Senin, 05 November 2012

Makalah Seminar Novel

BAB I
PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang Masalah
Karya sastra merupakan hasil karya cipta manusia yang mengandung daya imajinasi dengan menggunakan bahasa sebagai medianya. Menurut Wellek dan Warren (1993:14) bahasa adalah bahan baku kesusastraan, seperti batu dan tembaga untuk seni patung, cat lukisan, dan  bunyi untuk seni musik, sehingga diperlukan bahasa sebagai media penyampaiannya. Sastra sebagai karya imajinatif, memiliki acuan berupa dunia fiksi atau imajinasi. Sastra lahir dari proses kegelisahan sastrawan atas terjadinya ketegangan atas kebudayaannya. Sastra sering juga ditempatkan sebagai potret sosial. Sebuah karya sastra berfungsi mengungkapkan kondisi masyarakat pada masa tertentu. Dengan demikian, karya sastra akan memancarkan semangat zamannya dan memberi pemahaman yang khas atas situasi sosial, kepercayaan dan harapan-harapan individu yang sesungguhnya mempresentasikan kebudayaan bangsanya. Sastra menyajikan dunia dalam kata, yang bukan dunia sesungguhnya, namun dunia yang “mungkin” ada.
Selain bercirikan keindahan, sebuah karya sastra haruslah memiliki kegunaan. Dalam hal ini fungsi sastra bagi manusia, yaitu sebagai kesenangan dan manfaat. Kedua sifat tersebut saling mengisi. Kesenangan yang diperoleh melalui pembacaan karya sastra bukanlah kesenangan ragawi, melainkan kesenangan yang lebih tinggi, yaitu kesenangan kontemplasi yang tidak mencari keuntungan. Sedangkan manfaatnya adalah keseriusan yang menyenangkan, keseriusan estetis, dan keseriusan persepsi. Selain itu sastra juga memiliki fungsi katarsis, yaitu membebaskan pembaca dan penulisnya dari tekanan emosi.
Karya sastra jika dilihat dari bentuknya dibagi menjadi tiga yaitu, drama, puisi, dan prosa. Menurut  Rahmanto (1988: 89-90), drama bukan hanya pemaparan atau diskusi tentang peristiwa kehidupan yang nyata, tetapi drama lebih merupakan penciptaan kembali kehidupan nyata seperti pendapat Aristoteles (dalam Rahmanto,1988: 90) yaitu peniruan gerak yang memanfaatkan unsur-unsur aktivitas nyata. Bentuk karya sastra yang kedua adalah puisi. Puisi adalah pendramaan pengalaman yang bersifat penafsiran bahasa berirama (Altenbernd dalam Rahmad Djoko Pradopo, 2005: 5-6). Kepuitisan sebuah puisi dapat dicapai dengan bermacam-macam cara, misalnya dengan bentuk visual: tipografi, susunan bait dengan bunyi: persajakan, asonansi, aliterasi, kiasan bunyi, dan lambang rasa (Rahmad Djoko Pradopo, 2005: 13). Selain drama dan puisi, karya sastra yang lain adalah prosa. Menurut  Burhan Nurgiyantoro (1994: 2) prosa dalam pengertian  kesastraan juga disebut fiksi (fiction), teks naratif (narrative text) atau wacana naratif (narrative discouce). Karya fiksi menyaran pada suatu karya yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak ada dan terjadi sungguh-sungguh sehingga perlu dicari kebenarannya pada dunia nyata. Istilah fiksi sering dipergunakan dalam pertentangannya dengan realitas yang terjadi di dunia nyata sehingga kebenarannyapun dapat dibuktikan dengan data empiris. Ada tidaknya, atau dapat tidaknya sesuatu yang dikemukakan dalam karya sastra dibuktikan secara empiris antara lain yang membedakan karya fiksi dengan karya nonfiksi. Tokoh, peristiwa, dan tempat yang bersifat imajinatif, sedang pada karya nonfiksi bersifat faktual.
Menurut  Julia Kristeva (1994: 54) bahwa intertekstual mempunyai prinsip. Prinsip ini berarti bahwa setiap teks sastra dibaca dan harus dibaca dengan latar belakang teks-teks lain; tidak ada sebuah teks pun yang sungguh-sungguh mandiri, dalam arti bahwa penciptaan dan pembacaannya tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks-teks lain sebagai contoh, teladan, kerangka; tidak dalam arti bahwa teks baru hanya meneladan teks lain atau mematuhi kerangka yang  telah diberikan terlebih dahulu; tetapi dalam arti bahwa dalam penyimpangan dan transformasi pun model teks yang sudah ada memainkan peranan yang penting; pemberontakan atau penyimpangan mengandalkan adanya sesuatu yang dapat diberontaki dan disimpangi.  Pemahaman teks baru memerlukan latar belakang pengetahuan tentang teks-teks yang mendahuluinnya (Teeuw, 1984: 144).
Prinsip intertekstual yang utama adalah prinsip memahami dan memberikan makna karya yang bersangkutan. Karya itu diprediksikan sebagai reaksi, penyerapan, atau transformasi dari karya-karya yang lain. Intertekstual lebih dari sekedar pengaruh, ambilan, atau jiplakan, melainkan bagaimana kita memperoleh makna sebuah karya secara penuh dalam kontrasnya dengan karya lain yang menjadi hipogramnnya (Burhan  Nurgiyantoro, 1994: 54).
Karya sastra memang tidak secara langsung mendidik pembacanya, namun karya sastra menampilkan citra energetis yang secara langsung berpengaruh terhadap kualitas emosional, yang kemudian berpengaruh terhadap kualitas lain, misalnya pendidikan, pengajaran, etika, budi pekerti, dan sistem norma yang lain. Dalam konteks itulah, mempelajari sastra suatu bangsa pada hakikatnya tidak berbeda dengan usaha memahami kebudayaan bangsa yang bersangkutan.
Seiring dengan perkembangan peradaban dunia, sebuah karya sastra akan memiliki prestise yang  semakin dihargai. Dalam hal ini, sebuah karya sastra akan berada dalam sebuah persaingan yang akan menunjukkan kualitas karya tersebut. Di sisi lain, masyarakat yang merupakan konsumen sastra akan membaca serta menelaah karya-karya yang memiliki nilai guna bagi dirinya serta bagi lingkungannya.
Namun pada kenyataanya, karya sastra masih jarang dinikmati oleh masyarakat. Hal ini terjadi karena masyarakat kurang mengetahui nilai estetis sebuah karya sastra.
Keprihatinan ini menggerakkan kami untuk mengadakan sebuah acara bernama “Seminar Novel Sepatu Dahlan”, yang bertemakan “Kemilau Mimpi Anak Bangsa”. Novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara merupakan novel pertama dari trilogy novel Sepatu Dahlan yang menggambarkan fenomena kehidupan kaum bawah. Novel ini menggambarkan gejala-gejala alam termasuk segala sesuatu yang terjadi dalam masyarakatnya khususnya kehidupan rakyat kalangan bawah.  Tidak hanya menampilkan fenomena alam dan gejala masyarakat baik berupa tingkat sosial ekonomi, pendidikan, kesehatan, tetapi novel ini memiliki nilai-nilai historis. Khrisna Pabichara menuangkan nilai-nilai historis dalam Sepatu Dahlan secara halus, bagaimana kehidupan kaum bawah yang berada dibawah tekanan para tokoh politik yang haus akan kekuasaan.
Pengkajian terhadap novel tersebut dengan menganalisis struktur yang ada dalam novel tersebut serta mencari nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam novel tersebut. Sehingga akan memberikan jawaban permasalahan  dan mempermudah dalam memahami  novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara sebagai salah satu bentuk apresiasi terhadap karya sastra.

B.            Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana kepaduan struktur pembangun novel Sepatu Dahlan?
2.      Bagaimana nilai pendidikan dalam novel Sepatu Dahlan?

C.           Tujuan Penelitian
Tujuan dilaksanakan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.      Mengetahui struktur pembangun novel Sepatu Dahlan.
2.      Mengetahui nilai pendidikan dalam novel Sepatu Dahlan.

D.           Manfaat Penelitian
Manfaat dilaksanakan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.      Meningkatkan kemampuan menganalisis struktur pembangun pada novel.
2.      Menanamkan nilai-nilai yang tersirat dalam sebuah novel.
3.      Meningkatkan minat baca terhadap karya sastra Indonesia, khususnya generasi muda.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Analisa Unsur Instrinsik dan Ekstrinsik Novel Sepatu Dahlan
1.      Unsur-unsur Instrinsik
Unsur-unsur intrinsik adalah unsur-unsur pembangun karya sastra yang dapat ditemukan di dalam teks karya sastra itu sendiri. Dalam hal ini, unsur intrinsik memiliki pemahaman yang berbeda dengan analisa intrinsik. Analisis intrinsik adalah mencoba memahami suatu karya sastra berdasarkan informasi-informasi yang dapat ditemukan di dalam karya sastra itu atau secara eksplisit terdapat dalam karya sastra. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa suatu karya sastra menciptakan dunianya sendiri yang berbeda dari dunia nyata. Segala sesuatu yang terdapat dalam dunia karya sastra merupakan fiksi yang tidak berhubungan dengan dunia nyata. Karena menciptakan dunianya sendiri, karya sastra tentu dapat dipahami berdasarkan apa yang ada atau secara eksplisit tertulis dalam teks tersebut. Unsur intrisik sebuah novel mencakup tema, latar/setting, alur/plot, penokohan/perwatakan, sudut pandang, amanat, konflik dan gaya bahasa.
a.       Tema
Tema adalah gagasan, ide, atau pikiran utama yang mendasari suatu karya sastra. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa tema dapat dipandang sebagai dasar cerita, gagasan dasar umum, sebuah karya novel. Tema  dalam sebuah karya sastra, fiksi, hanyalah merupakan salah satu  dari penjumlahan unsur pembangun cerita yang lain, yang secara bersama membentuk sebuah kemenyeluruhan. Bahkan eksistensi tema itu  sendiri amat bergantung dari berbagai unsur yang lain. Hal itu disebabkan tema, yang notabene hanya berupa makna atau gagasan dasar umum suatu cerita, tak mungkin hadir tanpa unsur bentuk yang menampungnya. Dengan demikian, sebuah tema baru akan menjadi makna cerita jika ada keterkaitannya dengan unsur-unsur cerita lainnya (Burhan Nurgiyantoro, 1994: 74).
Ada beberapa macam tema, yaitu
1)   Tema sentral
Tema sentral dalam novel ini yaitu Mimpi dan Cita-cita. Secara umum dalam novel ini, pengarang ingin mengungkapkan masalah sosial khususnya kemampuan seseorang untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan hidupnya dengan menempuh berbagai cara. Khrisna Pabichara mengungkapkan bagaimana upaya yang dilakukan seorang anak “Dahlan Iskan” untuk menggapai mimpi dan cita-citanya berupa sepatu dan sepeda. Tema ini dibuktikan pada penggalan :
“Aku terperangah memandangi kejadian tak disangka-sangka itu. Kaus tim adalah impian lama kami, dan tiba-tiba saja tergeletak di depan kami.”(Khrisna Pabhicara, 2012: 227)

