang berada
dibawah tekanan para tokoh politik yang haus akan kekuasaan.
Pengkajian terhadap novel tersebut
dengan menganalisis struktur yang ada dalam novel tersebut serta mencari
nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam novel tersebut. Sehingga akan
memberikan jawaban permasalahan dan
mempermudah dalam memahami novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara sebagai
salah satu bentuk apresiasi terhadap karya sastra.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka perumusan masalah
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana kepaduan struktur
pembangun novel Sepatu Dahlan?
2. Bagaimana
nilai pendidikan dalam novel Sepatu
Dahlan?
C.
Tujuan Penelitian
Tujuan dilaksanakan
penelitian ini adalah sebagai berikut
:
1. Mengetahui
struktur pembangun novel Sepatu Dahlan.
2. Mengetahui
nilai pendidikan dalam novel Sepatu Dahlan.
D.
Manfaat Penelitian
Manfaat
dilaksanakan penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Meningkatkan
kemampuan menganalisis struktur
pembangun pada novel.
2. Menanamkan
nilai-nilai yang tersirat dalam sebuah novel.
3. Meningkatkan
minat baca terhadap karya sastra Indonesia, khususnya generasi muda.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Analisa
Unsur Instrinsik dan Ekstrinsik Novel Sepatu Dahlan
1. Unsur-unsur
Instrinsik
Unsur-unsur
intrinsik adalah unsur-unsur pembangun karya sastra yang dapat ditemukan di
dalam teks karya sastra itu sendiri.
Dalam
hal ini, unsur intrinsik memiliki pemahaman yang berbeda dengan analisa
intrinsik. Analisis intrinsik adalah mencoba memahami suatu karya sastra
berdasarkan informasi-informasi yang dapat ditemukan di dalam karya sastra itu
atau secara eksplisit terdapat dalam karya sastra. Hal ini didasarkan pada
pandangan bahwa suatu karya sastra menciptakan dunianya sendiri yang berbeda
dari dunia nyata. Segala sesuatu yang terdapat dalam dunia karya sastra
merupakan fiksi yang tidak berhubungan dengan dunia nyata. Karena menciptakan
dunianya sendiri, karya sastra tentu dapat dipahami berdasarkan apa yang ada
atau secara eksplisit tertulis dalam teks tersebut. Unsur intrisik sebuah novel
mencakup tema, latar/setting, alur/plot, penokohan/perwatakan, sudut pandang,
amanat, konflik dan gaya bahasa.
a. Tema
Tema adalah gagasan, ide, atau pikiran
utama yang mendasari suatu karya sastra. Oleh karena itu dapat disimpulkan
bahwa tema dapat dipandang sebagai dasar cerita, gagasan dasar umum, sebuah
karya novel. Tema dalam sebuah karya sastra, fiksi, hanyalah
merupakan salah satu dari penjumlahan
unsur pembangun cerita yang lain, yang secara bersama membentuk sebuah
kemenyeluruhan. Bahkan eksistensi tema itu
sendiri amat bergantung dari berbagai unsur yang lain. Hal itu
disebabkan tema, yang notabene hanya berupa makna atau gagasan dasar umum suatu
cerita, tak mungkin hadir tanpa unsur bentuk yang menampungnya. Dengan
demikian, sebuah tema baru akan menjadi makna cerita jika ada keterkaitannya
dengan unsur-unsur cerita lainnya (Burhan Nurgiyantoro, 1994: 74).
Ada beberapa macam tema, yaitu
1) Tema sentral
Tema sentral dalam novel ini yaitu Mimpi dan Cita-cita. Secara
umum dalam novel ini, pengarang ingin mengungkapkan masalah sosial khususnya kemampuan seseorang untuk memenuhi keinginan dan
kebutuhan hidupnya dengan menempuh berbagai cara. Khrisna Pabichara mengungkapkan
bagaimana upaya yang dilakukan seorang
anak “Dahlan Iskan” untuk menggapai mimpi dan cita-citanya berupa sepatu dan
sepeda. Tema ini dibuktikan pada penggalan :
“Aku terperangah
memandangi kejadian tak disangka-sangka itu. Kaus tim adalah impian lama kami,
dan tiba-tiba saja tergeletak di depan kami.”(Khrisna Pabhicara, 2012: 227)
“Mimpi-mimpi
itu, seandainya sepatu dan sepeda tak layak di sebut cita-cita, tak jauh
berbeda dengan mimpi-mimpi anak-anak di kampungku. Bedanya, sepenuh daya aku
berusaha meraih mimpi-mimpi itu, dan tak berhenti sampai benar-benar aku
memilikinya. Kalupun ada anak-anak lain yang punya mimpi berbeda, pasti
Kadirlah orangnya. Dia bermimpi punya gitar dan dia korbankan seekor domba
kesayangannya demi mewujudkan mimpi itu.barangkali mimpi anak-anak miskin di
mana-mana sama, sederhana. Manakal mimpi itu sudah kupenuhi, anehnya aku merasa
ini bukan akhir dari keinginan yang hendak kupenuhi.ada mimpi barau, mimpi yang
tiba-tiba saja ingin kupenuhi, bias makan setiap kali perut melilit-lilit
karena kelaparan. Mimpi ini, mungkin, seperti sepatu dan sepeda, juga
sederhana. Tak ada yang aneh, apalagi ajaib.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 338)
“Demikianlah,
hari ini aku menyadari bahwa sepatu dan sepeda bukanlah cita-cita atau mimpi
besar yang sebenarnya bagiku. Tetapi, aku belum tahu apa cita-cita atau mimpi
yang lebih besar dari sepatu atau sepeda itu.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 339)
2) Tema sampingan
Khrisna Pabichara mengungkapkan kehidupan keluarga “Dahlan Iskan” dalam
kondisi kesederhanaanya, dimana antaranggota keluarga saling menyayangi satu
sama lain, dan mengingatkan apabila salah satu diantaranya melakukan tindakan
yang merugikan orang lain. Hal ini dibuktikan pada penggalan :
“Ada sesuatu yang jauh lebih kuinginkan, kasih
sayang. Dengan luka anak kecil, aku menolak niat Mbak Atun untuk merantau ke
Kalimantan, menceritakan kejadian yang mungkin akan menimpa kami – aku, Zain, dan Bapak – berharap Mbak Atun
mengurungkan niat besarnya itu, tetapi akhirnya Mbak Atun tetap memilih pergi.
Aku ceritakan kepada siapa pun kegetiran yang kucemaskan ketika Ibu sakit dan
kemudian pergi jauh, tetapi tak ada yang mampu menjelaskan dengan baik kenapa
seseorang bisa pergi dan bila yang pergi itu akan kembali. Aku ceritakan kepada
Bapak keinginanku untuk menuntut ilmudi sekolah yang aku idamkan, tetapi Bapak
punya keinginan lain dan sebagai anank aku harus menuruti keinginan itu – meski
belakangan aku tahu, Bapak menginginkan yang terbaik bagiku.” (Khrisna Pabhicara,
2012: 339)
“Dan, ada
beberapa waktu, berkali-kali, aku merindukan kehadiran mereka. Disiplin keras
dan didikan tegas Bapak menjelaskan kepadaku bahwa tidak ada sesuatu yang bias
kupandang enteng, dan dari sana bermula nikmat kebersahajaan – sebagai anak
yang dibesarkan oleh lengan-lengan kemiskinan – yang sering kurindukan setiap
kali Bapak jauh dariku.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 339-340)
Persahabatan tulus anak-anak miskin diungkapkan dengan baik oleh
pengarang. Persahabatan ini membuahkan banyak kejadian-kejadian tak terduga dan
menjadi motivator anak-anak untuk terus berupaya menjalani kehidupan dengan apa
adanya. Bukti penggalan novel :
“Kami berhenti
menunggu Maryati dan Rombongan mendekat. ‘Ini.’ Seru Maryati sembari
menyodorkan sepasang sepatu yang terbungkus kain merah.” (Khrisna Pabhicara,
2012: 267)
“Tiga laki-laki
dan dua perempuan di hadapanku seperti sepakat memandang ke masa silam. Kadir baru
saja merampungkan lagu yang dia dendangkan, lagu yang dia gubah sendiri
syairnya. Lagu tentang persahabatan sejati tanpa memandang asal-muasal. Lagu
yang diilhami oleh persahabatan kami— Arif, Imran, Maryati, Komariyah, dia, dan
aku— dan berharap persahabatan kami tidak berakhir di sini, di masa-masa akhir
Madrasah Aliyah Pesantren Sabillil Muttaqien.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 340)
“Tuhan
memberkati hidupku lewat pertemuan dan pertemanan yang hebat.” (Khrisna
Pabhicara, 2012: 344)
b. Penokohan dan Perwatakan
Tokoh dan watak tokoh mempunyai kaitan yang
erat. Tokoh-tokoh yang memiliki watak akan menyebabkan
terjadinya konflik, yang kemudian konflik tersebut akan menghasilkan sebuah
cerita. Tokoh cerita menurut Abrams
(dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005:165)
adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang
oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu
seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.
Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan,
amanat, moral atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca
(Burhan Nurgiyantoro, 2005: 167). Artinya tokoh cerita hanyalah alat penyampai
pesan atau bahkan merupakan refleksi pikiran, sikap, pendirian, dan
keinginan-keinginan pengarang.
Secara
garis besar, tokoh yang menyebabkan konflik disebut tokoh protagonis dan tokoh
antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang mendukung jalannya cerita sebagai
tokoh yang mendatangkan simpati atau tokoh baik. Tokoh antagonis merupakan
kebalikan dari tokoh protagonis adalah tokoh yang menentang arus cerita atau
yang menimbulkan perasaan anti atau benci pada diri pembaca. Konflik antara
kedua tokoh ini berkembang terus. Karena itu, kedua jenis tokoh ini menguasai
(mendominasi) keseluruhan cerita. Kedua jenis tokoh ini dapat diklasifikasikan
sebagai tokoh sentral yang berarti tokoh-tokoh yang dipentingkan atau
ditonjolkan atau menjadi pusat penceritaan (Herman J. Waluyo dan Nugraheni Eko
Wardani, 2009: 28-29).
Untuk
mempermudah menganalisis tokoh maka dibuat tabel pembagian tokoh. Tabel
pembagian tokoh dalam novel Sepatu
Dahlan dapat dilihat dalam tabel dibawah ini.
No
|
Pembagian Tokoh
|
|||
Protagonis
|
Antagonis
|
Tritagonis
|
Tambahan
|
|
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
|
Dahlan
Iskan
|
Bapak
|
Ibu
Zain
|
Mbak Atun
Mbak
Sofwati
Ustaz
Ilhamm
Ustaz
Hamim
Kadir
Aisha
Maryati
Komariyah
Imran
Arif
|
Berikut deskripsi karakteristik
beberapa tokoh yang terdapat
dalam novel Sepatu Dahlan
karya Khrisna Pabichara :
a)
Dahlan Iskan
Dahlan Iskan adalah tokoh utama
sekaligus tokoh protagonis dalam novel Sepatu
Dahlan. Tokoh ini adalah tokoh yang sering kali muncul dan
mendominasi cerita. Pengarang
menggunakan teknik analitik
dalam pelukisan tokoh. Dahlan Iskan
dilukiskan sebagai seorang anak dari sebuah keluarga miskin yang selalu bekerja
setiap hari untuk mendapatkan upah yang akan digunakan untuk membeli barang
idamannya yaitu sepatu dan sepeda. Kutipan yang
menjelaskan watak Dahlan Iskan :
“...: setelah
sholat Subuh sudah harus menyabit rumput, terus ke sekolah, setelahnya menyabit
rumput lagi, lalu belajar mengaji …” (Khrisna Pabhicara, 2012: 19)
Tokoh
Dahlan dalam Sepatu Dahlan memiliki
watak pekerja keras, suka membantu, rapi, patuh pada orang tua dan berjiwa pemimpin.
Tetapi Dahlan memiliki watak
negatif, yaitu watak Dahlan yang
menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan barang yang diinginkannya. Kutipan-kutipan yang menunjukkan watak Dahlan :
“Aku dan Zain
juga sama. Bangun lebih pagi dari biasanya, bersama-sama ke tegalan, pematang-pematang
sawah, atau ke jalanan pembatas ladang tebu untuk menyabit rumput.” (Khrisna
Pabhicara, 2012: 163)
“Siapa yang mau
bantu Ibu mbawa anglo dan wajan kecil dari pawon?‘Aku saja, Bu,’ kataku sambil
berlari ke arah dapur dengan riang.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 49)
“Aku mengangguk
dengan pasti, berusaha meyakinkan Bapak bahwa tak ada lagi kebimbangan yang
tersisa di hati. Lalu pagi itu, bersama Bapak, aku mulai petualanagan berjalan
aki sepanjang enam kilometer dari Kebon Dalem ke Pesantren Takeran.” (Khrisna
Pabhicara, 2012: 28)
“Aku pindah ke
depan kelas, menata kembali batu-batu yang terlepas dari tempatnya.” (Khrisna
Pabhicara, 2012: 141)
“Pasir yang
berserakan kuraup dengan tangan, menata kembali di jalur berbatas bata merah
segitiga yang tertancap rapi ke dalam tanah.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 141)
“Pada saat
seperti ini, aku harus bisa mengambil keputusan dengan cepat. Sebagai kapten tim,Ustaz
Jabbar memberikan kewenangan penuh kepadaku untuk mengatur jadwal latihan dan
mengambil keputusan demi kepentingan tim.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 198)
“Aku segera
mengajak mereka merapat, menyusun strategi untuk melawan tim bola voli wakil
Kecamatan Bendo itu.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 226)
Watak negatif tokoh Dahlan adalah menghalalkan berbagai cara untuk
mendapatkan barang yang diinginkannya. Kutipan yang
menjelaskan watak negatif tokoh Dahlan
sebagai
berikut.
“Setelah bertemu
batang yang tepat, aku pegang pertengahan batang sambil menebaskan parang.”
(Khrisna Pabhicara, 2012: 86)
“Ini kebun
bengkok milik Pak Lurah. Kedapatan mencuri pisang pasti lebih ‘mengerikan’
ketimbang mencuri tebu.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 95)
“Maka, kucongkel
dengan pintu lemari, melepas engselnya dan segera menemukan kotak duit Bapak.
Dengan jantung yang berdegup kencang, kotak itu kuambil dan kutaruh di atas
lantai tanah.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 256)
“Aku mengambil
uang itu dengan mata melotot dan dada yang berdentam-dentam.” (Khrisna
Pabhicara, 2012: 258)
b)
Bapak
Tokoh
Bapak adalah tokoh antagonis
karena tokoh ini yang menyebabkan konflik dalam batin tokoh utama (Dahlan). Tokoh ini yang pada
mulanya memunculkan konflik dalam cerita. Sisi positif watak tokoh Bapak memiliki semangat
bekerja yang tinggi. Kutipan yang menunjukkan psikis dari Bapak yang memiliki semangat
yang tinggi dalam bekerja sebagai berikut
:
“Tangannya tak
pernah bisa diam. Ada saja yang dia kerjakan: memangkas pohon beluntas di pagar
halaman, meratakan lantai tanah rumah, membuang palapah pisang yang daunnya
mulai menguning.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 23)
Dari kutipan di atas jelas bahwa Tokoh Bapak adalah orang tua yang bertanggung
jawab dalam menafkahi keluarganya. Selain itu, tokoh Bapak memiliki watak yang
keras, disiplin, pendiam, serta pandai bercerita. Kutipan-kutipan yang
menunjukkan watak Tokoh Bapak :
“Aku sangat menghormati Bapak, mungkin karena
takut atau memang suka, terlepas dari sikap taatnya terhadap aturan-aturan yang
dibuatnya. Tak da yang boleh melanggar, termasuk Ibu dan anak-anak
perempuannya.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 17)
“Bapak sangat
pendiam. Sampai-sampai aku bisa menghitung berapa banyak kata yang diucapkannya
dalam satu hari.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 23)
“Masih pagi, Le, Bapak mau bercerita, sebentar saja.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 27)
c)
Ibu
Tokoh Ibu merupakan
tokoh tritagonis, kedudukan tokoh
Ibu ini sebagai penengah
konflik. Tokoh Ibu
sebagai pelerai konflik yang terjadi pada tokoh utama yaitu Dahlan. Ibu dilukiskan sebagai
orang yang memiliki watak yang baik hati
dan tekun. Sifat positif tokoh Ibu terdapat dalam kutipan
berikut ini :
“Ibu mambawakan sepiring nasi, sepotong ikan
kering dan sambal favoritku.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 44)
“Malam sudah tiba. Ibu sudah siap-siap
menceburkan diri dalam kebisuan. Selembar kain mori, yang baru diterimanya tadi
pagi sudah ditaruh di atas tikar pandan.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 47)
d)
Zain
Tokoh Zain merupakan
tokoh tritagonis, kedudukan tokoh
Zain ini sebagai penengah
konflik. Zain dilukiskan
sebagai seorang anak yang memiliki watak suka membantu dan rajin bekerja. Penggalan novel yang menunjukkan watak
zain :
“Hanya butuh dua langkah lagi sebelum
meletakkan anglo itu ketika Zain yang sepertinya bermaksud membantu tiba-tiba
berdiri dan menyenggol tanganku.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 49)
“Sebulan belakangan ini, setiap pulang
menyabit rumput, aku dan Zain bahu-membahu mencangkuli tanah kosong di halaman
belakang, menggemburkan tanahnya, menebarinya dengan benih jagung, ketela,
umbi-umbian, sayur-sayuran – atau yang semacam itu.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 172)
e)
Mbak Atun
Tokoh
Mbak Atun merupakan tokoh
tambahan yang fungsinya sebagai pendukung tokoh utama. Tokoh Mbak Atun adalah kakak Dahlan yang digambarkan sebagai sosok yang memiliki ciri fisik dan watak keibuan. Kutipan yang
menunjukkan ciri fisik dan watak keibuan
dari tokoh Mbak Atun
sebagai berikut.
“…Mbak Atun adalah cerminan sosok Ibu yang
sempurna : rambut hitam, alis lebat, hidung bangir, lesung pipi, dan tinggi
badan benar-benar bak pinang dibelah dua.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 219)
“Belum lagi
tutur katanya, seolah-olah seluruh karakter Ibu diwariskan kepadanya.” (Khrisna
Pabhicara, 2012: 219)
f)
Mbak Sofwati
Tokoh
Mbak Sofwati merupakan tokoh
tambahan yang fungsinya sebagai pendukung tokoh utama. Tokoh Mbak Sofwati adalah kakak Dahlan yang digambarkan sebagai sosok yang pendiam. Kutipan yang
menunjukkan watak pendiam
dari tokoh Mbak Sofwati
sebagai berikut.
“Mbak Sofwati mengangguk. Seperti Bapak, kakak
perempuanku yang satu ini memang bicara seperlunya saja, tegas dan tidak suka
basa-basi.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 108)
g)
Ustaz Ilham
Tokoh Ustaz Ilham merupakan tokoh tambahan yang fungsinya sebagai pendukung tokoh utama. Tokoh Ustaz Ilham adalah guru Dahlan yang digambarkan sebagai sosok yang ramah. Kutipan yang
menunjukkan watak ramah dari
tokoh Ustaz Ilham sebagai berikut.
“Begitulah ustaz
muda bersarung kotak-kotak itu menyambut kedatangan kami.” (Khrisna Pabhicara,
2012: 35)
Ustaz Ilham merupakan
motivator bagi para santri di pesantren Takeran. Kutipan
yang menunjukkan tokoh Ustaz Ilham
seorang motivator sebagai
berikut.
“Beliau mengobarkan semangat kami agar jauh
dari rendah diri dan lebih dekat pada rendah hati.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 37)
h)
Ustaz Hamim
Ustaz Hamim merupakan guru di pesantren Takeran yang pandai
bercerita. Kutipan yang menunjukkan tokoh Ustaz Hamim seorang yang pandai bercerita sebagai
berikut.
“Ustaz hamim yang hafal Al-Qur’an sejak usia
remaja itu menghampiri kami, tersenyum, menatap kami satu per satu, kemudian
meneruskan kisah Pesantren Takeran yang membuat kami takjub dan merasa
seolah-olah kamilah yang mendirikan pesantren ini dari semula.” (Khrisna
Pabhicara, 2012: 55)
i)
Aisha
Aisha merupakan tokoh
tambahan yang fungsinya sebagai pendukung tokoh utama. Tokoh ini
mempengaruhi konflik yang muncul dalam cerita.
Tokoh Aisha
dijelaskan ciri fisik dan psikisnya.
Tokoh
Aisha adalah sosok gadis yang memiliki rambut panjang dan kulit
kuning langsat. Tokoh Aisha digambarkan sebagai
sosok yang suka menolong. Kutipan yang
menunjukkan bahwa Aisha suka menolong
sebagai berikut.
“Gadis berambut panjang yang menolong Maryatai
mengulum senyum.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 117)
Kelebihan dari tokoh Aisha diungkapkan oleh pengarang bahwa dirinya anak
orang kaya. Akan tetapi, Aisha tetap rajin bekerja. Penggalan cerita yang
menunjukkan bahwa Aisha rajin bekerja sebagai berikut.
“Ketika melewati Sawojajar, di depan sebuah
rumah gedong besar dengan halaman yang lapang, seorang perempuan muda sedang
menjemur pakaian di samping rumahnya.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 194)
j)
Kadir
Tokoh Kadir merupakan tokoh
tambahan yang dilukiskan dengan watak polos, pendiam, serta mudah tersentuh. Watak
tokoh Kadir dilukiskan secara dramatik melalui pikiran tokoh lain. Penggalan
novel yang menunjukkan watak tokoh Kadir sebagai berikut.
“Yang kusuka dari Kadir adalah kepolosan dan
keterusterangannya.”(Khrisna Pabhicara, 2012: 34)
“Lagi-lagi Kadir
membisu. Sejak dulu, waktu pertama kali bertemu sengannya di SR Bukur, dia
sangat pendiam.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 307)
“Sedang larut menyimak kisah hilangnya Kiai
Mursyid itu, samar-samar kudengar seorang terisak. Dan ketika aku menoleh kearah
isakan itu, Kadir memejamkan mata. Pada kedua sisi hidungnya terlihat jelas
bekas alur air mata.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 56)
k)
Maryati
Maryati merupakan tokoh
tambahan yang fungsinya sebagai pendukung tokoh utama. Ciri psikis dari tokoh Maryati yaitu suka berbagi.
Kutipan yang menunjukkan tokoh Maryati seorang anak yang suka berbagi sebagai
berikut.
“Maryati menghentikan langkah, ’Buat kamu…,’
katanya sambil menyandarkan sepeda di pinggangnya, dan segera membuka tas. Sesisir
pisang besar-besar segera “menggelitik” perutku. “(Khrisna Pabhicara, 2012: 114)
Selain itu, tokoh Maryati digambarkan sebagai seorang gadis yang baik hati dan
cerewet. Tokoh Maryati dijelaskan ciri fisiknya secara langsung oleh pengarang. Tokoh Maryati adalah sosok gadis yang memiliki wajah cantik dan senyum yang
menawan. Hal ini dibuktikan pada kutipan berikut ini :
“Kalau tersenyum sungguh menawan. Dia santri
yang baik hati dan paling cantik dikelasku. Sekaligus paling cerewet.” (Khrisna
Pabhicara,2012: 99)
l)
Komariyah
Tokoh
Komariyah merupakan tokoh tambahan yang memiliki keterkaitan dengan tokoh
utama. Tokoh Ksomariyah dilukiskan sebagai seorang gadis yang tidak suka
mengerjakan pekerjaan anak perempuan. Tokoh Komariyah lebih suka bermain dengan
anak laki-laki. Sisi positif dari tokoh Komariyah yaitu pandai bergaul, teliti
dan hemat kata. Sisi positif dari tiokoh Komariyah ditunjukkan pada kutipan
berikut ini :
“Parahnya lagi,
dia pula perempuan pertama yang mau menggembala domba bersama penggembala yang
semuanya laki-laki.”(Khrisna Pabhicara,2012: 150)
“Jika bicara, dia seperti sudah sangat dewasa,
padahal umurnya setahun lebih muda dariku.” (Khrisna Pabhicara,2012: )
m)
Arif
Tokoh
Arif merupakan tokoh tambahan yang dilukiskan sebagai seorang anak yang cerdas
dan memiliki kemauan keras. Kutipan yang menunjukkan watak tokoh Arif sebagai
berikut.