“Mimpi-mimpi itu, seandainya sepatu dan sepeda tak layak di sebut cita-cita, tak jauh berbeda dengan mimpi-mimpi anak-anak di kampungku. Bedanya, sepenuh daya aku berusaha meraih mimpi-mimpi itu, dan tak berhenti sampai benar-benar aku memilikinya. Kalupun ada anak-anak lain yang punya mimpi berbeda, pasti Kadirlah orangnya. Dia bermimpi punya gitar dan dia korbankan seekor domba kesayangannya demi mewujudkan mimpi itu.barangkali mimpi anak-anak miskin di mana-mana sama, sederhana. Manakal mimpi itu sudah kupenuhi, anehnya aku merasa ini bukan akhir dari keinginan yang hendak kupenuhi.ada mimpi barau, mimpi yang tiba-tiba saja ingin kupenuhi, bias makan setiap kali perut melilit-lilit karena kelaparan. Mimpi ini, mungkin, seperti sepatu dan sepeda, juga sederhana. Tak ada yang aneh, apalagi ajaib.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 338)

“Demikianlah, hari ini aku menyadari bahwa sepatu dan sepeda bukanlah cita-cita atau mimpi besar yang sebenarnya bagiku. Tetapi, aku belum tahu apa cita-cita atau mimpi yang lebih besar dari sepatu atau sepeda itu.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 339)

2)   Tema sampingan
Khrisna Pabichara mengungkapkan kehidupan keluarga “Dahlan Iskan” dalam kondisi kesederhanaanya, dimana antaranggota keluarga saling menyayangi satu sama lain, dan mengingatkan apabila salah satu diantaranya melakukan tindakan yang merugikan orang lain. Hal ini dibuktikan pada penggalan :
 “Ada sesuatu yang jauh lebih kuinginkan, kasih sayang. Dengan luka anak kecil, aku menolak niat Mbak Atun untuk merantau ke Kalimantan, menceritakan kejadian yang mungkin akan menimpa kami – aku,  Zain, dan Bapak – berharap Mbak Atun mengurungkan niat besarnya itu, tetapi akhirnya Mbak Atun tetap memilih pergi. Aku ceritakan kepada siapa pun kegetiran yang kucemaskan ketika Ibu sakit dan kemudian pergi jauh, tetapi tak ada yang mampu menjelaskan dengan baik kenapa seseorang bisa pergi dan bila yang pergi itu akan kembali. Aku ceritakan kepada Bapak keinginanku untuk menuntut ilmudi sekolah yang aku idamkan, tetapi Bapak punya keinginan lain dan sebagai anank aku harus menuruti keinginan itu – meski belakangan aku tahu, Bapak menginginkan yang terbaik bagiku.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 339)

“Dan, ada beberapa waktu, berkali-kali, aku merindukan kehadiran mereka. Disiplin keras dan didikan tegas Bapak menjelaskan kepadaku bahwa tidak ada sesuatu yang bias kupandang enteng, dan dari sana bermula nikmat kebersahajaan – sebagai anak yang dibesarkan oleh lengan-lengan kemiskinan – yang sering kurindukan setiap kali Bapak jauh dariku.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 339-340)

Persahabatan tulus anak-anak miskin diungkapkan dengan baik oleh pengarang. Persahabatan ini membuahkan banyak kejadian-kejadian tak terduga dan menjadi motivator anak-anak untuk terus berupaya menjalani kehidupan dengan apa adanya. Bukti penggalan novel :
“Kami berhenti menunggu Maryati dan Rombongan mendekat. ‘Ini.’ Seru Maryati sembari menyodorkan sepasang sepatu yang terbungkus kain merah.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 267)

“Tiga laki-laki dan dua perempuan di hadapanku seperti sepakat memandang ke masa silam. Kadir baru saja merampungkan lagu yang dia dendangkan, lagu yang dia gubah sendiri syairnya. Lagu tentang persahabatan sejati tanpa memandang asal-muasal. Lagu yang diilhami oleh persahabatan kami— Arif, Imran, Maryati, Komariyah, dia, dan aku— dan berharap persahabatan kami tidak berakhir di sini, di masa-masa akhir Madrasah Aliyah Pesantren Sabillil Muttaqien.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 340)

“Tuhan memberkati hidupku lewat pertemuan dan pertemanan yang hebat.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 344)

b.      Penokohan dan Perwatakan
Tokoh dan watak tokoh mempunyai kaitan yang erat.  Tokoh-tokoh  yang memiliki watak akan menyebabkan terjadinya konflik, yang kemudian konflik tersebut akan menghasilkan sebuah cerita. Tokoh  cerita menurut Abrams (dalam Burhan  Nurgiyantoro, 2005:165) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 167). Artinya tokoh cerita hanyalah alat penyampai pesan atau bahkan merupakan refleksi pikiran, sikap, pendirian, dan keinginan-keinginan pengarang.
Secara garis besar, tokoh yang menyebabkan konflik disebut tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang mendukung jalannya cerita sebagai tokoh yang mendatangkan simpati atau tokoh baik. Tokoh antagonis merupakan kebalikan dari tokoh protagonis adalah tokoh yang menentang arus cerita atau yang menimbulkan perasaan anti atau benci pada diri pembaca. Konflik antara kedua tokoh ini berkembang terus. Karena itu, kedua jenis tokoh ini menguasai (mendominasi) keseluruhan cerita. Kedua jenis tokoh ini dapat diklasifikasikan sebagai tokoh sentral yang berarti tokoh-tokoh yang dipentingkan atau ditonjolkan atau menjadi pusat penceritaan (Herman J. Waluyo dan Nugraheni Eko Wardani, 2009: 28-29).
Untuk mempermudah menganalisis tokoh maka dibuat tabel pembagian tokoh. Tabel pembagian tokoh dalam novel Sepatu Dahlan dapat dilihat dalam tabel dibawah ini.
  No
Pembagian Tokoh
Protagonis
Antagonis
Tritagonis
Tambahan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Dahlan Iskan
Bapak
Ibu
Zain
Mbak Atun
Mbak Sofwati
Ustaz Ilhamm
Ustaz Hamim
Kadir
Aisha
Maryati
Komariyah
Imran
Arif

Berikut deskripsi karakteristik beberapa tokoh yang terdapat dalam novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara :
a)      Dahlan Iskan
Dahlan Iskan adalah tokoh utama sekaligus tokoh protagonis dalam novel Sepatu Dahlan. Tokoh ini adalah tokoh yang sering kali muncul dan mendominasi cerita. Pengarang menggunakan teknik analitik dalam pelukisan tokoh. Dahlan Iskan dilukiskan sebagai seorang anak dari sebuah keluarga miskin yang selalu bekerja setiap hari untuk mendapatkan upah yang akan digunakan untuk membeli barang idamannya yaitu sepatu dan sepeda. Kutipan yang menjelaskan watak Dahlan Iskan :
“...: setelah sholat Subuh sudah harus menyabit rumput, terus ke sekolah, setelahnya menyabit rumput lagi, lalu belajar mengaji …” (Khrisna Pabhicara, 2012: 19)

Tokoh Dahlan dalam Sepatu Dahlan memiliki watak  pekerja keras, suka membantu, rapi, patuh pada orang tua dan berjiwa pemimpin. Tetapi Dahlan memiliki watak negatif, yaitu watak Dahlan yang menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan barang yang diinginkannya. Kutipan-kutipan yang menunjukkan watak Dahlan :
“Aku dan Zain juga sama. Bangun lebih pagi dari biasanya, bersama-sama ke tegalan, pematang-pematang sawah, atau ke jalanan pembatas ladang tebu untuk menyabit rumput.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 163)

“Siapa yang mau bantu Ibu mbawa anglo dan wajan kecil dari pawon?‘Aku saja, Bu,’ kataku sambil berlari ke arah dapur dengan riang.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 49)

“Aku mengangguk dengan pasti, berusaha meyakinkan Bapak bahwa tak ada lagi kebimbangan yang tersisa di hati. Lalu pagi itu, bersama Bapak, aku mulai petualanagan berjalan aki sepanjang enam kilometer dari Kebon Dalem ke Pesantren Takeran.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 28)

“Aku pindah ke depan kelas, menata kembali batu-batu yang terlepas dari tempatnya.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 141)

“Pasir yang berserakan kuraup dengan tangan, menata kembali di jalur berbatas bata merah segitiga yang tertancap rapi ke dalam tanah.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 141)

“Pada saat seperti ini, aku harus bisa mengambil keputusan dengan cepat. Sebagai kapten tim,Ustaz Jabbar memberikan kewenangan penuh kepadaku untuk mengatur jadwal latihan dan mengambil keputusan demi kepentingan tim.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 198)