“Arif murid paling cerdas di kelasku. Selain
hafal Al-Qur’an 10 juz, dia juga hafal banyak hadis di luar kepala.” (Khrisna
Pabhicara,2012: 142)
“Arif yang semula malas berlatih, sekarang tak
mau kalah. Dia melatih pukulan voli pelan tanpa lompatan yang di tahan dan di
kelmbalikan dengan baik oleh Imran, berulang-ulang,hingga Zainal dan Rahmat
yang sedari tadi jadi penonton di pinggir lapangan merasa penasaran.” (Khrisna
Pabhicara,2012: 205)
n)
Imran
Tokoh
Imran merupakan tokoh tambahan yang dilukiskan sebagai seorang anak yang nakal.
Kutipan yang menunjukkan watak tokoh Imran sebagai berikut.
“Ada saja ulahnya setiap hari : berisik saat
belajar atau ujian, mengganggu teman sebangkunya, melempari murid lain dengan
remasan kertas, menggoda murid-murid perempuan hingga mereka menangis, bolos
kalau dapat gilirran belajar pidato dan tak pernah duduk diam di kursi, meski
sudah berkali-kali ditegur oleh guru.” (Khrisna Pabhicara,2012: 143)
Akan tetapi, tokoh Imran
memiliki kemauan keras dalam berusaha. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut
ini.
“Janji Imran untuk berlatih keras bukan isapan
jempol. Hanya dalam seminggu dia sudah mahir menahan smash dan mengirimkan bola
pertama yang ciamik kepadaku, lantas menjadi umpan yag ‘dilahap’ dengan empuk
oleh lengan Fadli.” (Khrisna Pabhicara,2012: 203)
i.
Alur
Alur
adalah urutan atau rangkaian peristiwa dalam cerita rekaan. Alur pada novel ini
adalah alur mundur (sorot-balik/ flash-back). Urutan kejadian yang
dikisahkan dalam karya fiksi tidak bersifat kronologis, cerita tidak dimulai
dari tahap awal, melainkan mungkin dari tahap tengah atau bahkan tahap akhir,
baru kemudian tahap awal cerita dikisahkan. Karya yang berplot jenis ini langsung
menyuguhkan adegan-adegan konflik, bahkan barangkali konflik yang telah meruncing. Padahal pembaca belum
lagi dibawa masuk ke situasi dan permasalahan yang menyebabkan terjadinya
konflik dan pertentangan itu.
j.
Setting atau Latar
Menurut
Herman J. Waluyo dan Nugraheni Eko Wardani (2009: 35) setting berkaitan
dengan pengadegan, latar belakang, waktu
cerita, dan waktu penceritaan.
Pengadeganan artinya penyusunan adegan-adegan di dalam cerita. Tidak semua
kejadian dalam kehidupan sang tokoh dilukiskan di dalam adegan-adegan. Adegan
dipilih yang benar-benar mewakili cerita. Adegan bisa di dalam rumah dan dapat
juga di luar rumah.
a. Latar
tempat :
Latar
tempat adalah tempat cerita. Setting cerita dalam novel Sepatu Dahlan ini lebih
banyak di pedesaan, rumah warga, madrasah, pasar, dan kantor kecamatan.
Khrisna Pabichara dalam
Novel Sepatu Dahlan ini lebih banyak atau dominan melukiskan latar
tempat yang dilukiskan secara analitik.
Hal itu terlihat pada kutipan berikut:
“Kebon Dalem.
Itulah kampung kelahiranku. Sebuah kampung kecil dengan enam buah rumah, atau
sebut saja gubug, yang letaknya saling berjauhan.”(Khrisna Pabhicara, 2012: 13)
“Benar saja, setiba di dalam rumah, Bapak dan
Ibu sudah menungguku di atas sehelai tikar pandan. Mereka bersila di bawah
jilatan lampu teplok yang meliuk-liuk ditiup angin.” (Khrisna Pabhicara, 2012:
17)
“Yang terbaring
kaku di depanku, di atas tikar pandan di tengah rumah, adalah perempuan yang
paling kusayangi. Ibu.”(Khrisna Pabhicara, 2012: 124)
“Alangkah terkejutnya aku ketikaa melihat
ibuku berjongkok memegangi batang pisang. Bahunya terguncang-guncang menahan
batuk.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 75)
“Ketika
menyelinap di sela-sela batang tebu yang tingginya dua kali melebihi tinggi
tubuhku, aku mulai gugup.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 85)
“Tiba-tiba aku
melihat sebatang pisang dengan buah yang sudah layak ditanak atau dibakar.
Pisang itu bukan milik Bapak, apa lagi milikku. Ini kebun bengkok, milik Pak
Lurah.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 95)
“Setiba di makam
ibu ada seseorang di sana.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 182)
“Beberapa ratus
meter sebelum Pesantern Takeran, di depan rumah Maryati, aku berhenti. Aku
menelan ludah, berkali-kali, melihat buah-buah pisang diturunkan dari mobil
dengan bak terbuka.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 111)
“Aisha berlari
kecil menuju pintu rumahnya sambil terus tersenyum.” (Khrisna Pabhicara, 2012:
322)
Tidak hanya tempat di pedesaan, namun novel ini juga
menjelaskan secara jelas kondisi madrasah,
cerita ketika Dahlan bersama Bapak
mendaftar di Madrasah Tsanawiyah di Pesantren Takeran, serta cerita ketika
Dahlan bersama sahabatnya telah lulus menempuh pendidikan di Pesantren Takeran.
Kutipan
yang menunjukkan setting tempat sebagai berikut.
“Gedung-gedung
di Pesantren Takeran ini terlihat antik dan kokoh. Di sebelah kanan, gedung
bercat hijau lumut memanjang berbentuk L. di depan kelas paling kana nada
sebuah papan bertuliskan MADRASAH TSANAWIYAH, terpaku di tiang kayu jati. Di
sebelah kiri, gedung bercat biru langit membentuk huruf U. Pada kelas kiri
terpajang papan bertuliskan MADRASAH ALIYAH.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 32)
“Santri-santri
bergerombol, duduk tak beraturan, bising bak lebah yang diusik dari sarangya,
hingga Ustaz Ilham berdiri sambil mengangkat kedua tangannya.” (Khrisna
Pabhicara, 2012: 35)
“Mereka sedang
berkumpul di ruang luas berbentuk persegi panjang ini untuk memilih pengurus
Ikatan Santri Pesantren Takeran yang baru.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 156)
“Hari itu di
bawah rindang trembesi di halaman gedung berbentuk huruf U, aku membayangkan
nasib baru yang akan digariskan Tuhan untukku.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 340)
Latar tempat dalam novel ini
juga menunjukkan kehidupan masyarakat Desa Kebon Dalem yang religius. Khrisna
Pabichara menceritakan kegiatan anak-anak Desa Kebon Dalem yang selalu
berangkat mengaji di langgar pada malam hari. Kutipan yang menyatakan hal
tersebut adalah sebagai berikut.
“Bapak berjalan
ke langgar, sementara kami lansung ke dapur. Beberapa saat kemudian, kami sudah
berada di dalam langgar bersama anak-anak Kebon Dalem.” (Khrisna Pabhicara,
2012: 303)
Latar tempat dalam novel ini
juga menunjukkan bukti sejarah bangsa Indonesia di bawah pengaruh komunismenya.
Kutipan yang menunjukkan latar tempat tersebut sebagai berikut.
“Dan, tibalah
kami di sumur tua Cigrok yang berada di tengah-tengah tegalan dengan
batang-batang ketela yang tumbuh liar,semak belukar dan rumput-rumput setinggi
lutut, juga beringin besar yang terkenal keramat.” (Khrisna Pabhicara, 2012:
68)
Latar tempat pada Novel
Trilogi Sepatu Dahlan ini juga menunjukkan tempat-tempat kegiatan pemerintahan
berlangsung.
“Setelah tiba di
belakang kantor camat, serta merta anggota tim melompat-lompat,
berjingkrak-jingkrak kegirangan menyambut kedatanganku, eolah-olah mereka
sedang mengelu-elukan kedatangan seorang patriot sejati yang lama
dinanti-nanti.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 224-225)
Pusat kegiatan sosial juga
diceritakan dalam latar tempat Novel Sepatau Dahlan karya Khrisna Pabichara ini.
Latar tempat ini dapat dilihat dalam kutipan berikut ini :
“Pedagang sepatu
itu terkekeh-kekeh sambil mengusap-usap perut buncitnya. Aku letakkan sepatu
itu di tempatnya semula dengan perasaan masygul.” (Khrisna Pabhicara, 2012:
260).
“Pedagang sepatu
bekas bertubuh tambun yang dulu mengejekku karena tidak mampu membeli sepatu
yang ku idam-idamkan, hari ini membungkus dua pasang sepatu bekas tanpa banyak
bicara.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 333)
b. Latar
suasana
Latar
suasana menggambarkan suasana kedaerahan. Dalam
novel Sepatu Dahlan, Khrisna Pabichara menunjukkan
latar suasana yang dialami tokoh Dahlan Iskan ketika dirinya
menghadapi suatu peristiwa. Latas suasana dalam novel ini berupa menegangkan,
menyakitkan, menyenangkan, memprihatinkan, mengharukan dan panik. Kutipan
yang menunjukkan latar suasana
kehidupan tokoh
sebagai berikut.
“Aku segera
mencium tangan Bapak dan Ibu, kemudian duduk takzim di hadaan mereka.
Tertunduk, sedalam-dalamnya.” (Khrisna Pabhicara,2012 : 17)
“Aku berdiri tegak, membeku, terperangah mendengar
pertanyaan Bapak yang tidak pernah kusangka-sangka.”(Khrisna Pabhicara,2012:
70)
“Rasa sakit di
ulu hatiku makin menjadi-jadi.”(Khrisna Pabhicara,2012 : 85)
“Penonton yang
didominasi warga Takeran bergemuruh menyambut kemenangan kami. Mereka bertepuk
tangan, bersuit-suit, dan berteriak kegirangan.” (Khrisna Pabhicara,2012 : 233)
“Seperti
memenangi olimpiade saja gaya kami saat Bupati Magetan menyerahkan piala
setinggi setengah meter kepadaku. Piala itu kucium sepenuh hati, lalu berpindah
dari satu tangan ke tangan yang lain. Penonton bergemuruh.” (Khrisna
Pabhicara,2012 : 279)
“Yang terbaring kaku di depanku, di atas tikar
pandan di tengah rumah, adalah perempuan yang paling kusayangi. Ibu.” (Khrisna
Pabhicara,2012 : 124)
“Ketika nama pengurus disebut satu per satu,
aku lihat Bapak menengadah dengan mata berbinar-binar, bercahaya.” (Khrisna
Pabhicara,2012 : 165)
“Saat itulah
Bapak mendekat, memeluk, dan mengusap-usap kepalaku.” (Khrisna Pabhicara,2012 :
280)
“Ibu tak bergerak. Dengan panik, aku meraba
pipi Ibu dan berdoa semoga tak terjadi apa-apa, kemudian menggigil ketika
memeluk tubuh ibuku yang terasa dingin, sangat dingin.” (Khrisna Pabhicara,2012
: 76)
“Sekuat tenaga
aku menjaga keseimbangan, menatap jalanan dengan seksama, hingga tak menyadari
dari arah depan melaju sebuah sepeda. Karena kaget aku membanting setang ke
kiri, dan sebuah batu yang agak besar menebarkan ancaman baru.” (Khrisna
Pabhicara,2012 : 116)
“Wajah Komariyah
mulai pucat, dia terisak-isak dan menjerit ketakutan. Kami benar-benar panic
karena Nanang tak kunjung siuman.” (Khrisna Pabhicara,2012 : 240)
c. Latar
waktu
Dalam
novel Sepatu Dahlan menunjukkan
setting waktu berupa hari. Situasi pagi, siang, sore, dan malam. Kutipan yang
menunjukkan sebagai berikut.
Malam itu aku
dan Zain tidur di langgar bersama teman-teman yang lain. Tiba-tiba, badan Zain
sangat panas dingin.”(Khrisna Pabhicara,2012: 191)
“Matahari sudah sepenggalah waktu aku dan
Bapak memasuki kawasan Pesantren Takeran.” (Khrisna Pabhicara,2012: 29)
“Cahaya matahari
menerobos masuk lewat pintu yang terbuka dan membangunkanku, pertanda sekarang
sudah siang.” (Khrisna Pabhicara,2012: 80)
“Matahari tepat berada di ubun-ubun, panas
membara.” (Khrisna Pabhicara,2012: 39)
“Komariyah
berjalan paling depan, di bawah terik sinar matahari, menjunjung tampah berisi
makanan yang sudah kami tunggu-tunggu.” (Khrisna Pabhicara,2012: 243)
“Matahari senja
kembali mengapung di permukaan sungai.” (Khrisna Pabhicara,2012: 148)
“Malam sudah tiba, gelap menyelimuti Kebon
Dalem. Hanya kelip-kelip lampu teplok sesekali terlihat.” (Khrisna
Pabhicara,2012: 16)
“Hening. Senyap.
Suara jangkrik dan binatang malam di luar rumah terasa nyaring di telinga.”
(Khrisna Pabhicara,2012: 20)
Selain setting hari, novel Sepatu Dahlan juga menunjukkan setting tahun.
Berikut beberapa kutipan yang menunjukkan setting tersebut.
“Desember 1962.
Baru saja kuterima ijazah Sekolah Rakyat.”(Khrisna Pabhicara,2012: 16)
Selain itu, setting waktu ditunjukkan
dengan angka jam. Kutipan yang menunjukkan
seting tersebut sebagai berikut.
“Senin, 6 Agustus 2007, pukul 09.00”(Khrisna Pabhicara,2012:
1)
k. Point
of View/ Sudut Pandang
Point of View atau sudut pandang cerita
mengacu pada cara sebuah cerita dikisahkan. Sudut pandang merupakan cara atau
pandangan yang digunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh,
tindakan tokoh, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam karya
fiksi kepada pembaca. Sudut pandang pada
hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih oleh
pengarang untuk mengemukakan gagasan ceritanya. Sudut pandang yang digunakan pada
novel Sepatu Dahlan yaitu pesona
atau gaya “aku”,
pengarang atau narator berada di dalam
cerita. Pengarang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut dirinya “aku”. Sudut pandang
yang paling menonjol dalam novel Sepatu
Dahlan, menggunakan cara ini. Berikut ini kutipan yang
menunjukkan sudut pandang tersebut.
“Aku masih
tertunduk, memandangi tikar pandan yang kududuki. Aku memang suka ketiga
pelajaran yang mendapat nilai Sembilan itu : Menyanyi, Menulis, dan Gerak
Badan. Aku suka menyanyi karena kata teman-teman suaraku bagus. Sebenarnya, setiap
bernyanyi, aku sedang berusaha melupakan kepedihan hidupku. Aku juga suka
menulis. Sangat suka. Bukuku penuh catatan pengalaman tentang apa saja :
domba-dombaku yang bertambah banyak, sepatu Pak Suprapto –Kepala SR Bukur—yang mengilat atau sepedanya yang
gagah membelah jalanan, dan pelbagai hal yang kualami sehari-hari.sebab itulah
tak ada seorang pun yang melampaui angka pelajaran menulisku. Aku juga suka
Gerak Badan karena setiap berkumpul dengan teman-temann di tempat menggembala,
kami biasa balap lari atau main voli atau sepak bola. Selebihnya, aku tak punya
banyak waktu untuk belajar.”(Khrisna Pabhicara,2012: 18-19)
Sudut pandang (Point of View) pesona “aku” ini banyak
menyebutkan tokoh utama yang mengemukakan gagasan utama cerita melalui tokoh Dahlan, pengarang menuangkan
kehidupan masyarakat Desa Kebon Dalem
sebagai masyarakat yang miskin.
Perasaan batin kehidupan orang miskin terhadap mimpi dan cita-cita. Hal ini banyak
dituangkan melalui tokoh Dahlan.
l.
Amanat
Amanat
yang terdapat dalam karya sastra tertuang secara implisit. Secara implisit
yaitu jika jalan keluar atau ajaran moral itu disiratkan dalam tingkah laku
tokoh menjelang cerita berakhir, Sudjiman (1986:35). Amanat secara eksplisit yaitu jika
pengarang pada tengah atau akhir cerita menyampaikan seruan, saran, peringatan,
nasihat, anjuran, larangan dan sebagainya, berkenaan dengan gagasan yang
mendasari cerita itu.
1)
Jangan berhenti
bermimpi, karena mimpi yang akan membawa kita pada kenyataan.
“Mimpi-mimpi
itu, seandainya sepatu dan sepeda tak layak di sebut cita-cita, tak jauh
berbeda dengan mimpi-mimpi anak-anak di kampungku. Bedanya, sepenuh daya aku
berusaha meraih mimpi-mimpi itu, dan tak berhenti sampai benar-benar aku
memilikinya. Kalupun ada anak-anak lain yang punya mimpi berbeda, pasti
Kadirlah orangnya. Dia bermimpi punya gitar dan dia korbankan seekor domba
kesayangannya demi mewujudkan mimpi itu.barangkali mimpi anak-anak miskin di
mana-mana sama, sederhana. Manakal mimpi itu sudah kupenuhi, anehnya aku merasa
ini bukan akhir dari keinginan yang hendak kupenuhi.ada mimpi barau, mimpi yang
tiba-tiba saja ingin kupenuhi, bias makan setiap kali perut melilit-lilit
karena kelaparan. Mimpi ini, mungkin, seperti sepatu dan sepeda, juga sederhana.
Tak ada yang aneh, apalagi ajaib.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 338)
2)
Kita harus
menjalani problema kehidupan dengan ikhlas, sebab di situlah mental kita diuji.
“Hidup, bagi
orang miskin, harus dijalani apa adanya.”(Khrisna
Pabichara,2012: 322)
3)
Kerja keras
merupakan tonggak dari prestasi.
“Keesokan
harinya, tanpa buang-buang waktu, aku berangkat sendirian ke Pasar Madiun.
Terik matahari, letih tubuh, dan angin kencang tak terasa sama sekali.sepeda
meleju kencang, demi peristiwa paling bersejarah sepanjang hidupku: membeli
sepatu dan sepeda.”(Khrisna Pabhicara,2012: 333)
2. Unsur-unsur
Ekstrinsik
a.
Riwayat Hidup Pengarang
Khrisna Pabichara lahir 10
November 1975 di Makassar. Sebenarnya lahir di Jeneponto, tapi tersebabkan semasa SD takut kalau Jeneponto
tidak tampak di peta, maka ia ganti ketika mengajukan data sebelum ujian
kelulusan. Untungnya, tidak perlu akikah ulang akibat perubahan tempat lahir
dan tahun kelahiran yang lebih dimudakan setahun–sebenarnya lahir tahun 1974.
Putra kelima dari pasangan Yadli Malik Dg.
Ngadele dan Shafiya Djumpa ini terlahir dengan cara yang ajaib, yakni dalam
posisi sungsang dan menyelempangkan ari-ari. Lebih unik lagi, karena harus
terpisah dari sang bunda, hanya sempat disusui selama tiga bulan. Yang pasti,
sejak kecil dilimpahi bakat narsis yang luar biasa.
Khrisna pernah beberapa kali tampil sebagai
juru bicara untuk cerdas cermat antar sekolah atau kelompencapir–semasa jayanya
Departemen Penerangan. Ia mendapat gelar singa podium setelah 3 tahun
berturut-turut memenangkan Lomba Pidato Tingkat Pelajar SLTA se-Sulsel dari
1989-1991, Pelajar Cerdas karena kerap memenangi Lomba Karya Tulis Ilmiah
Remaja tahun 1990, dan Wartawan Muda Berbakat setelah menggondol juara
pada Lomba Mading Se-Sulsel Tahun 1990.
Pada 1996 sempat berbakti sebagai guru
Matematika, Fisika, dan Akuntansi di Madrasah Aliyah Muhammadiyah Tanetea
setelah berhenti sebagai tenaga audit di sebuah lembaga perbankan swasta.
Setelah itu hijrah ke Jakarta dengan niat mulia untuk menjadi penulis–karena
hasutan guru SMA-nya, Asia Ramli Prapanca–yang dibuktikan secara serius dengan
mencantumkan “penulis” di segala tanda pengenal kependudukannya.
Tapi semuanya tak semudah membalik telapak
tangan, manuskrip buku yang diajukannya ke sebuah penerbit ditolak
mentah-mentah karena dianggap belum punya nama. Alhasil, malah terjun sebagai
pamong desa di Desa Pangkal Jaya dan Desa Bantar Karet–di Kecamatan Nanggung,
Kabupaten Bogor.
Khrisna memulai karier kepenulisannya sejak
2003. Waktu itu, dia lebih suka tulisan-tulisan bernuansa ilmiah, utamanya
tentang otak.
Pada tahun 2005, Khrisna dengan teman-temannya
di Resesi Community menggelar program Akademi Pelajar Cerdas (APC) Turatea. Ada
24 siswa yang lolos seleksi kemudian diasramakan untuk mendapatkan bimbingan.
Ternyata hasilnya cukup memuaskan. Materi dari akademi tersebut dihimpun dan
dijadikan sebuah buku. Akhirnya, tahun 2006, MQS Publishing merespons buku
mentah yang dibuatnya.
Kemudian pada Januari 2007 terbitlah buku
pertama Khrisna, 12 Rahasia Pembelajar Cemerlang, diterbitkan oleh Kolbu. Sejak
saat itu Khrisna makin mencurahkan perhatian pada dunia tulis-menulis. Bahkan
bisa dikatakan, sejak itu hidup Khrisna tercurah di dunia tulis-menulis dan
perbukuan.
Khrisna pernah menggeluti hampir semua bidang
perbukuan. Seperti menulis, mengedit, mengarang, dan proofreader. Hanya satu
yang belum pernah digelutinya hingga saat ini, yaitu menerjemahkan.
Pria yang saat ini bekerja sebagai manager
editor di Kayla Pustaka ini telah mengedit beragam buku. Bahkan, dia pernah
menyunting beberapa buku yang ditulis oleh tokoh-tokoh terkemuka Indonesia. Di
antaranya Prof. Dr. Dorodjatun Kuntjoro Jakti (mantan Dubes dan mantan Menko
Ekuin), Anas Urbaningrum (Ketua Umum Partai Demokrat), Rektor UIN Syarif
Hidayatullah, Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, dan masih banyak lagi.
Sejak 2007 hingga sekarang, tidak kurang 10
buku telah ditulis dan telah terbit dari tangan pria berkacamata ini. Selain
buku "12 Rahasia Pembelajar Cemerlang", banyak buku lain yang telah
ditulisnya. Di antaranya Revolusi Berkomunikasi, Kamus Nama Indah Islami,
Rahasia Melatih Daya Ingat, serta yang baru saja terbit, kumpulan cerpen
Mengawini Ibu. Dua bukunya akan segera terbit, masing-masing berjudul
"Nuwun Sewu Pak Beye: Kritik Cinta dari Rakyat untuk Pemimpinnya",
dan sebuah buku antologi puisi
b. Falsafah Pengarang
Lepas dari masa pengabdian di tengah
masyarakat (kesannya disetel lebih heroik), ia mulai mempelajari dunia
neurologi secara serius dan menggeluti profesi sebagai trainer dan motivator semenjak
2000.