“Aku segera mengajak mereka merapat, menyusun strategi untuk melawan tim bola voli wakil Kecamatan Bendo itu.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 226)
Watak negatif tokoh Dahlan adalah menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan barang yang diinginkannya. Kutipan yang menjelaskan watak negatif tokoh Dahlan sebagai berikut.
“Setelah bertemu batang yang tepat, aku pegang pertengahan batang sambil menebaskan parang.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 86)

“Ini kebun bengkok milik Pak Lurah. Kedapatan mencuri pisang pasti lebih ‘mengerikan’ ketimbang mencuri tebu.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 95)

“Maka, kucongkel dengan pintu lemari, melepas engselnya dan segera menemukan kotak duit Bapak. Dengan jantung yang berdegup kencang, kotak itu kuambil dan kutaruh di atas lantai tanah.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 256)

“Aku mengambil uang itu dengan mata melotot dan dada yang berdentam-dentam.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 258)

b)      Bapak
Tokoh Bapak adalah tokoh antagonis karena tokoh ini yang menyebabkan konflik dalam batin tokoh utama (Dahlan). Tokoh ini yang pada mulanya memunculkan konflik dalam cerita. Sisi positif watak tokoh Bapak memiliki semangat bekerja yang tinggi. Kutipan yang menunjukkan psikis dari Bapak yang memiliki semangat yang tinggi dalam bekerja sebagai berikut :
“Tangannya tak pernah bisa diam. Ada saja yang dia kerjakan: memangkas pohon beluntas di pagar halaman, meratakan lantai tanah rumah, membuang palapah pisang yang daunnya mulai menguning.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 23)
Dari kutipan di atas jelas bahwa Tokoh Bapak adalah orang tua yang bertanggung jawab dalam menafkahi keluarganya. Selain itu, tokoh Bapak memiliki watak yang keras, disiplin, pendiam, serta pandai bercerita. Kutipan-kutipan yang menunjukkan watak Tokoh Bapak :
 “Aku sangat menghormati Bapak, mungkin karena takut atau memang suka, terlepas dari sikap taatnya terhadap aturan-aturan yang dibuatnya. Tak da yang boleh melanggar, termasuk Ibu dan anak-anak perempuannya.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 17)

“Bapak sangat pendiam. Sampai-sampai aku bisa menghitung berapa banyak kata yang diucapkannya dalam satu hari.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 23)

 “Masih pagi, Le, Bapak mau bercerita, sebentar saja.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 27)

c)      Ibu
Tokoh Ibu merupakan tokoh tritagonis, kedudukan tokoh Ibu ini sebagai penengah konflik. Tokoh Ibu sebagai pelerai konflik yang terjadi pada tokoh utama yaitu Dahlan. Ibu dilukiskan sebagai orang yang memiliki watak yang baik hati dan tekun. Sifat positif tokoh Ibu terdapat dalam kutipan berikut ini :
 “Ibu mambawakan sepiring nasi, sepotong ikan kering dan sambal favoritku.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 44)

 “Malam sudah tiba. Ibu sudah siap-siap menceburkan diri dalam kebisuan. Selembar kain mori, yang baru diterimanya tadi pagi sudah ditaruh di atas tikar pandan.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 47)

d)     Zain
Tokoh Zain merupakan tokoh tritagonis, kedudukan tokoh Zain ini sebagai penengah konflik. Zain dilukiskan sebagai seorang anak yang memiliki watak suka membantu dan rajin bekerja. Penggalan novel yang menunjukkan watak zain :
 “Hanya butuh dua langkah lagi sebelum meletakkan anglo itu ketika Zain yang sepertinya bermaksud membantu tiba-tiba berdiri dan menyenggol tanganku.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 49)

 “Sebulan belakangan ini, setiap pulang menyabit rumput, aku dan Zain bahu-membahu mencangkuli tanah kosong di halaman belakang, menggemburkan tanahnya, menebarinya dengan benih jagung, ketela, umbi-umbian, sayur-sayuran – atau yang semacam itu.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 172)

e)      Mbak Atun
Tokoh Mbak Atun merupakan tokoh tambahan  yang fungsinya  sebagai pendukung tokoh utama. Tokoh Mbak Atun adalah kakak Dahlan yang digambarkan sebagai sosok yang memiliki ciri fisik dan watak keibuan. Kutipan yang menunjukkan ciri fisik dan watak keibuan dari tokoh Mbak Atun sebagai berikut.
 “…Mbak Atun adalah cerminan sosok Ibu yang sempurna : rambut hitam, alis lebat, hidung bangir, lesung pipi, dan tinggi badan benar-benar bak pinang dibelah dua.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 219)

“Belum lagi tutur katanya, seolah-olah seluruh karakter Ibu diwariskan kepadanya.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 219)

f)       Mbak Sofwati
Tokoh Mbak Sofwati merupakan tokoh tambahan  yang fungsinya  sebagai pendukung tokoh utama. Tokoh Mbak Sofwati adalah kakak Dahlan yang digambarkan sebagai sosok yang pendiam. Kutipan yang menunjukkan watak pendiam dari tokoh Mbak Sofwati sebagai berikut.
 “Mbak Sofwati mengangguk. Seperti Bapak, kakak perempuanku yang satu ini memang bicara seperlunya saja, tegas dan tidak suka basa-basi.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 108)

g)      Ustaz Ilham
Tokoh Ustaz Ilham merupakan tokoh tambahan  yang fungsinya  sebagai pendukung tokoh utama. Tokoh Ustaz Ilham adalah guru Dahlan yang digambarkan sebagai sosok yang ramah. Kutipan yang menunjukkan watak ramah dari tokoh Ustaz Ilham sebagai berikut.
“Begitulah ustaz muda bersarung kotak-kotak itu menyambut kedatangan kami.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 35)
Ustaz Ilham merupakan motivator bagi para santri di pesantren Takeran. Kutipan yang menunjukkan tokoh Ustaz Ilham seorang motivator sebagai berikut.
 “Beliau mengobarkan semangat kami agar jauh dari rendah diri dan lebih dekat pada rendah hati.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 37)

h)      Ustaz Hamim
Ustaz Hamim merupakan guru di pesantren Takeran yang pandai bercerita. Kutipan yang menunjukkan tokoh Ustaz Hamim seorang yang pandai bercerita sebagai berikut.
 “Ustaz hamim yang hafal Al-Qur’an sejak usia remaja itu menghampiri kami, tersenyum, menatap kami satu per satu, kemudian meneruskan kisah Pesantren Takeran yang membuat kami takjub dan merasa seolah-olah kamilah yang mendirikan pesantren ini dari semula.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 55)

i)        Aisha
Aisha merupakan tokoh tambahan yang fungsinya  sebagai pendukung tokoh utama. Tokoh ini mempengaruhi konflik yang muncul dalam cerita.  Tokoh Aisha dijelaskan ciri fisik dan psikisnya. Tokoh Aisha adalah sosok gadis yang memiliki rambut panjang dan kulit kuning langsat. Tokoh Aisha digambarkan sebagai sosok yang suka menolong. Kutipan yang menunjukkan bahwa Aisha suka menolong sebagai berikut.
 “Gadis berambut panjang yang menolong Maryatai mengulum senyum.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 117)
Kelebihan dari tokoh Aisha  diungkapkan oleh pengarang bahwa dirinya anak orang kaya. Akan tetapi, Aisha tetap rajin bekerja. Penggalan cerita yang menunjukkan bahwa Aisha rajin bekerja sebagai berikut.
 “Ketika melewati Sawojajar, di depan sebuah rumah gedong besar dengan halaman yang lapang, seorang perempuan muda sedang menjemur pakaian di samping rumahnya.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 194)
j)        Kadir
Tokoh Kadir merupakan tokoh tambahan yang dilukiskan dengan watak polos, pendiam, serta mudah tersentuh. Watak tokoh Kadir dilukiskan secara dramatik melalui pikiran tokoh lain. Penggalan novel yang menunjukkan watak tokoh Kadir sebagai berikut.
 “Yang kusuka dari Kadir adalah kepolosan dan keterusterangannya.”(Khrisna Pabhicara, 2012: 34)

“Lagi-lagi Kadir membisu. Sejak dulu, waktu pertama kali bertemu sengannya di SR Bukur, dia sangat pendiam.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 307)

 “Sedang larut menyimak kisah hilangnya Kiai Mursyid itu, samar-samar kudengar seorang terisak. Dan ketika aku menoleh kearah isakan itu, Kadir memejamkan mata. Pada kedua sisi hidungnya terlihat jelas bekas alur air mata.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 56)

k)      Maryati
Maryati merupakan tokoh tambahan yang fungsinya  sebagai pendukung tokoh utama. Ciri psikis dari tokoh Maryati yaitu suka berbagi. Kutipan yang menunjukkan tokoh Maryati seorang anak yang suka berbagi sebagai berikut.
 “Maryati menghentikan langkah, ’Buat kamu…,’ katanya sambil menyandarkan sepeda di pinggangnya, dan segera membuka tas. Sesisir pisang besar-besar segera “menggelitik” perutku. “(Khrisna Pabhicara, 2012: 114)

Selain itu, tokoh Maryati digambarkan sebagai seorang gadis yang baik hati dan cerewet. Tokoh Maryati dijelaskan ciri fisiknya secara langsung oleh pengarang. Tokoh Maryati adalah sosok gadis yang memiliki wajah cantik dan senyum yang menawan. Hal ini dibuktikan pada kutipan berikut ini :
 “Kalau tersenyum sungguh menawan. Dia santri yang baik hati dan paling cantik dikelasku. Sekaligus paling cerewet.” (Khrisna Pabhicara,2012: 99)

l)        Komariyah
Tokoh Komariyah merupakan tokoh tambahan yang memiliki keterkaitan dengan tokoh utama. Tokoh Ksomariyah dilukiskan sebagai seorang gadis yang tidak suka mengerjakan pekerjaan anak perempuan. Tokoh Komariyah lebih suka bermain dengan anak laki-laki. Sisi positif dari tokoh Komariyah yaitu pandai bergaul, teliti dan hemat kata. Sisi positif dari tiokoh Komariyah ditunjukkan pada kutipan berikut ini :
“Parahnya lagi, dia pula perempuan pertama yang mau menggembala domba bersama penggembala yang semuanya laki-laki.”(Khrisna Pabhicara,2012: 150)