Hajat menjadi penulis baru terwujud pada 2007
ketika Kolbu berkenan menerbitkan buku pertamanya, 12 Rahasia Pembelajar
Cemerlang. Sejak itu, dunia perbukuan menjadi sesuatu yang tak bisa, atau tak
akan, ditinggalkannya. Maka bersentuhanlah ia dengan para praktisi perbukuan
semisal Bambang Trim, Hernowo, dan yang lainnya.
Kecelakaan terjadi ketika tahun 2008
berkenalan dengan Bamby Cahyadi, Aulya Elyasa, dan Atisatya Arifin. Kebiasaan
menganggit puisi–yang ini karena pengaruh M. Aan Mansyur–terlecut kembali
karena pengaruh ketiganya.
Keinginan menjadi pengarang membuatnya “bersentuhan” dengan banyak
pegiat sastra, terutama Gemi Mohawk, Damhuri Muhammad, Maman S. Mahayana, Putu
Wijaya, Hanna Fransisca, Hudan Hidayat, Hasan Aspahani, Kurnia Effendi, Saut
Poltak Tambunan, Endah Sulwesi, dan koleganya saat ini di Kayla
Pustaka–Salahuddien Gz.
Kecelakaan itulah yang menyebabkannya tercebur ke dunia prosa, dan mulai
mengarang cerpen pada bulan Agustus 2009. Anehnya, kecelakaan itu pula yang
membidani kelahiran bukunya, Mengawini Ibu: Senarai Kisah yang
Menggetarkan.
Sempat menderita alergi yang tak terdata di dunia kedokteran, yakni
alergi partai–tolong jangan diterjemahkan sebagai separuh kotoran–terutama
karena pernah mengalami trauma politik ketika tidak mau memilih “partai”
tertentu yang dianjurkan oleh Pak RT di wilayah kediamannya.
Belakangan ia malah kerap bersentuhan dengan akademisi, pejabat, dan
politisi, terutama yang berhubungan dengan dunia perbukuan. Sebut misalnya
ketika terlibat sebagai tim penyunting buku Komaruddin Hidayat, Dorodjatun
Kuntjoro-Jakti, Anas Urbaningrum, Ahmad Nizar Shihab, Rokhmin Dahuri, Riza
Shihbudi, dan yang lainnya. Sekarang ia sedang sibuk menggarap buku Terapi
Ikhlas, Nuwun Sewu Pak Beye, dan The Dance of Parakang.
Satu-satunya mimpinya yang belum terwujud adalah membangun kafe baca,
istana buku yang sekaligus diharapkannya menjadi rumah kreatif bagi siapa saja
yang mencintai buku.
c. Riwayat Pendidikan
(Khrisna Pabichara)
Semasa SMA mengakrabi tradisi Makassar,
termasuk teater rakyat dan kesenian daerah lainnya, setelah memprakarsai
terbentuknya Teater Tutur Jeneponto bersama Agus Sijaya Dasrum, Ahmarullah
Sahran, dan Syarifuddin Lagu. Sempat pula menjadi penyiar di sebuah radio
swasta, pengalaman yang membuatnya kerap gemetar ketika mendapat tugas
mewawancarai tokoh yang diundang untuk mengudara.
B.
Nilai Pendidikan dalam novel Sepatu
Dahlan
Karya sastra yang menganut paham apa pun,
pertama-tama harus memenuhi hakikat seni sastra; menyenangkan dan berguna
atau dulce et utile (Horatius dalam
Teeuw 1984: 51). Bila karya tidak memenuhi hakikat fungsi Dulce et utile, karya
sastra itu kurang bermutu atau tidak bermutu. Sebaliknya karya sastra yang
bermutu tinggi adalah karya sastra yang di dalamnya mempunyai hakikat dan
fungsi karya sastra, dulce et utile (Sudarman, 2007: 45).
Ada beberapa nilai dalam novel Sepatu Dahlan antara
lain, nilai pendidikan kesehatan, dan nilai pendidikan sejarah.
Nilai-nilai tersebut berfungsi untuk menyampaikan pesan yang ada dalam karya
sastra kepada masyarakat
kususnya pembaca sehingga bermanfaat.
a.
Nilai Pendidikan
Kesehatan
Pendidikan kesehatan adalah
proses membuat orang mampu meningkatkan kontrol dan memperbaiki kesehatan
individu. Kesempatan yang direncanakan untuk individu, kelompok atau masyarakat
agar belajar tentang kesehatan dan melakukan perubahan-peubahan secara suka
rela dalam tingkah laku individu (Entjang, 1991).
Wood dikutip dari Effendi
(1997), memberikan pengertian pendidikan kesehatan merupakan sejumlah
pengalaman yang pengaruh menguntungkan secara kebiasaan, sikap dan pengetahuan
yang ada hubungannya dengan kesehatan perseorangan, mayarakat dan bangsa.
Kesemuannya ini, dipersiapkan dalam rangka mempermudah diterimannya secara suka
rela perilaku yang akan meningkatkan dan memelihara kesehatan.
Menurut Steward dikutip dari
Effendi (1997), unsur program kesehatan dan kedokteran yang didalamnya
terkandung rencana untk merubah perilaku perseorangan dan masyarakat dengan
tujuan untuk membantu tercapainya program pengobatan, rehabilitasi, pencegahan
penyakit dan peningkatan kesehatan.
Menurut Ottawwa Charter
(1986) yang dikutip dari Notoatmodjo S, memberikan pengertian pendidikan
kesehatan adalah proses untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam
memelihara dan meningkatkan kesehatannya. Selain itu untuk mencapai derajat
kesehatan yang sempurna, baik fisik, mental dan social, maka masyarakat harus
mampu mengenal dan mewujudkan aspirasinya, kebutuhannya, dam mampu mengubah
atau mengatasi lingkungannya (lingkungan fisik, sosial, budaya, dan
sebagainya).
Dapat dirumuskan bahwa
pendidikan kesehatan adalah upaya untuk mempengaruhi, dan atau mempengaruhi
orang lain, baik individu, kelompok, atau masyarakat, agar melaksanakan
perilaku hidup sehat. Sedangkan secara operasional, pendidikan kesehatan
merupakan suatu kegiatan untuk memberikan dan atau meningkatkan pengetahuan,
sikap, dan praktek masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan
mereka sendiri (Notoatmodjo, 2003).
Tujuan pendidikan kesehatan
merupakan domain yang akan dituju dari pendidikan kesehatan. Pendidikan
kesehatan memiliki beberapa tujuan antara lain pertama, tercapainya perubahan
perilaku individu, keluarga dan masyarakat dalam membina dan memelihara
perilaku sehat dan lingkungan sehat, serta peran aktif dalam upaya mewujudkan
derajat kesehatan yag optimal. Kedua, terbentuknya perilaku sehat pada
individu, keluarga dan masyarakat yang sesuai dengan konsep hidup sehat baik
fisik, mental dan social sehingga dapat menurunkan angka kesakitan dan
kematian. Ketiga, menurut WHO tujuan penyuluhan kesehatan adalah untuk mengubah
perilaku perseorangan dan atau masyarakat dalam bidang kesehatan (Effendy,
1997).
Tujuan utama pendidikan
kesehatan adalah agar orang mampu menerapkan masalah dan kebutuhan mereka
sendiri, mampu memahami apa yang dapat mereka lakukan terhadap masalahnya,
dengan sumber daya yang ada pada mereka ditambah dengan dukungan dari luar, dan
mampu memutuskan kegiatan yang tepat guna untuk meningkatkan taraf hidup sehat
dan kesejahteraan masyarakat (Mubarak, 2009).
Menurut Undang-undang
Kesehatan No. 23 Tahun 1992 dan WHO, tujuan pendidikan kesehatan adalah
meningkatkan kemampuan masyarakat untuk memelihara dan meningkatkan derajat
kesehatan; baik secara fisik, mental dan sosialnya, sehingga produktif secara
ekonomi maupun social, pendidikan kesehatan disemua program kesehatan; baik
pemberantasan penyakit menular, sanitasi lingkungan, gizi masyarakat, pelayanan
kesehatan, maupun program kesehatan lainnya (Mubarak, 2009).
Jadi tujuan pendidikan
kesehatan adalah untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman pentingnya
kesehatan untuk tercapainya perilaku kesehatan sehingga dapat meningkatkan
derajat kesehatan fisik, mental dan sosial, sehingga produktif secara ekonomi
maupun sosial.
Penyampaian pendidikan
kesehatan harus menggunakan cara tertentu, materi juga harus disesuaikan dengan
sasaran, demikian juga alat bantu pendidikan disesuaikan agar dicapai suatu
hasil yang optimal. Untuk sasaran kelompok, metodenya harus berbeda dengan
sasaran massa dan sasaran individual. Untuk sasaran massa pun harus berbeda
dengan sasaran individual dan sebagainya.
a.
Metode
pendidikan individual.
Dalam pendidikan kesehatan,
metode pendidikan yang bersifat individual ini digunakan untuk membina perilaku
baru, atau seseorang yang telah mulai tertarik kepada suatu perubahan perilaku
atau inovasi. Bentuk pendekatan antara lain:
b.
Bimbingan dan
penyuluhan (guidance and counseling)
Dengan cara ini kontak
antara klien dengan petugas lebih intensif, setiap masalah yang dihadapi oleh
klien dapat dikorek, dan dibantu penyelesaiannya.
c.
Interview
(wawancara)
Wawancara antara petugas
kesehatan dengan klien untuk menggali informasi mengapa ia tidak atau belum
menerima perubahan, untuk mengetahui apakah perilaku yang sudah atau yang akan
diadopsi itu mempunyai dasar pengertian dan kesadaran yang kuat. Apabila belum
maka perlu penyuluhan yang lebih mendalam lagi.
d.
Metode
pendidikan kelompok
Dalam memilih pendidikan
kelompok, harus mengingat besarnya kelompok sasaran serta tingkat pendidikan
formal pada sasaran. Untuk kelompok yang besar, metodenya akan lain dengan
kelompok kecil. Efektivitas suatu metode akan tergantung pula pada besarnya
sasaran pendidikan.
Kelompok besar: penyuluhan
lebih dari 15 orang, dengan metode antara lain (a) Ceramah: metode yang baik
untuk sasaran yang berpendidikan tinggi maupun rendah. (b) Seminar : metode ini
sangat cocok untuk sasaran kelompok besar dengan pendidikan menengah keatas.
Seminar adalah suatu penyajian (presentasi) dari satu ahli dari beberapa ahli
tentang suatu topik yang dianggap penting dan biasanya dianggap hangat
dmasyarakat.
Kelompok kecil: apabila
peserta kegiatan itu kurang dari 15 orang. Metode-metode yang cocok yaitu
diskusi kelompok, curah pendapat (brain storming), bola salju (snow balling),
kelompok kecil-kecil (bruzz group), role play (memainkan peranan) dan permainan
simulasi (simulation game)
e.
Metode
pendidikan massa (public)
Metode pendidikan
(pendekatan) massa untuk mengkomunikasikan pesan-pesan kesehatan yang ditujukan
kepada masyarakat yang sifatnya massa atau public, maka cara yang paling tepat
adalah pendekatan massa. Tanpa membedakan golongan umur, jenis kelamin,
pekerjaan, status social, tingkat pendidikan dan sebagainya.
Pada umumnya bentuk
pendekatan (cara) massa ini tidak langsung. Biasanya mengguanakan atau melalui
media massa. Beberapa contoh metode antara lain ceramah umum (public spesking),
pidato-pidato diskusi tentang kesehatan melalui media elektronik baik tv maupun
radio, simulasi, tulisan-tulisan di majalah atau Koran dan bill board yang di
pasang di pnggir jalan, spanduk poster dan sebagainya. (Notoatmodjo, 2005)
f.
Penggunaan alat
bantu atau media
Media pendidikan pada
hakikatnya adalah alat bantu pendidikan, alat-alat yang digunakan oleh pendidik
dalm menyampaikan bahan pendidikan/pengajaran. Disebut media pendidikan
kesehatan karena alat- alat tersebut merupakan saluran (channel) untuk
menyampaikan informasi kesehatan dan karena alat-alat tersebut digunakan untuk
mempermudah penerimaan pesan-pesan kesehatan bagi masyarakat dan klien
(Notoatmodjo, 2003).
Salah satu tujuan
menggunakan alat bantu yaitu menimbulkan minat, mencapai sasaran yang banyak,
merangsang sasaran pendidikan untuk meneruskan pesan-pesan yang diterima kepada
orang lain, untuk mempermudah penyampaian, penerimaan informasi oleh sasaran
pendidikan, mendorong keinginan orang untuk mengetahui dan menegakkan
pengertian yang diperoleh (Notoatmodjo, 2003).
Menurut para ahli, indera
indra yang paling banyak menyalurkan pengetahuan ke dalam otak adalah mata.
Kurang lebih 75% sampai 87% dari pengetahuan manusia diperoleh disalurkan
melalui mata. Sedangkan 13% sampai 25% lainnya tersalur melalui indera lain.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa alat-alat visual lebih mempermudah cara
penyampaian dan penerimaan informasi atau bahan pendidikan (Notoatmodjo, 2003).
Pada garis besarnya hanya
ada tiga macam alat bantu pendidikan (alat peraga), antara lain:
1)
Alat bantu
melihat (visual aids) yang berguna dalam membantu menstimulasi indera mata
(penglihatan)pada waktu terjadinya pendidikan. Alat ini ada 2 bentuk. (1) Alat
yang diproyeksikan, misalnya slide, film, film strip dan sebagainya. (2)
Alat-alat yang tidak diproyeksikan: (a) Dua dimensi, gambar peta, bagan dan
sebagainya. (b) Tiga dimensi, misalnya bola dunia, boneka dan sebagainya.
2)
Alat-alat bantu
dengar (audio aids), yaitu alat dapat membantu untuk menstimulasikan indera
pendengar pada waktu proses penyampaian bahan pendidikan/pengajaran. Misalnya :
piring hitam, radio, pita suara dan sebagainya.
3)
Alat bantu lihat-dengar,
seperti televise dan video cassette. Alat-alat bantu pendidikan ini lebih
dikenal dengan Audio Visual Aids (AVA) (Notoatmodjo, 2003).
Dalam Novel Sepatu Dahlan
karya Khrisna Pabichara yang mengungkapkan kehidupan masyarakat miskin di Desa
Kebon Dalem, sangat tidak mungkin masyarakat memiliki kondisi jasmaniah yang
sehat. Hal ini disebabkan karena masyarakat sebagian besar bekerja di sektor
pertanian. Kondisi Kebon Dalem yang jauh dari kota membuat lokasi tersebut
terisolasi dan sangat minim fasilitas kesehatan. Pada novel tersebut dikisahkan
banyak masyarakat yang meninggal karena “santet”. Orang yang meninggal karena
“santet” perutnya buncit, batuk, dan muntah darah. Kutipan yang menyatakan
bahwa terdapat orang yang meninggal karena “santet” sebagai berikut.
“Konon pula, seorang ibu
yang terpaksa karena kelaparan, mencabut beberapa batang ketela di sekitar
sumur tua Cigrokdan membawa pulang ke rumah. Ketela itu, kabarnya direbus dan
dia makan untuk mengganjal perutnya. Beberapa saat kemudian, ibu yang hidup
sebatang kara itu ditemukan terkapar muntah darah , perut membuncit, dan
sekujur tubuh yang menghitam. Banyak yang mengatakan janda tua, yang suaminya
sering digunjingkan sebagai anggota pasukan Laskar Merah, termakan santet
berupa bola api tak kasatmata yang dikirim siang hari bolong.”(Khrisna
Pabhicara,2012: 68)
Ilustrasi tersebut menggambarkan
keadaan masyarakat yang masih primitif. Masyarakat mengkaitkan kematian
seseorang dengan hal-hal magis yang tidak realistis. Padahal, apabila ditinjau
dari pendidikan kesehatan, orang dengan perut membuncit, batuk, disertai muntah
darah merupakan ciri-ciri penderita penyakit liver.
Dalam pendidikan kesehatan,
liver atau hati adalah organ terbesar dalam tubuh padat dan juga dianggap
kelenjar karena di antara banyak fungsi, itu membuat dan mengeluarkan empedu.
Liver ini terletak di bagian kanan atas perut dilindungi oleh tulang rusuk.
Penyakit liver adalah setiap gangguan fungsi liver yang menyebabkan penyakit.
Liver bertanggung jawab untuk fungsi-fungsi kritis dalam tubuh, hilangnya
fungsi-fungsi dapat menyebabkan kerusakan yang signifikan pada tubuh.
Liver adalah satu-satunya
organ dalam tubuh yang dapat dengan mudah mengganti sel yang rusak, tetapi jika
sel-sel cukup hilang, liver tidak mungkin dapat memenuhi kebutuhan tubuh.
Liver dapat rusak dengan
berbagai cara
1. Sel terjadi
peradangan (seperti pada hepatitis: hepar = liver + itis = peradangan).
2. Aliran empedu terhambat
(seperti di kolestasis: chole = empedu + stasis berdiri =).
3. Kolesterol atau
trigliserida menumpuk (seperti di steatosis; steat = lemak + osis = akumulasi).
4.Jaringan liver rusak oleh
bahan kimia dan mineral, atau disusupi oleh sel-sel abnormal.
Penyebab Penyakit Liver
1.
Penyalahgunaan
alkohol
Alkohol secara langsung
racun bagi sel hati dan dapat menyebabkan peradangan hati, disebut sebagai
hepatitis alkoholik.
2.
Sirosis
Sirosis adalah tahap akhir
dari penyakit hati. Jaringan parut pada hati dan hilangnya sel hati berfungsi
menyebabkan hati untuk gagal.
3.
Banyak jamur
beracun bagi liver dan makan jamur tak dikenal berkumpul di alam liar dapat
mematikan.
4.
Infeksi hepatitis
a.
Hepatitis A
adalah infeksi virus yang menyebar terutama melalui rute fecal-oral ketika
sejumlah kecil dari kotoran yang terinfeksi secara tidak sengaja tertelan.
b.
Hepatitis B
ditularkan oleh paparan cairan tubuh (jarum dari pencandu obat, darah yang
terkontaminasi, dan kontak seksual) dan dapat menyebabkan infeksi akut, tetapi
juga dapat berkembang menjadi kronis menyebabkan peradangan (hepatitis kronis)
yang dapat menyebabkan sirosis dan kanker liver.
c.
Hepatitis C
menyebabkan hepatitis kronis.
d.
Hepatitis D
adalah virus yang membutuhkan infeksi bersamaan dengan hepatitis B untuk
bertahan hidup, dan menyebar melalui paparan cairan tubuh (jarum dari pencandu
obat, darah yang terkontaminasi, dan kontak seksual).
e.
Hepatitis E
adalah virus yang menyebar melalui paparan makanan dan air yang terkontaminasi.
5.
Virus Lain
Virus lain juga dapat
menyebabkan peradangan liver atau hepatitis sebagai bagian dari cluster gejala.
Infeksi virus dengan infeksi mononucleosis (virus Epstein Barr), adenovirus,
dan virus sitomegalo dapat mengobarkan liver. Non-virus infeksi seperti
toksoplasmosis dan Rocky Mountain spotted fever adalah penyebab kurang umum.
6.
Akumulasi
Lemak
NASH atau non-alkohol
steatohepatitis (juga disebut sebagai "fatty liver") menggambarkan
akumulasi lemak dalam liver yang dapat menyebabkan peradangan liver dan
penurunan bertahap dalam fungsi liver.
7.
Hemochromatosis
Hemachromatosis (kelebihan
zat besi) adalah gangguan metabolisme yang mengarah ke kadar besi abnormal
dalam tubuh. Kelebihan zat besi dapat terakumulasi dalam jaringan dari,
pankreas jantung liver, dan dan dapat menyebabkan peradangan, sirosis, kanker
liver, dan gagal liver.
8.
Penyakit Wilson
Penyakit Wilson merupakan
penyakit bawaan yang mempengaruhi kemampuan tubuh untuk memetabolisme tembaga.
Penyakit Wilson dapat menyebabkan sirosis dan gagal liver.
9.
Penyakit Gilbert
Pada penyakit Gilbert,
adalah kelainan dalam metabolisme bilirubin dalam liver.
10. Kanker
Kanker primer liver timbul
dari struktur liver dan sel. Dua contoh termasuk karsinoma hepatoseluler dan
cholangiocarcinoma.
11. Kelainan Aliran Darah
Budd Chiari syndrome adalah
penyakit di mana gumpalan darah terbentuk di vena hepatik dan mencegah darah
meninggalkan liver.
12. Sirosis bilier primer dan primary sclerosing
cholangitis
Sirosis bilier primer dan
primary sclerosing cholangitis dapat menyebabkan jaringan parut progresif dari
saluran-saluran empedu, menyebabkan mereka untuk menjadi sempit, yang
menghasilkan aliran empedu dikurangi melalui liver. Gejala klasik penyakit
liver diantaranya: mual, muntah, kuadran kanan atas perut sakit, jaundice
(perubahan warna kuning pada kulit karena konsentrasi bilirubin tinggi dalam
aliran darah), serta kelelahan, kelemahan dan penurunan berat badan juga
mungkin terjadi.
Namun, karena ada berbagai
penyakit liver, gejala cenderung spesifik untuk penyakit yang sampai stadium
akhir penyakit liver dan gagal liver terjadi.
Diagnosi Penyakit Liver
1.
Pemeriksaan
Fisik
Penyakit liver dapat
memiliki temuan fisik yang mempengaruhi hampir semua sistem tubuh termasuk
jantung, paru-paru, perut, kulit, otak dan fungsi kognitif, dan bagian lain
dari sistem saraf. Pemeriksaan fisik sering membutuhkan evaluasi seluruh tubuh.
2.
Tes darah
Sangat membantu dalam
menilai peradangan liver dan fungsi, Tes darah untuk fungsi liver khusus meliputi:
a)
AST dan ALT
(bahan kimia transaminase dirilis dengan peradangan sel liver);
b)
GGT dan alkalin
fosfatase (bahan kimia yang dikeluarkan oleh sel yang melapisi saluran empedu);
c)
Bilirubin
d)
Protein dan
kadar albumin.
e)
Tes darah
lainnya dapat dipertimbangkan, termasuk yang berikut:
f)
Hitung darah
lengkap (CBC),
g)
INR darah fungsi
pembekuan mungkin terganggu karena produksi protein yang buruk dan merupakan
ukuran sensitif fungsi liver;
h)
Lipase untuk
memeriksa peradangan pankreas;
i)
Elektrolit, BUN
dan kreatinin untuk menilai fungsi ginjal, dan
j)
Amonia darah
penilaian tingkat sangat membantu pada pasien dengan kebingungan mental.
3.
Pencitraan
Pencitraan dapat digunakan
untuk memvisualisasikan, tidak hanya liver, tetapi organ terdekat lain yang
mungkin sakit. Contoh pencitraan meliputi:
a)
CT scan
(tomografi aksial komputerisasi),
b)
MRI (magnetic
resonance imaging), dan
c)
USG (gelombang
pencitraan suara, yang sangat membantu dalam menilai kandung empedu dan saluran
empedu.
Biopsi liver mungkin
dipertimbangkan untuk mengkonfirmasi diagnosis spesifik dari penyakit liver.
Pengobatan Penyakit Liver
Setiap penyakit liver akan
memiliki cara pengobatan sendiri yang spesifik. Sebagai contoh, hepatitis A
memerlukan perawatan suportif untuk mempertahankan hidrasi sementara
perkelahian sistem kekebalan tubuh dan mengatasi infeksi. Pasien dengan batu
empedu mungkin memerlukan pembedahan untuk mengangkat kantong empedu. Penyakit
lain mungkin perlu jangka panjang perawatan medis untuk mengontrol dan
meminimalkan konsekuensi dari penyakit mereka
Pada pasien dengan sirosis
dan stadium akhir penyakit liver, pengobatan mungkin diperlukan untuk
mengontrol jumlah protein diserap dalam makanan. Pada pasien dengan jumlah
besar cairan asites (cairan terakumulasi di rongga perut), cairan berlebih
mungkin harus sesekali dihapus dengan jarum suntik (paracentesis). Operasi
mungkin diperlukan untuk mengobati hipertensi portal dan meminimalkan risiko
perdarahan. Transplantasi liver adalah pilihan terakhir bagi pasien yang telah
gagal liver.