 “Jika bicara, dia seperti sudah sangat dewasa, padahal umurnya setahun lebih muda dariku.” (Khrisna Pabhicara,2012: )

m)    Arif
Tokoh Arif merupakan tokoh tambahan yang dilukiskan sebagai seorang anak yang cerdas dan memiliki kemauan keras. Kutipan yang menunjukkan watak tokoh Arif sebagai berikut.
 “Arif murid paling cerdas di kelasku. Selain hafal Al-Qur’an 10 juz, dia juga hafal banyak hadis di luar kepala.” (Khrisna Pabhicara,2012: 142)

 “Arif yang semula malas berlatih, sekarang tak mau kalah. Dia melatih pukulan voli pelan tanpa lompatan yang di tahan dan di kelmbalikan dengan baik oleh Imran, berulang-ulang,hingga Zainal dan Rahmat yang sedari tadi jadi penonton di pinggir lapangan merasa penasaran.” (Khrisna Pabhicara,2012: 205)

n)      Imran
Tokoh Imran merupakan tokoh tambahan yang dilukiskan sebagai seorang anak yang nakal. Kutipan yang menunjukkan watak tokoh Imran sebagai berikut.
 “Ada saja ulahnya setiap hari : berisik saat belajar atau ujian, mengganggu teman sebangkunya, melempari murid lain dengan remasan kertas, menggoda murid-murid perempuan hingga mereka menangis, bolos kalau dapat gilirran belajar pidato dan tak pernah duduk diam di kursi, meski sudah berkali-kali ditegur oleh guru.” (Khrisna Pabhicara,2012: 143)
Akan tetapi, tokoh Imran memiliki kemauan keras dalam berusaha. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut ini.
 “Janji Imran untuk berlatih keras bukan isapan jempol. Hanya dalam seminggu dia sudah mahir menahan smash dan mengirimkan bola pertama yang ciamik kepadaku, lantas menjadi umpan yag ‘dilahap’ dengan empuk oleh lengan Fadli.” (Khrisna Pabhicara,2012: 203)

i.        Alur
Alur adalah urutan atau rangkaian peristiwa dalam cerita rekaan. Alur pada novel ini adalah alur mundur (sorot-balik/ flash-back). Urutan kejadian yang dikisahkan dalam karya fiksi tidak bersifat kronologis, cerita tidak dimulai dari tahap awal, melainkan mungkin dari tahap tengah atau bahkan tahap akhir, baru kemudian tahap awal cerita dikisahkan. Karya yang berplot jenis ini langsung menyuguhkan adegan-adegan konflik, bahkan barangkali konflik yang telah meruncing. Padahal pembaca belum lagi dibawa masuk ke situasi dan permasalahan yang menyebabkan terjadinya konflik dan pertentangan itu.

j.        Setting atau Latar
Menurut Herman J. Waluyo dan Nugraheni Eko Wardani (2009: 35) setting berkaitan dengan  pengadegan, latar belakang, waktu cerita, dan waktu  penceritaan. Pengadeganan artinya penyusunan adegan-adegan di dalam cerita. Tidak semua kejadian dalam kehidupan sang tokoh dilukiskan di dalam adegan-adegan. Adegan dipilih yang benar-benar mewakili cerita. Adegan bisa di dalam rumah dan dapat juga di luar rumah.
a.       Latar tempat :
Latar tempat adalah tempat cerita. Setting cerita dalam novel Sepatu Dahlan ini lebih banyak di  pedesaan, rumah warga, madrasah, pasar, dan kantor kecamatan. Khrisna Pabichara dalam Novel Sepatu Dahlan ini  lebih banyak atau dominan melukiskan latar tempat yang dilukiskan secara analitik. Hal itu terlihat pada kutipan berikut:
“Kebon Dalem. Itulah kampung kelahiranku. Sebuah kampung kecil dengan enam buah rumah, atau sebut saja gubug, yang letaknya saling berjauhan.”(Khrisna Pabhicara, 2012: 13)

 “Benar saja, setiba di dalam rumah, Bapak dan Ibu sudah menungguku di atas sehelai tikar pandan. Mereka bersila di bawah jilatan lampu teplok yang meliuk-liuk ditiup angin.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 17)

“Yang terbaring kaku di depanku, di atas tikar pandan di tengah rumah, adalah perempuan yang paling kusayangi. Ibu.”(Khrisna Pabhicara, 2012: 124)

 “Alangkah terkejutnya aku ketikaa melihat ibuku berjongkok memegangi batang pisang. Bahunya terguncang-guncang menahan batuk.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 75)

“Ketika menyelinap di sela-sela batang tebu yang tingginya dua kali melebihi tinggi tubuhku, aku mulai gugup.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 85)

“Tiba-tiba aku melihat sebatang pisang dengan buah yang sudah layak ditanak atau dibakar. Pisang itu bukan milik Bapak, apa lagi milikku. Ini kebun bengkok, milik Pak Lurah.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 95)

“Setiba di makam ibu ada seseorang di sana.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 182)

“Beberapa ratus meter sebelum Pesantern Takeran, di depan rumah Maryati, aku berhenti. Aku menelan ludah, berkali-kali, melihat buah-buah pisang diturunkan dari mobil dengan bak terbuka.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 111)

“Aisha berlari kecil menuju pintu rumahnya sambil terus tersenyum.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 322)
Tidak hanya tempat di pedesaan, namun novel ini juga menjelaskan secara jelas kondisi madrasah, cerita ketika Dahlan bersama Bapak mendaftar di Madrasah Tsanawiyah di Pesantren Takeran, serta cerita ketika Dahlan bersama sahabatnya telah lulus menempuh pendidikan di Pesantren Takeran. Kutipan yang menunjukkan setting tempat sebagai berikut.
“Gedung-gedung di Pesantren Takeran ini terlihat antik dan kokoh. Di sebelah kanan, gedung bercat hijau lumut memanjang berbentuk L. di depan kelas paling kana nada sebuah papan bertuliskan MADRASAH TSANAWIYAH, terpaku di tiang kayu jati. Di sebelah kiri, gedung bercat biru langit membentuk huruf U. Pada kelas kiri terpajang papan bertuliskan MADRASAH ALIYAH.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 32)

“Santri-santri bergerombol, duduk tak beraturan, bising bak lebah yang diusik dari sarangya, hingga Ustaz Ilham berdiri sambil mengangkat kedua tangannya.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 35)

“Mereka sedang berkumpul di ruang luas berbentuk persegi panjang ini untuk memilih pengurus Ikatan Santri Pesantren Takeran yang baru.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 156)

“Hari itu di bawah rindang trembesi di halaman gedung berbentuk huruf U, aku membayangkan nasib baru yang akan digariskan Tuhan untukku.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 340)
Latar tempat dalam novel ini juga menunjukkan kehidupan masyarakat Desa Kebon Dalem yang religius. Khrisna Pabichara menceritakan kegiatan anak-anak Desa Kebon Dalem yang selalu berangkat mengaji di langgar pada malam hari. Kutipan yang menyatakan hal tersebut adalah sebagai berikut.
“Bapak berjalan ke langgar, sementara kami lansung ke dapur. Beberapa saat kemudian, kami sudah berada di dalam langgar bersama anak-anak Kebon Dalem.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 303)
Latar tempat dalam novel ini juga menunjukkan bukti sejarah bangsa Indonesia di bawah pengaruh komunismenya. Kutipan yang menunjukkan latar tempat tersebut sebagai berikut.
“Dan, tibalah kami di sumur tua Cigrok yang berada di tengah-tengah tegalan dengan batang-batang ketela yang tumbuh liar,semak belukar dan rumput-rumput setinggi lutut, juga beringin besar yang terkenal keramat.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 68)
Latar tempat pada Novel Trilogi Sepatu Dahlan ini juga menunjukkan tempat-tempat kegiatan pemerintahan berlangsung.
“Setelah tiba di belakang kantor camat, serta merta anggota tim melompat-lompat, berjingkrak-jingkrak kegirangan menyambut kedatanganku, eolah-olah mereka sedang mengelu-elukan kedatangan seorang patriot sejati yang lama dinanti-nanti.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 224-225)

Pusat kegiatan sosial juga diceritakan dalam latar tempat Novel Sepatau Dahlan karya Khrisna Pabichara ini. Latar tempat ini dapat dilihat dalam kutipan berikut ini :
“Pedagang sepatu itu terkekeh-kekeh sambil mengusap-usap perut buncitnya. Aku letakkan sepatu itu di tempatnya semula dengan perasaan masygul.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 260).