Novel Sepatu Dahlan karya
Khrisna Pabichara menceritakan masyarakat Kebon Dalem yang miskin. Kemiskinan
itu menutut masyarakat untuk bekerja lebih keras agar dapat memenuhi kebutuhan
hidup. Pengarang menceritakan kepedihan ini dengan halus. Dalam novel ini,
keluarga Dahlan dikisahkan sebagai salah satu masyarakat miskin yang hidup di
Kebon Dalem. Keluarga Dahlan harus bekerja siang-malam agar dapat menikmati
sepiring tiwul. Kondisi ini menyebabkan keluarga Dahlan tidak sempat mengontrol
kesehatannya, sehingga pada suatu hari tokoh Ibu mengidap penyakit liver yang
sangat membahayakan jiwanya. Hal ini terdapat dalam kutipan sebagai berikut.
“Alangkah terkejutnya aku ketika melihat ibuku berjongkok sambil
memegangi batang pisang. Bahunya terguncang-guncang menahan batuk.”
b.
Nilai Pendidikan Sejarah
Menurut Carr (1982: 30) menyebutkan bahwa "history is a
continuous process of interaction between the historian and his facts, and
undending dialogue between the present and the past" yang berarti
bahwa sejarah merupakan proses berkesinambungan
dari interaksi antara sejarawan dan fakta-fakta serta dialog antara masa kini
dan masa lalu.
Menurut Daniel dan Banks (1996:
6) Daniel berpendapat:
bahwa sejarah adalah kenangan pengalaman umat manusia. Sedangkan Banks
berpendirian bahwa semua kejadian di masa lalu adalah sejarah dan sejarah
adalah sebagai aktualitas. Sedangkan Menurut Costa (Burger, 1970: 44) sejarah
dapat didefinisikan sebagai "record of the whole human experience".
Dimana pada hakikatnya sejarah merupakan catatan seluruh pengalaman, baik
secara individu maupun kolektif bangsa/nation dimasa lalu tentang
kehidupan umat manusia.
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa pendidikan
sejarah
merupakan suatu ilmu pengetahuan
yang mempelajari segala peristiwa atau kejadian yang telah terjadi pada masa
lampau dalam kehidupan umat manusia.
Sejarah mempunyai sifat yang khas
dibanding ilmu yang lain,yaitu:
1.
Adanya masa lalu yang
berdasarkan urutan waktu atau kronologis.
2.
Peristiwa
sejarah menyangkut tiga dimensi waktu yaitu masa lampau, masa kini, dan masa
yang akan datang
3.
Ada hubungan sebab
akibat atau kausalitas dari peristiwa tersebut
4.
Kebenaran dari
peristiwa sejarah bersifat sementara (merupakan hipotesis) yang akan gugur
apabila ditemukan data pembuktian yang baru.
Sejarah merupakan cabang ilmu
pengetahuan yang mengkaji secara sistematis keseluruhan perkembangan proses
perubahan dinamika kehidupan masyarakat dengan segala aspek kehidupannya yang
terjadi di masa lampau.
Masa lampau itu sendiri merupakan sebuah
masa yang sudah terlewati. Tetapi, masa lampau bukan merupakan suatu masa yang
final, terhenti, dan tertutup. Masa lampau itu bersifat terbuka dan
berkesinambungan. Sehingga, dalam sejarah, masa lampau manusia bukan demi masa
lampau itu sendiri dan dilupakan begitu saja sebab sejarah itu berkesinambungan
apa yang terjadi dimasa lampau dapat dijadikan gambaran bagi kita untuk
bertindak dimasa sekarang dan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik di masa
mendatang. Sehingga, sejarah dapat digunakan sebagai modal bertindak di masa
kini dan menjadi acuan untuk perencanaan masa yang akan datang.
Kejadian yang menyangkut kehidupan
manusia merupakan unsur penting dalam sejarah yang menempati rentang waktu.
Waktu akan memberikan makna dalam kehidupan dunia yang sedang dijalani sehingga
selama hidup manusia tidak dapat lepas dari waktu karena perjalanan hidup
manusia sama dengan perjalanan waktu itu sendiri.
Perkembangan sejarah manusia akan mempengaruhi perkembangan masyarakat masa
kini dan masa yang akan datang.
Sejarah dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, yaitu :
1.
Sejarah sebagai Peristiwa
Sejarah merupakan peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Sehingga sejarah
sebagai peristiwa yaitu peristiwa yang sebenarnya telah terjadi/berlangsung
pada waktu lampau serta tidak bisa diulangi pada masa kini.
Ciri utama dari Sejarah sebagai
peristiwa adalah sebagai berikut.
a. Abadi
Peristiwa
tersebut tidak berubah-ubah. Sebuah peristiwa yang sudah terjadi dan tidak akan
berubah ataupun diubah. Oleh karena itulah maka peristiwa tersebut atas tetap
dikenang sepanjang masa.
b.
Unik
Karena peristiwa itu hanya terjadi satu
kali. Peristiwa tersebut tidak dapat diulang jika ingin diulang tidak akan sama
persis.
c. Penting
Karena peristiwa yang terjadi tersebut
mempunyai arti bagi seseorang bahkan dapat pula menentukan kehidupan orang
banyak.
Tidak semua peristiwa dapat dikatakan
sebagai sejarah. Sebuah kenyataan sejarah dapat diketahui melalui bukti-bukti
sejarah yang dapat menjadi saksi terhadap peristiwa yang telah terjadi. Agar
sebuah peristiwa dapat dikatakan sebagai sejarah maka harus memenuhi ciri-ciri
berikut ini.
a) Peristiwa tersebut berhubungan dengan kehidupan manusia baik sebagai
individu maupun kelompok.
b)
Memperhatikan dimensi
ruang dan waktu (kapan dan dimana)
c)
Peristiwa tersebut dapat
dikaitkan dengan peristiwa yang lain
Contoh: peristiwa
ekonomi yang terjadi bisa disebabkan oleh aspek politik, sosial dan budaya.
d)
Adanya hubungan
sebab-akibat dari peristiwa tersebut.
Adanya hubungan sebab
akibat baik karena faktor dari dalam maupun dari luar peristiwa tersebut.
Penyebab adalah hal yang menyebabkan peristiwa tersebut terjadi.
e)
Peristiwa sejarah yang
terjadi merupakan sebuah perubahan dalam kehidupan.
f)
Hal ini disebabkan
karena sejarah pada hakekatnya adalah sebuah perubahan dalam kehidupan manusia.
Selain itu, sejarah mempelajari aktivitas manusia dalam konteks waktu.
Perubahan tersebut dapat meliputi berbagai aspek kehidupan seperti politik,
sosial, ekonomi, dan budaya.
2. Sejarah sebagai
Kisah
Sejarah sebagai kisah merupakan
rekonstruksi dari suatu peristiwa yang dituliskan maupun diceritakan oleh
seseorang. Sejarah sebagai sebuah kisah dapat berbentuk lisan dan tulisan.
a.
Bentuk lisan,
Contoh penuturan secara lisan baik yang
dilakukan oleh seorang maupun kelompok tentang peristiwa yang telah terjadi.
b.
Bentuk tulisan
Sejarah dapat berupa kisah yang ditulis
dalam buku-buku sejarah.
Sejarah sebagai kisah sifatnya akan
subjektif karena tergantung pada interpretasi atau penafsiran yang dilakukan
oleh penulis sejarah. Subjektivitas terjadi lebih banyak diakibatkan oleh
faktor-faktor kepribadian si penulis atau penutur cerita. Sejarah sebagai kisah
dapat berupa narasi yang disusun berdasarkan memori, kesan, atau tafsiran
manusia terhadap kejadian atau peristiwa yang terjadi pada waktu lampau.
3. Sejarah
sebagai Ilmu
Sejarah merupakan ilmu yang mempelajari
masa lampau manusia. Sebagai ilmu, sejarah merupakan ilmu pengetahuan ilmiah
yang memiliki seperangkat metode dan teori yang dipergunakan untuk
meneliti dan menganalisa serta menjelaskan kerangka masa lampau yang dipermasalahkan.
Sejarah sebagai ilmu memiliki objek,
tujuan dan metode. Sebagai ilmu sejarah bersifat empiris dan tetap berupaya
menjaga objektiviatsnya sekalipun tidak dapat sepenuhnya menghilangkan
subjektifitas.
Menurut Kuntowijoyo, ciri-ciri atau
karakteristik sejarah sebagai ilmu adalah sebagai berikut.
a.
Bersifat Empiris
Bersifat empiris sebab sejarah melakukan
kajian pada peristiwa yang sungguh terjadi di masa lampau. Sejarah akan sangat
tergantung pada pengalaman dan aktivitas nyata manusia yang direkam dalam
dokumen. Untuk selanjutnya dokumen tersebut diteliti oleh para sejarawan untuk
menemukan fakta yang akan diinterpretasi/ditafsirkan menjadi tulisan sejarah.
b.
Memiliki Objek
Objek sejarah yaitu perubahan atau
perkembangan aktivitas manusia dalam dimensi waktu (masa lampau).
Waktu merupakan unsur penting dalam
sejarah. Waktu dalam hal ini adalah waktu lampau sehingga asal mula maupun
latar belakang menjadi pembahasan utama dalam kajian sejarah.
c.
Memiliki Teori
Teori merupakan pendapat yang
dikemukakan sebagai keterangan mengenai suatu peristiwa. Teori dalam sejarah
berisi satu kumpulan tentang kaidah-kaidah pokok suatu ilmu. Teori tersebut
diajarkan berdasarkan keperluan peradaban. Rekonstruksi sejarah yang dilakukan
mengenal adanya teori yang berkaitan dengan sebab akibat, eksplanasi,
objektivitas, dan subjektivitas.
d.
Memiliki Metode
Metode merupakan cara yang teratur dan
terpikir baik untuk mencapai suatu maksud. Setiap ilmu tentu memiliki tujuan.
Tujuan dalam ilmu sejarah adalah menjelaskan perkembangan atau perubahan
kehidupan masyarakat. Metode dalam ilmu sejarah diperlukan untuk menjelaskan
perkembangan atau perubahan secara benar. Dalam sejarah dikenal metode sejarah
guna mencari kebenaran sejarah. Sehingga seorang sejarawan harus lebih
berhati-hati dalam menarik kesimpulan jangan terlalu berani tetapi sewajarnya
saja.
e.
Mempunyai Generalisasi
Studi dari suatu ilmu selalu ditarik
suatu kesimpulan. Kesimpulan tersebut menjadi kesimpulan umum atau
generalisasi. Jadi generalisasi merupakan sebuah kesimpulan umum dari
pengamatan dan pemahaman penulis.
Ciri sejarah sebagai seni, terdapat :
a.
Intuisi
Intuisi merupakan
kemampuan mengetahui dan memahami sesuatu secara langsung mengenai suatu topik
yang sedang diteliti.
b.
Emosi
Emosi merupakan luapan
perasaan yang berkembang.
c.
Gaya Bahasa
Gaya bahasa merupakan
cara khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk tulisan atau
lisan.
d.
Imajinasi
Imajinasi merupakan
daya pikiran untuk membayangkan kejadian berdasarkan kenyataan atau pengalaman
seseorang (khayalan).
Dalam Novel
Sepatu Dahlan Karya Khrisna Pabichara mengungkapkan sejarah bangsa Indonesia
dengan pengaruh komunismenya. Kutipan yang menunjukkan hal tersebut sebagai
berikut.