“Pedagang sepatu bekas bertubuh tambun yang dulu mengejekku karena tidak mampu membeli sepatu yang ku idam-idamkan, hari ini membungkus dua pasang sepatu bekas tanpa banyak bicara.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 333)

b.      Latar suasana
Latar suasana menggambarkan suasana kedaerahan. Dalam novel  Sepatu Dahlan, Khrisna Pabichara menunjukkan latar suasana yang dialami tokoh Dahlan Iskan ketika dirinya menghadapi suatu peristiwa. Latas suasana dalam novel ini berupa menegangkan, menyakitkan, menyenangkan, memprihatinkan, mengharukan dan panik. Kutipan yang menunjukkan latar suasana kehidupan tokoh sebagai berikut.
 “Aku segera mencium tangan Bapak dan Ibu, kemudian duduk takzim di hadaan mereka. Tertunduk, sedalam-dalamnya.” (Khrisna Pabhicara,2012 : 17)

 “Aku berdiri tegak, membeku, terperangah mendengar pertanyaan Bapak yang tidak pernah kusangka-sangka.”(Khrisna Pabhicara,2012: 70)

“Rasa sakit di ulu hatiku makin menjadi-jadi.”(Khrisna Pabhicara,2012 : 85)

“Penonton yang didominasi warga Takeran bergemuruh menyambut kemenangan kami. Mereka bertepuk tangan, bersuit-suit, dan berteriak kegirangan.” (Khrisna Pabhicara,2012 : 233)

“Seperti memenangi olimpiade saja gaya kami saat Bupati Magetan menyerahkan piala setinggi setengah meter kepadaku. Piala itu kucium sepenuh hati, lalu berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain. Penonton bergemuruh.” (Khrisna Pabhicara,2012 : 279)

 “Yang terbaring kaku di depanku, di atas tikar pandan di tengah rumah, adalah perempuan yang paling kusayangi. Ibu.” (Khrisna Pabhicara,2012 : 124)

 “Ketika nama pengurus disebut satu per satu, aku lihat Bapak menengadah dengan mata berbinar-binar, bercahaya.” (Khrisna Pabhicara,2012 : 165)

“Saat itulah Bapak mendekat, memeluk, dan mengusap-usap kepalaku.” (Khrisna Pabhicara,2012 : 280)

 “Ibu tak bergerak. Dengan panik, aku meraba pipi Ibu dan berdoa semoga tak terjadi apa-apa, kemudian menggigil ketika memeluk tubuh ibuku yang terasa dingin, sangat dingin.” (Khrisna Pabhicara,2012 : 76)

“Sekuat tenaga aku menjaga keseimbangan, menatap jalanan dengan seksama, hingga tak menyadari dari arah depan melaju sebuah sepeda. Karena kaget aku membanting setang ke kiri, dan sebuah batu yang agak besar menebarkan ancaman baru.” (Khrisna Pabhicara,2012 : 116)

“Wajah Komariyah mulai pucat, dia terisak-isak dan menjerit ketakutan. Kami benar-benar panic karena Nanang tak kunjung siuman.” (Khrisna Pabhicara,2012 : 240)

c.       Latar waktu
Dalam novel Sepatu Dahlan menunjukkan setting waktu berupa hari. Situasi pagi, siang, sore, dan malam. Kutipan yang menunjukkan sebagai berikut.
Malam itu aku dan Zain tidur di langgar bersama teman-teman yang lain. Tiba-tiba, badan Zain sangat panas dingin.”(Khrisna Pabhicara,2012: 191)

 “Matahari sudah sepenggalah waktu aku dan Bapak memasuki kawasan Pesantren Takeran.” (Khrisna Pabhicara,2012: 29)

“Cahaya matahari menerobos masuk lewat pintu yang terbuka dan membangunkanku, pertanda sekarang sudah siang.” (Khrisna Pabhicara,2012: 80)

 “Matahari tepat berada di ubun-ubun, panas membara.” (Khrisna Pabhicara,2012: 39)

“Komariyah berjalan paling depan, di bawah terik sinar matahari, menjunjung tampah berisi makanan yang sudah kami tunggu-tunggu.” (Khrisna Pabhicara,2012: 243)

“Matahari senja kembali mengapung di permukaan sungai.” (Khrisna Pabhicara,2012: 148)

 “Malam sudah tiba, gelap menyelimuti Kebon Dalem. Hanya kelip-kelip lampu teplok sesekali terlihat.” (Khrisna Pabhicara,2012: 16)

“Hening. Senyap. Suara jangkrik dan binatang malam di luar rumah terasa nyaring di telinga.” (Khrisna Pabhicara,2012: 20)
Selain setting hari, novel Sepatu Dahlan juga menunjukkan setting tahun. Berikut beberapa kutipan yang menunjukkan setting tersebut.
“Desember 1962. Baru saja kuterima ijazah Sekolah Rakyat.”(Khrisna Pabhicara,2012: 16)
Selain itu, setting waktu ditunjukkan dengan angka jam. Kutipan yang menunjukkan seting tersebut sebagai berikut.
“Senin, 6 Agustus 2007, pukul 09.00”(Khrisna Pabhicara,2012: 1)

k.      Point of View/ Sudut Pandang
Point of View atau sudut pandang cerita mengacu pada cara sebuah cerita dikisahkan. Sudut pandang merupakan cara atau pandangan yang digunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan tokoh, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam karya fiksi kepada pembaca.  Sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih oleh pengarang untuk mengemukakan gagasan ceritanya. Sudut pandang yang digunakan pada novel Sepatu Dahlan yaitu pesona atau gaya “aku”, pengarang atau narator berada di dalam cerita. Pengarang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut dirinya “aku”. Sudut pandang yang paling menonjol dalam novel Sepatu Dahlan, menggunakan cara ini. Berikut ini kutipan yang menunjukkan sudut pandang tersebut.
“Aku masih tertunduk, memandangi tikar pandan yang kududuki. Aku memang suka ketiga pelajaran yang mendapat nilai Sembilan itu : Menyanyi, Menulis, dan Gerak Badan. Aku suka menyanyi karena kata teman-teman suaraku bagus. Sebenarnya, setiap bernyanyi, aku sedang berusaha melupakan kepedihan hidupku. Aku juga suka menulis. Sangat suka. Bukuku penuh catatan pengalaman tentang apa saja : domba-dombaku yang bertambah banyak, sepatu Pak Suprapto –Kepala  SR Bukur—yang mengilat atau sepedanya yang gagah membelah jalanan, dan pelbagai hal yang kualami sehari-hari.sebab itulah tak ada seorang pun yang melampaui angka pelajaran menulisku. Aku juga suka Gerak Badan karena setiap berkumpul dengan teman-temann di tempat menggembala, kami biasa balap lari atau main voli atau sepak bola. Selebihnya, aku tak punya banyak waktu untuk belajar.”(Khrisna Pabhicara,2012: 18-19)
Sudut pandang (Point of View) pesona “aku” ini banyak menyebutkan tokoh utama yang mengemukakan gagasan utama cerita melalui tokoh Dahlan, pengarang menuangkan kehidupan masyarakat Desa Kebon Dalem sebagai masyarakat yang miskin. Perasaan batin kehidupan orang miskin terhadap mimpi dan cita-cita. Hal ini banyak dituangkan melalui tokoh Dahlan.

l.        Amanat
Amanat yang terdapat dalam karya sastra tertuang secara implisit. Secara implisit yaitu jika jalan keluar atau ajaran moral itu disiratkan dalam tingkah laku tokoh menjelang cerita berakhir, Sudjiman (1986:35). Amanat secara eksplisit yaitu jika pengarang pada tengah atau akhir cerita menyampaikan seruan, saran, peringatan, nasihat, anjuran, larangan dan sebagainya, berkenaan dengan gagasan yang mendasari cerita itu.
1)      Jangan berhenti bermimpi, karena mimpi yang akan membawa kita pada kenyataan.
“Mimpi-mimpi itu, seandainya sepatu dan sepeda tak layak di sebut cita-cita, tak jauh berbeda dengan mimpi-mimpi anak-anak di kampungku. Bedanya, sepenuh daya aku berusaha meraih mimpi-mimpi itu, dan tak berhenti sampai benar-benar aku memilikinya. Kalupun ada anak-anak lain yang punya mimpi berbeda, pasti Kadirlah orangnya. Dia bermimpi punya gitar dan dia korbankan seekor domba kesayangannya demi mewujudkan mimpi itu.barangkali mimpi anak-anak miskin di mana-mana sama, sederhana. Manakal mimpi itu sudah kupenuhi, anehnya aku merasa ini bukan akhir dari keinginan yang hendak kupenuhi.ada mimpi barau, mimpi yang tiba-tiba saja ingin kupenuhi, bias makan setiap kali perut melilit-lilit karena kelaparan. Mimpi ini, mungkin, seperti sepatu dan sepeda, juga sederhana. Tak ada yang aneh, apalagi ajaib.” (Khrisna Pabhicara, 2012: 338)
2)      Kita harus menjalani problema kehidupan dengan ikhlas, sebab di situlah mental kita diuji.
Hidup, bagi orang miskin, harus dijalani apa adanya.”(Khrisna Pabichara,2012: 322)
3)      Kerja keras merupakan tonggak dari prestasi.
“Keesokan harinya, tanpa buang-buang waktu, aku berangkat sendirian ke Pasar Madiun. Terik matahari, letih tubuh, dan angin kencang tak terasa sama sekali.sepeda meleju kencang, demi peristiwa paling bersejarah sepanjang hidupku: membeli sepatu dan sepeda.”(Khrisna Pabhicara,2012: 333)