“Laskar Merah, begitulah orang-orang tua di
kampungku menamai pasukan bentukan “sayap kiri” Front Demokrasi Rakyat. Bermula
dari rapat raksasa di alu-alun Madiun, 15 Agustus 1948. Musa yang waktu itu
digelari Sang Snabi dari Moskow, mengecam dan menuding bahwa Kabinet Hatta
telah gagal membawa rakyat Indonesia memasuki gerbang kesejahteraan. Muso
berpidato dengan berapi-api, membakar semangat rakyat yang selama ini miskin,
terbelakang, dan buta huruf. Rapat raksasa itu dihadiri berpuluh-puluh ribu
rakyat dari seantero Karesidenan Madiun. Bagi rakyat yang miskin, buta huruf,
dan mendambakan hidup yang lebih, kabar kedatangan Sang Nabi dari Moskow bagai
hujan yang diidam-idamkan sepanjang musim kemarau. Lalu, pada pertengahan
September 1948, di Madiun, berdirilah sebuah Negara, Republik Soviet Indonesia.
Negara itu didirikan oleh FDR. Dan, siapa saja yang berani menentang pendirian
Negara baru itu akan “diamankan”. (Khrisna Pabichara,2012: 64-65)
Dalam novel ini
juga diceritakan bahwa banyak warga di Madiun yang ditangkap oleh para anggota
Laskar Merah tanpa sebab yang jelas. Sebagian besar dari yang ditangkap itu
tidak kembali, dan ada yang kembali dengan keadaan yang mengenaskan. Kutipan
yang menunjukkan uraian terseut sebagai berikut.
“Laskar Merah juga menduduki pos-pos Polsek, Polres,
depo militer, dan Kodim. Kantor Bupati, Residen, dan Kejaksaan mereka rebut.
Tak luput pula kantor Camat dan Kelurahan. Dalam rentang yang singkat, mereka
menguasai Madiun, Magetan, Ngawi, Ponorogo, Pacitan ,Kudus, Cepu, dan
Trenggalek. Bupati, wedana, kepala polisi, jaksa, komandan depo, kiai, guru,
pemimpin partai, dan siapa saja yang diduga berseberangan dengan “sayap kiri”
FDR, beramai-ramai digiring ke sebuah loji—barak bagi karyawan pabrik gula—PG.
Redjo Agung, lalu diangkaut dengan lori menuju loji PG. Gorang Gareng, kemudian
“benar-benar dibersihkan” di sana. Tawanan-tawanan itu disemayamkan di dua
sumur tua Soco, sebuah sumur tua di tengah tegalan ketela di Cigrok, dan sebuah
lagi Dusun Dadapan,”(Khrisna Pabichara,2012: 65)
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Bagian ini merupakan penyimpulan dari
bab pembahasan terhadap temuan penelitian serta menjawab tujuan penelitian.
Adapun penyimpulannya sebagai berikut.
Pertama, struktur novel Sepatu
Dahlan bertema sentral
yaitu
masalah mimpi dan cita-cita anak-anak miskin di Desa Kebon
Dalem.
Selain tema sentral, Novel Sepatu Dahlan memiliki tema
sampingan yaitu maslah keluarga dan persahabatan anak-anak miskin di Desa Kebon
Dalem.
Kedua, alur yang terdapat dalam Sepatu
Dahlan karya Khrisna
Pabichara memiliki alur mundur (flashback).
Ketiga, penokohan dan perwatakan yang
terdapat dalam novel Sepatu Dahlan pada tokoh
protagonis adalah pekerja keras
dan berbakti kepada orang tua. Namun tokoh Dahlan (Sepatu
Dahlan) memiliki watak nakal
seperti anak-anak pada umumnya.
Keempat, latar
novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara
menggunakan penunjuk waktu tahun,
jam, serta keadaan pagi, siang, sore dan malam. Kemudian
pada novel Sepatu Dahlan
menggunakan latar
pedesaan dan kehidupannya sebagai seorang pemimpi.
Kelima, point of view atau sudut pandang
yang digunakan dalam novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara
adalah pesona atau gaya “aku”
pengarang berada di dalam
cerita.
Keenam, dari segi kepengarangannya, Khrisna Pabichara memiliki
pemikiran bahwa Dahlan merupakan seorang
anak yang suka bekerja untuk membantu orang tua.
Namun tetap mengacu pada tema yaitu
mimpi dan cita-cita anak-anak miskin di Desa Kebon Dalem.
Ketujuh, dapat diketahui bahwa novel Sepatu Dahlan memberikan
pengaruh terhadap terciptanya novel lain. Dengan demikian, novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara merupakan
hipogram novel lainnya.
B. Saran
Saran-saran ini ditujukan kepada
pendidik dan tenaga kependidikan, para peneliti sastra, penulis buku dan
sastrawan untuk dapat dijadikan sebagai bahan
pertimbangan dalam mengabdikan tugas-tugas mereka.
1) Untuk
Pendidik
a. Novel Sepatu
Dahlan sangat baik digunakan sebagai bahan pelajaran
sastra.
b. Nilai
pendidikan yang terkandung dalam Sepatu Dahlan sangat baik
untuk nilai pendidikan bagi siswa SMA dan generasi muda umumnya. Nilai pendidikan kesehatan serta nilai pendidikan sejarah
sangat baik ditanamkan kepada generasi muda.
2) Penyusun
buku pelajaran
Hasil
penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan penyusunan materi buku ajar.
3) Pembaca
a. Penelitian
ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca. Khususnya mengenai pembahasan
tokoh dan perwatakannya.
b. Penelitian
ini diharapkan bermanfaat bagi pembaca mengenai nilai-nilai pendidikan yang ada
didalamnya.
4) Peneliti
berikutnya
Penelitian
ini diharapkan dapat bermanfaat untuk penelitian berikutnya ketika menganalisis
karya sastra.
LAMPIRAN
A.
Identitas Buku
Judul : Sepatu Dahlan
Penulis : Khrisna Pabichara
Penerbit : Noura Books
Kota
terbit :
Jakarta
Tahunl terbit : Mei 2012
Cetakan
ke : I
Tebal : 369 hlm
Harga :
Rp 62.500,00
B.
Sinopsis
“Kemiskinan
yang dijalani dengan cara yang tepat, akan mematangkan jiwa.”
Kisah
dalam novel ini ditulis dengan alur mundur. Bermula dari mimpi “18 Jam
Kematian” saat Dahlan menjalani operasi pencangkokan liver di negeri Tiongkok.
Mimpi itu membawanya pada kenangan masa kecil, saat ia hidup bersama Bapak,
Ibu, adiknya Zain di Kebon Dalem. Dahlan kecil lahir di sebuah keluarga petani
yang miskin. Kedua kakaknya, mbak Atun dan mbak Sofwati memilih untuk pergi
merantau dan mencari penghidupan sendiri. Namun di tengah kemiskinan, orang tua
Dahlan mendidik anak-anaknya dengan kedisiplinan dan moral yang baik. Usai lulus Sekolah
Rakyat, sebenarnya Dahlan berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan ke SMP
Magetan. Namun hal ini ditentang oleh sang Bapak yang menginginkan Dahlan
menimba ilmu di pesantren Takeran, milik keluarga besar sang Ibu. Dahlan tak
mampu menolak, terlebih dua angka merah di rapornya dan keterbatasan ekonomi
keluarganya cukup menjadi
alasan baginya untuk mengurungkan keinginan.
Di
hari pertama masuk Tsanawiyah, sang Bapak membekali Dahlan dengan tiga hal.
Jangan ingin kaya dan jangan takut miskin (ojo kepingin sugih lan ojo wedi
mlarat), tidak menyia-nyiakan waktu hanya untuk mencari jabatan (sumber bening
ora bakal golek timbo), dan lebih baik miskin tapi beriman daripada kaya namun
tidak beriman (mlarat ananging iman luwih becik tinimbang sugih tanpa iman). (Khrisna Pabichara,2012: 31)
Sejatinya,
cita-cita Dahlan sangat sederhana yakni memiliki sepatu dan sepeda. Di mata
Dahlan, sosok teman-temannya yang memakai sepatu ke sekolah sangatlah gagah.
Selain itu, perjalanan sejauh 6 kilometer ke sekolah bukan hal yang mudah untuk
dijalani. Kakinya kerap melepuh karena panas matahari yang terik di siang hari.
Belum lagi siksaan lapar yang sudah menghiasi keseharian Dahlan.
Ibu
Dahlan yang mengerti keletihan sang anak pun berjanji akan membelikan sepatu
untuknya. Namun malang tak dapat dielak, di satu pagi sang Ibu jatuh tergeletak
di pekarangan rumah dengan darah berwarna merah kehitaman di ujung bibirnya.
Sang Ibu meninggal akibat penyakit liver
yang menyerang tubuhnya. Di usia mudanya, Dahlan sudah banyak merasa
kehilangan. Ia kerap meluapkan kesedihan hatinya dalam buku harian, hanya untuk
sekedar meringankan beban hidup yang berat.
Di
atas segala kesedihan hidup, cita-cita tentang sepatu dan sepeda terus membuat
Dahlan bekerja keras. Selain sekolah, Dahlan giat bekerja menyabit rumput di
waktu subuh, menggembala domba di sore hari, dan nguli nyeset di ladang tebu.
Meski kemiskinan telah mengajari Dahlan bahwa banyak yang lebih penting dibeli
dibanding sepatu; tiwul, minyak goreng, dan kebutuhan lainnya.
“Kita dapat menjadi orang yang
merasa tidak beruntung karena lahir di tengah-tengah keluarga miskin, bermimpi
ketiban rezeki semacam “durian runtuh” agar bisa membeli benda-benda idaman,
atau membayangkan hal-hal lain yang menggiurkan seperti nasib baik anak-anak
orang kaya. Tapi, kita juga dapat memilih menjalani hidup dengan wajar dan
penuh keriangan, berusaha membantu orangtua sedapat mungkin, meraih segala yang
didamba dengan keringat sendiri, dan tetap antusias memandang masa depan.” (Khrisna Pabichara,2012: 248)
Novel
ini bukan sebuah biografi Dahlan Iskan, karena sarat dengan unsur fiksi yang
kuat. Tokoh Arif, Kadir, Imran, Maryati, dan Komariyah dihadirkan untuk
meramaikan kehidupan Dahlan di Kebon Dalem. Hadir pula Aisha, putri mandor
pabrik gula, yang diam-diam menjadi pujaan hati Dahlan sejak di Tsanawiyah.
“Hidup, bagi orang miskin, harus dijalani apa adanya. Hukum alam. Maka, sebagai
orang miskin, aku tidak mau berharap terlalu muluk-muluk. Aku segera menghapus
impian yang ketiga, Aisha. Pengalaman mengantar Aisha ke rumahnya, setelah
pernah malu bukan kepalang karena terjun bebas ke selokan di depan matanya,
adalah anugerah indah bagiku. Cukuplah itu.” (hlm. 322)
DAFTAR PUSTAKA
Adityana, Rina. http://www.freewebs.com/rinanditya/pengertiansejarah. Diakses
pada tanggal 26 Oktober 2012.Pukul 19.00 WIB.
Andre, Hardjana. 1981. Kritik Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta:
PT Gramedia Jakarta.
Atar, Semi. 1989.
Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.
Budianta, Melani. 1993. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Fukushima, Arisa. http://akusukamenulis.wordpress.com/2012/06/15/
belajar-perjuangan-hidup-dari-sepatu-dahlan/#more-2279. Diakses
pada tanggal 21 Oktober 2012. Pukul 15.00 WIB.
Nenden, Sri Lengkanawati. 2006. Bahasa dan Sastra. Bandung: Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni
Universitas Pendidikan Indonesia.
-penyebab-gejala-dan.html. Diakses
pada tanggal 26 Oktober 2012. Pukul 17.00 WIB.
Retno, Winarni. 2009. Kajian Sastra. Salatiga: Widya Sari Press.
Teeuw, A. 1983. Membaca
dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.
Wellek, Rene & Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Zainuddin, Fananie. 2000. Telaah
Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University
Press.
mantap gan, membantu tugas b.indo saya. ijin copas...
BalasHapus