2.      Unsur-unsur Ekstrinsik
a.       Riwayat Hidup Pengarang
Khrisna Pabichara lahir 10 November 1975 di Makassar. Sebenarnya lahir di Jeneponto, tapi tersebabkan semasa SD takut kalau Jeneponto tidak tampak di peta, maka ia ganti ketika mengajukan data sebelum ujian kelulusan. Untungnya, tidak perlu akikah ulang akibat perubahan tempat lahir dan tahun kelahiran yang lebih dimudakan setahun–sebenarnya lahir tahun 1974.
Putra kelima dari pasangan Yadli Malik Dg. Ngadele dan Shafiya Djumpa ini terlahir dengan cara yang ajaib, yakni dalam posisi sungsang dan menyelempangkan ari-ari. Lebih unik lagi, karena harus terpisah dari sang bunda, hanya sempat disusui selama tiga bulan. Yang pasti, sejak kecil dilimpahi bakat narsis yang luar biasa.
Khrisna pernah beberapa kali tampil sebagai juru bicara untuk cerdas cermat antar sekolah atau kelompencapir–semasa jayanya Departemen Penerangan. Ia mendapat gelar singa podium setelah 3 tahun berturut-turut memenangkan Lomba Pidato Tingkat Pelajar SLTA se-Sulsel dari 1989-1991, Pelajar Cerdas karena kerap memenangi Lomba Karya Tulis Ilmiah Remaja tahun 1990, dan Wartawan Muda Berbakat setelah menggondol juara pada Lomba Mading Se-Sulsel Tahun 1990.
Pada 1996 sempat berbakti sebagai guru Matematika, Fisika, dan Akuntansi di Madrasah Aliyah Muhammadiyah Tanetea setelah berhenti sebagai tenaga audit di sebuah lembaga perbankan swasta. Setelah itu hijrah ke Jakarta dengan niat mulia untuk menjadi penulis–karena hasutan guru SMA-nya, Asia Ramli Prapanca–yang dibuktikan secara serius dengan mencantumkan “penulis” di segala tanda pengenal kependudukannya.
Tapi semuanya tak semudah membalik telapak tangan, manuskrip buku yang diajukannya ke sebuah penerbit ditolak mentah-mentah karena dianggap belum punya nama. Alhasil, malah terjun sebagai pamong desa di Desa Pangkal Jaya dan Desa Bantar Karet–di Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor.
Khrisna memulai karier kepenulisannya sejak 2003. Waktu itu, dia lebih suka tulisan-tulisan bernuansa ilmiah, utamanya tentang otak.
Pada tahun 2005, Khrisna dengan teman-temannya di Resesi Community menggelar program Akademi Pelajar Cerdas (APC) Turatea. Ada 24 siswa yang lolos seleksi kemudian diasramakan untuk mendapatkan bimbingan. Ternyata hasilnya cukup memuaskan. Materi dari akademi tersebut dihimpun dan dijadikan sebuah buku. Akhirnya, tahun 2006, MQS Publishing merespons buku mentah yang dibuatnya.
Kemudian pada Januari 2007 terbitlah buku pertama Khrisna, 12 Rahasia Pembelajar Cemerlang, diterbitkan oleh Kolbu. Sejak saat itu Khrisna makin mencurahkan perhatian pada dunia tulis-menulis. Bahkan bisa dikatakan, sejak itu hidup Khrisna tercurah di dunia tulis-menulis dan perbukuan.
Khrisna pernah menggeluti hampir semua bidang perbukuan. Seperti menulis, mengedit, mengarang, dan proofreader. Hanya satu yang belum pernah digelutinya hingga saat ini, yaitu menerjemahkan.
Pria yang saat ini bekerja sebagai manager editor di Kayla Pustaka ini telah mengedit beragam buku. Bahkan, dia pernah menyunting beberapa buku yang ditulis oleh tokoh-tokoh terkemuka Indonesia. Di antaranya Prof. Dr. Dorodjatun Kuntjoro Jakti (mantan Dubes dan mantan Menko Ekuin), Anas Urbaningrum (Ketua Umum Partai Demokrat), Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, dan masih banyak lagi.
Sejak 2007 hingga sekarang, tidak kurang 10 buku telah ditulis dan telah terbit dari tangan pria berkacamata ini. Selain buku "12 Rahasia Pembelajar Cemerlang", banyak buku lain yang telah ditulisnya. Di antaranya Revolusi Berkomunikasi, Kamus Nama Indah Islami, Rahasia Melatih Daya Ingat, serta yang baru saja terbit, kumpulan cerpen Mengawini Ibu. Dua bukunya akan segera terbit, masing-masing berjudul "Nuwun Sewu Pak Beye: Kritik Cinta dari Rakyat untuk Pemimpinnya", dan sebuah buku antologi puisi

b.      Falsafah Pengarang
Lepas dari masa pengabdian di tengah masyarakat (kesannya disetel lebih heroik), ia mulai mempelajari dunia neurologi secara serius dan menggeluti profesi sebagai trainer dan motivator semenjak 2000.
Hajat menjadi penulis baru terwujud pada 2007 ketika Kolbu berkenan menerbitkan buku pertamanya, 12 Rahasia Pembelajar Cemerlang. Sejak itu, dunia perbukuan menjadi sesuatu yang tak bisa, atau tak akan, ditinggalkannya. Maka bersentuhanlah ia dengan para praktisi perbukuan semisal Bambang Trim, Hernowo, dan yang lainnya.
Kecelakaan terjadi ketika tahun 2008 berkenalan dengan Bamby Cahyadi, Aulya Elyasa, dan Atisatya Arifin. Kebiasaan menganggit puisi–yang ini karena pengaruh M. Aan Mansyur–terlecut kembali karena pengaruh ketiganya.
Keinginan menjadi pengarang membuatnya “bersentuhan” dengan banyak pegiat sastra, terutama Gemi Mohawk, Damhuri Muhammad, Maman S. Mahayana, Putu Wijaya, Hanna Fransisca, Hudan Hidayat, Hasan Aspahani, Kurnia Effendi, Saut Poltak Tambunan, Endah Sulwesi, dan koleganya saat ini di Kayla Pustaka–Salahuddien Gz.
Kecelakaan itulah yang menyebabkannya tercebur ke dunia prosa, dan mulai mengarang cerpen pada bulan Agustus 2009. Anehnya, kecelakaan itu pula yang membidani kelahiran bukunya, Mengawini Ibu: Senarai Kisah yang Menggetarkan.
Sempat menderita alergi yang tak terdata di dunia kedokteran, yakni alergi partai–tolong jangan diterjemahkan sebagai separuh kotoran–terutama karena pernah mengalami trauma politik ketika tidak mau memilih “partai” tertentu yang dianjurkan oleh Pak RT di wilayah kediamannya.
Belakangan ia malah kerap bersentuhan dengan akademisi, pejabat, dan politisi, terutama yang berhubungan dengan dunia perbukuan. Sebut misalnya ketika terlibat sebagai tim penyunting buku Komaruddin Hidayat, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Anas Urbaningrum, Ahmad Nizar Shihab, Rokhmin Dahuri, Riza Shihbudi, dan yang lainnya. Sekarang ia sedang sibuk menggarap buku Terapi Ikhlas, Nuwun Sewu Pak Beye, dan The Dance of Parakang.
Satu-satunya mimpinya yang belum terwujud adalah membangun kafe baca, istana buku yang sekaligus diharapkannya menjadi rumah kreatif bagi siapa saja yang mencintai buku.

c.       Riwayat Pendidikan (Khrisna Pabichara)
Semasa SMA mengakrabi tradisi Makassar, termasuk teater rakyat dan kesenian daerah lainnya, setelah memprakarsai terbentuknya Teater Tutur Jeneponto bersama Agus Sijaya Dasrum, Ahmarullah Sahran, dan Syarifuddin Lagu. Sempat pula menjadi penyiar di sebuah radio swasta, pengalaman yang membuatnya kerap gemetar ketika mendapat tugas mewawancarai tokoh yang diundang untuk mengudara.

B.     Nilai Pendidikan dalam novel Sepatu Dahlan
Karya sastra yang menganut paham apa pun, pertama-tama harus memenuhi hakikat seni sastra; menyenangkan dan berguna atau  dulce et utile (Horatius dalam Teeuw 1984: 51). Bila karya tidak memenuhi hakikat fungsi Dulce et utile, karya sastra itu kurang bermutu atau tidak bermutu. Sebaliknya karya sastra yang bermutu tinggi adalah karya sastra yang di dalamnya mempunyai hakikat dan fungsi karya sastra, dulce et utile (Sudarman, 2007: 45).
Ada beberapa nilai dalam novel Sepatu Dahlan antara lain, nilai pendidikan kesehatan, dan nilai pendidikan sejarah. Nilai-nilai tersebut berfungsi untuk menyampaikan pesan yang ada dalam karya sastra kepada masyarakat kususnya pembaca sehingga bermanfaat.
a.       Nilai Pendidikan Kesehatan
Pendidikan kesehatan adalah proses membuat orang mampu meningkatkan kontrol dan memperbaiki kesehatan individu. Kesempatan yang direncanakan untuk individu, kelompok atau masyarakat agar belajar tentang kesehatan dan melakukan perubahan-peubahan secara suka rela dalam tingkah laku individu (Entjang, 1991).
Wood dikutip dari Effendi (1997), memberikan pengertian pendidikan kesehatan merupakan sejumlah pengalaman yang pengaruh menguntungkan secara kebiasaan, sikap dan pengetahuan yang ada hubungannya dengan kesehatan perseorangan, mayarakat dan bangsa. Kesemuannya ini, dipersiapkan dalam rangka mempermudah diterimannya secara suka rela perilaku yang akan meningkatkan dan memelihara kesehatan.
Menurut Steward dikutip dari Effendi (1997), unsur program kesehatan dan kedokteran yang didalamnya terkandung rencana untk merubah perilaku perseorangan dan masyarakat dengan tujuan untuk membantu tercapainya program pengobatan, rehabilitasi, pencegahan penyakit dan peningkatan kesehatan.
Menurut Ottawwa Charter (1986) yang dikutip dari Notoatmodjo S, memberikan pengertian pendidikan kesehatan adalah proses untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya. Selain itu untuk mencapai derajat kesehatan yang sempurna, baik fisik, mental dan social, maka masyarakat harus mampu mengenal dan mewujudkan aspirasinya, kebutuhannya, dam mampu mengubah atau mengatasi lingkungannya (lingkungan fisik, sosial, budaya, dan sebagainya).
Dapat dirumuskan bahwa pendidikan kesehatan adalah upaya untuk mempengaruhi, dan atau mempengaruhi orang lain, baik individu, kelompok, atau masyarakat, agar melaksanakan perilaku hidup sehat. Sedangkan secara operasional, pendidikan kesehatan merupakan suatu kegiatan untuk memberikan dan atau meningkatkan pengetahuan, sikap, dan praktek masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka sendiri (Notoatmodjo, 2003).
Tujuan pendidikan kesehatan merupakan domain yang akan dituju dari pendidikan kesehatan. Pendidikan kesehatan memiliki beberapa tujuan antara lain pertama, tercapainya perubahan perilaku individu, keluarga dan masyarakat dalam membina dan memelihara perilaku sehat dan lingkungan sehat, serta peran aktif dalam upaya mewujudkan derajat kesehatan yag optimal. Kedua, terbentuknya perilaku sehat pada individu, keluarga dan masyarakat yang sesuai dengan konsep hidup sehat baik fisik, mental dan social sehingga dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian. Ketiga, menurut WHO tujuan penyuluhan kesehatan adalah untuk mengubah perilaku perseorangan dan atau masyarakat dalam bidang kesehatan (Effendy, 1997).
Tujuan utama pendidikan kesehatan adalah agar orang mampu menerapkan masalah dan kebutuhan mereka sendiri, mampu memahami apa yang dapat mereka lakukan terhadap masalahnya, dengan sumber daya yang ada pada mereka ditambah dengan dukungan dari luar, dan mampu memutuskan kegiatan yang tepat guna untuk meningkatkan taraf hidup sehat dan kesejahteraan masyarakat (Mubarak, 2009).
Menurut Undang-undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992 dan WHO, tujuan pendidikan kesehatan adalah meningkatkan kemampuan masyarakat untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan; baik secara fisik, mental dan sosialnya, sehingga produktif secara ekonomi maupun social, pendidikan kesehatan disemua program kesehatan; baik pemberantasan penyakit menular, sanitasi lingkungan, gizi masyarakat, pelayanan kesehatan, maupun program kesehatan lainnya (Mubarak, 2009).
Jadi tujuan pendidikan kesehatan adalah untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman pentingnya kesehatan untuk tercapainya perilaku kesehatan sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatan fisik, mental dan sosial, sehingga produktif secara ekonomi maupun sosial.
Penyampaian pendidikan kesehatan harus menggunakan cara tertentu, materi juga harus disesuaikan dengan sasaran, demikian juga alat bantu pendidikan disesuaikan agar dicapai suatu hasil yang optimal. Untuk sasaran kelompok, metodenya harus berbeda dengan sasaran massa dan sasaran individual. Untuk sasaran massa pun harus berbeda dengan sasaran individual dan sebagainya.
a.       Metode pendidikan individual.
Dalam pendidikan kesehatan, metode pendidikan yang bersifat individual ini digunakan untuk membina perilaku baru, atau seseorang yang telah mulai tertarik kepada suatu perubahan perilaku atau inovasi. Bentuk pendekatan antara lain:
b.      Bimbingan dan penyuluhan (guidance and counseling)
Dengan cara ini kontak antara klien dengan petugas lebih intensif, setiap masalah yang dihadapi oleh klien dapat dikorek, dan dibantu penyelesaiannya.
c.       Interview (wawancara)
Wawancara antara petugas kesehatan dengan klien untuk menggali informasi mengapa ia tidak atau belum menerima perubahan, untuk mengetahui apakah perilaku yang sudah atau yang akan diadopsi itu mempunyai dasar pengertian dan kesadaran yang kuat. Apabila belum maka perlu penyuluhan yang lebih mendalam lagi.
d.      Metode pendidikan kelompok
Dalam memilih pendidikan kelompok, harus mengingat besarnya kelompok sasaran serta tingkat pendidikan formal pada sasaran. Untuk kelompok yang besar, metodenya akan lain dengan kelompok kecil. Efektivitas suatu metode akan tergantung pula pada besarnya sasaran pendidikan.
Kelompok besar: penyuluhan lebih dari 15 orang, dengan metode antara lain (a) Ceramah: metode yang baik untuk sasaran yang berpendidikan tinggi maupun rendah. (b) Seminar : metode ini sangat cocok untuk sasaran kelompok besar dengan pendidikan menengah keatas. Seminar adalah suatu penyajian (presentasi) dari satu ahli dari beberapa ahli tentang suatu topik yang dianggap penting dan biasanya dianggap hangat dmasyarakat.
Kelompok kecil: apabila peserta kegiatan itu kurang dari 15 orang. Metode-metode yang cocok yaitu diskusi kelompok, curah pendapat (brain storming), bola salju (snow balling), kelompok kecil-kecil (bruzz group), role play (memainkan peranan) dan permainan simulasi (simulation game)
e.       Metode pendidikan massa (public)
Metode pendidikan (pendekatan) massa untuk mengkomunikasikan pesan-pesan kesehatan yang ditujukan kepada masyarakat yang sifatnya massa atau public, maka cara yang paling tepat adalah pendekatan massa. Tanpa membedakan golongan umur, jenis kelamin, pekerjaan, status social, tingkat pendidikan dan sebagainya.
Pada umumnya bentuk pendekatan (cara) massa ini tidak langsung. Biasanya mengguanakan atau melalui media massa. Beberapa contoh metode antara lain ceramah umum (public spesking), pidato-pidato diskusi tentang kesehatan melalui media elektronik baik tv maupun radio, simulasi, tulisan-tulisan di majalah atau Koran dan bill board yang di pasang di pnggir jalan, spanduk poster dan sebagainya. (Notoatmodjo, 2005)
f.       Penggunaan alat bantu atau media
Media pendidikan pada hakikatnya adalah alat bantu pendidikan, alat-alat yang digunakan oleh pendidik dalm menyampaikan bahan pendidikan/pengajaran. Disebut media pendidikan kesehatan karena alat- alat tersebut merupakan saluran (channel) untuk menyampaikan informasi kesehatan dan karena alat-alat tersebut digunakan untuk mempermudah penerimaan pesan-pesan kesehatan bagi masyarakat dan klien (Notoatmodjo, 2003).
Salah satu tujuan menggunakan alat bantu yaitu menimbulkan minat, mencapai sasaran yang banyak, merangsang sasaran pendidikan untuk meneruskan pesan-pesan yang diterima kepada orang lain, untuk mempermudah penyampaian, penerimaan informasi oleh sasaran pendidikan, mendorong keinginan orang untuk mengetahui dan menegakkan pengertian yang diperoleh (Notoatmodjo, 2003).
Menurut para ahli, indera indra yang paling banyak menyalurkan pengetahuan ke dalam otak adalah mata. Kurang lebih 75% sampai 87% dari pengetahuan manusia diperoleh disalurkan melalui mata. Sedangkan 13% sampai 25% lainnya tersalur melalui indera lain. Dari sini dapat disimpulkan bahwa alat-alat visual lebih mempermudah cara penyampaian dan penerimaan informasi atau bahan pendidikan (Notoatmodjo, 2003).
Pada garis besarnya hanya ada tiga macam alat bantu pendidikan (alat peraga), antara lain:
1)            Alat bantu melihat (visual aids) yang berguna dalam membantu menstimulasi indera mata (penglihatan)pada waktu terjadinya pendidikan. Alat ini ada 2 bentuk. (1) Alat yang diproyeksikan, misalnya slide, film, film strip dan sebagainya. (2) Alat-alat yang tidak diproyeksikan: (a) Dua dimensi, gambar peta, bagan dan sebagainya. (b) Tiga dimensi, misalnya bola dunia, boneka dan sebagainya.
2)            Alat-alat bantu dengar (audio aids), yaitu alat dapat membantu untuk menstimulasikan indera pendengar pada waktu proses penyampaian bahan pendidikan/pengajaran. Misalnya : piring hitam, radio, pita suara dan sebagainya.
3)            Alat bantu lihat-dengar, seperti televise dan video cassette. Alat-alat bantu pendidikan ini lebih dikenal dengan Audio Visual Aids (AVA) (Notoatmodjo, 2003).
Dalam Novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara yang mengungkapkan kehidupan masyarakat miskin di Desa Kebon Dalem, sangat tidak mungkin masyarakat memiliki kondisi jasmaniah yang sehat. Hal ini disebabkan karena masyarakat sebagian besar bekerja di sektor pertanian. Kondisi Kebon Dalem yang jauh dari kota membuat lokasi tersebut terisolasi dan sangat minim fasilitas kesehatan. Pada novel tersebut dikisahkan banyak masyarakat yang meninggal karena “santet”. Orang yang meninggal karena “santet” perutnya buncit, batuk, dan muntah darah. Kutipan yang menyatakan bahwa terdapat orang yang meninggal karena “santet” sebagai berikut.
“Konon pula, seorang ibu yang terpaksa karena kelaparan, mencabut beberapa batang ketela di sekitar sumur tua Cigrokdan membawa pulang ke rumah. Ketela itu, kabarnya direbus dan dia makan untuk mengganjal perutnya. Beberapa saat kemudian, ibu yang hidup sebatang kara itu ditemukan terkapar muntah darah , perut membuncit, dan sekujur tubuh yang menghitam. Banyak yang mengatakan janda tua, yang suaminya sering digunjingkan sebagai anggota pasukan Laskar Merah, termakan santet berupa bola api tak kasatmata yang dikirim siang hari bolong.”(Khrisna Pabhicara,2012: 68)
Ilustrasi tersebut menggambarkan keadaan masyarakat yang masih primitif. Masyarakat mengkaitkan kematian seseorang dengan hal-hal magis yang tidak realistis. Padahal, apabila ditinjau dari pendidikan kesehatan, orang dengan perut membuncit, batuk, disertai muntah darah merupakan ciri-ciri penderita penyakit liver.
Dalam pendidikan kesehatan, liver atau hati adalah organ terbesar dalam tubuh padat dan juga dianggap kelenjar karena di antara banyak fungsi, itu membuat dan mengeluarkan empedu. Liver ini terletak di bagian kanan atas perut dilindungi oleh tulang rusuk. Penyakit liver adalah setiap gangguan fungsi liver yang menyebabkan penyakit. Liver bertanggung jawab untuk fungsi-fungsi kritis dalam tubuh, hilangnya fungsi-fungsi dapat menyebabkan kerusakan yang signifikan pada tubuh.
Liver adalah satu-satunya organ dalam tubuh yang dapat dengan mudah mengganti sel yang rusak, tetapi jika sel-sel cukup hilang, liver tidak mungkin dapat memenuhi kebutuhan tubuh.
Liver dapat rusak dengan berbagai cara
1. Sel terjadi peradangan (seperti pada hepatitis: hepar = liver + itis = peradangan).
2. Aliran empedu terhambat (seperti di kolestasis: chole = empedu + stasis berdiri =).
3. Kolesterol atau trigliserida menumpuk (seperti di steatosis; steat = lemak + osis = akumulasi).
4.Jaringan liver rusak oleh bahan kimia dan mineral, atau disusupi oleh sel-sel abnormal.
Penyebab Penyakit Liver
1.      Penyalahgunaan alkohol
Alkohol secara langsung racun bagi sel hati dan dapat menyebabkan peradangan hati, disebut sebagai hepatitis alkoholik.
2.      Sirosis
Sirosis adalah tahap akhir dari penyakit hati. Jaringan parut pada hati dan hilangnya sel hati berfungsi menyebabkan hati untuk gagal.
3.      Banyak jamur beracun bagi liver dan makan jamur tak dikenal berkumpul di alam liar dapat mematikan.
4.      Infeksi hepatitis
a.       Hepatitis A adalah infeksi virus yang menyebar terutama melalui rute fecal-oral ketika sejumlah kecil dari kotoran yang terinfeksi secara tidak sengaja tertelan.
b.      Hepatitis B ditularkan oleh paparan cairan tubuh (jarum dari pencandu obat, darah yang terkontaminasi, dan kontak seksual) dan dapat menyebabkan infeksi akut, tetapi juga dapat berkembang menjadi kronis menyebabkan peradangan (hepatitis kronis) yang dapat menyebabkan sirosis dan kanker liver.
c.       Hepatitis C menyebabkan hepatitis kronis.
d.      Hepatitis D adalah virus yang membutuhkan infeksi bersamaan dengan hepatitis B untuk bertahan hidup, dan menyebar melalui paparan cairan tubuh (jarum dari pencandu obat, darah yang terkontaminasi, dan kontak seksual).
e.       Hepatitis E adalah virus yang menyebar melalui paparan makanan dan air yang terkontaminasi.
5.      Virus Lain
Virus lain juga dapat menyebabkan peradangan liver atau hepatitis sebagai bagian dari cluster gejala. Infeksi virus dengan infeksi mononucleosis (virus Epstein Barr), adenovirus, dan virus sitomegalo dapat mengobarkan liver. Non-virus infeksi seperti toksoplasmosis dan Rocky Mountain spotted fever adalah penyebab kurang umum.
6.      Akumulasi  Lemak
NASH atau non-alkohol steatohepatitis (juga disebut sebagai "fatty liver") menggambarkan akumulasi lemak dalam liver yang dapat menyebabkan peradangan liver dan penurunan bertahap dalam fungsi liver.
7.      Hemochromatosis
Hemachromatosis (kelebihan zat besi) adalah gangguan metabolisme yang mengarah ke kadar besi abnormal dalam tubuh. Kelebihan zat besi dapat terakumulasi dalam jaringan dari, pankreas jantung liver, dan dan dapat menyebabkan peradangan, sirosis, kanker liver, dan gagal liver.
8.      Penyakit Wilson
Penyakit Wilson merupakan penyakit bawaan yang mempengaruhi kemampuan tubuh untuk memetabolisme tembaga. Penyakit Wilson dapat menyebabkan sirosis dan gagal liver.
9.      Penyakit Gilbert
Pada penyakit Gilbert, adalah kelainan dalam metabolisme bilirubin dalam liver.
10.  Kanker
Kanker primer liver timbul dari struktur liver dan sel. Dua contoh termasuk karsinoma hepatoseluler dan cholangiocarcinoma.
11.  Kelainan Aliran Darah
Budd Chiari syndrome adalah penyakit di mana gumpalan darah terbentuk di vena hepatik dan mencegah darah meninggalkan liver.
12.  Sirosis bilier primer dan primary sclerosing cholangitis
Sirosis bilier primer dan primary sclerosing cholangitis dapat menyebabkan jaringan parut progresif dari saluran-saluran empedu, menyebabkan mereka untuk menjadi sempit, yang menghasilkan aliran empedu dikurangi melalui liver. Gejala klasik penyakit liver diantaranya: mual, muntah, kuadran kanan atas perut sakit, jaundice (perubahan warna kuning pada kulit karena konsentrasi bilirubin tinggi dalam aliran darah), serta kelelahan, kelemahan dan penurunan berat badan juga mungkin terjadi.
Namun, karena ada berbagai penyakit liver, gejala cenderung spesifik untuk penyakit yang sampai stadium akhir penyakit liver dan gagal liver terjadi.
Diagnosi Penyakit Liver
1.      Pemeriksaan Fisik
Penyakit liver dapat memiliki temuan fisik yang mempengaruhi hampir semua sistem tubuh termasuk jantung, paru-paru, perut, kulit, otak dan fungsi kognitif, dan bagian lain dari sistem saraf. Pemeriksaan fisik sering membutuhkan evaluasi seluruh tubuh.
2.      Tes darah
 Sangat membantu dalam menilai peradangan liver dan fungsi, Tes darah untuk fungsi liver khusus meliputi:
a)      AST dan ALT (bahan kimia transaminase dirilis dengan peradangan sel liver);
b)      GGT dan alkalin fosfatase (bahan kimia yang dikeluarkan oleh sel yang melapisi saluran empedu);
c)      Bilirubin
d)     Protein dan kadar albumin.
e)      Tes darah lainnya dapat dipertimbangkan, termasuk yang berikut:
f)       Hitung darah lengkap (CBC),
g)      INR darah fungsi pembekuan mungkin terganggu karena produksi protein yang buruk dan merupakan ukuran sensitif fungsi liver;
h)      Lipase untuk memeriksa peradangan pankreas;
i)        Elektrolit, BUN dan kreatinin untuk menilai fungsi ginjal, dan
j)        Amonia darah penilaian tingkat sangat membantu pada pasien dengan kebingungan mental.
3.      Pencitraan
Pencitraan dapat digunakan untuk memvisualisasikan, tidak hanya liver, tetapi organ terdekat lain yang mungkin sakit. Contoh pencitraan meliputi:
a)      CT scan (tomografi aksial komputerisasi),
b)      MRI (magnetic resonance imaging), dan
c)      USG (gelombang pencitraan suara, yang sangat membantu dalam menilai kandung empedu dan saluran empedu.
Biopsi liver mungkin dipertimbangkan untuk mengkonfirmasi diagnosis spesifik dari penyakit liver.
Pengobatan Penyakit Liver
Setiap penyakit liver akan memiliki cara pengobatan sendiri yang spesifik. Sebagai contoh, hepatitis A memerlukan perawatan suportif untuk mempertahankan hidrasi sementara perkelahian sistem kekebalan tubuh dan mengatasi infeksi. Pasien dengan batu empedu mungkin memerlukan pembedahan untuk mengangkat kantong empedu. Penyakit lain mungkin perlu jangka panjang perawatan medis untuk mengontrol dan meminimalkan konsekuensi dari penyakit mereka
Pada pasien dengan sirosis dan stadium akhir penyakit liver, pengobatan mungkin diperlukan untuk mengontrol jumlah protein diserap dalam makanan. Pada pasien dengan jumlah besar cairan asites (cairan terakumulasi di rongga perut), cairan berlebih mungkin harus sesekali dihapus dengan jarum suntik (paracentesis). Operasi mungkin diperlukan untuk mengobati hipertensi portal dan meminimalkan risiko perdarahan. Transplantasi liver adalah pilihan terakhir bagi pasien yang telah gagal liver.
Novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara menceritakan masyarakat Kebon Dalem yang miskin. Kemiskinan itu menutut masyarakat untuk bekerja lebih keras agar dapat memenuhi kebutuhan hidup. Pengarang menceritakan kepedihan ini dengan halus. Dalam novel ini, keluarga Dahlan dikisahkan sebagai salah satu masyarakat miskin yang hidup di Kebon Dalem. Keluarga Dahlan harus bekerja siang-malam agar dapat menikmati sepiring tiwul. Kondisi ini menyebabkan keluarga Dahlan tidak sempat mengontrol kesehatannya, sehingga pada suatu hari tokoh Ibu mengidap penyakit liver yang sangat membahayakan jiwanya. Hal ini terdapat dalam kutipan sebagai berikut.
“Alangkah terkejutnya aku ketika melihat ibuku berjongkok sambil memegangi batang pisang. Bahunya terguncang-guncang menahan batuk.”

b.       Nilai Pendidikan Sejarah
Menurut Carr (1982: 30) menyebutkan bahwa "history is a continuous process of interaction between the historian and his facts, and undending dialogue between the present and the past" yang berarti bahwa sejarah merupakan proses berkesinambungan dari interaksi antara sejarawan dan fakta-fakta serta dialog antara masa kini dan masa lalu. Menurut Daniel dan Banks (1996: 6) Daniel berpendapat: bahwa sejarah adalah kenangan pengalaman umat manusia. Sedangkan Banks berpendirian bahwa semua kejadian di masa lalu adalah sejarah dan sejarah adalah sebagai aktualitas. Sedangkan Menurut Costa (Burger, 1970: 44) sejarah dapat didefinisikan sebagai "record of the whole human experience". Dimana pada hakikatnya sejarah merupakan catatan seluruh pengalaman, baik secara individu maupun kolektif bangsa/nation dimasa lalu tentang kehidupan umat manusia.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan sejarah merupakan suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari segala peristiwa atau kejadian yang telah terjadi pada masa lampau dalam kehidupan umat manusia.
Sejarah mempunyai sifat yang khas dibanding ilmu yang lain,yaitu:
1.      Adanya masa lalu yang berdasarkan urutan waktu atau kronologis.
2.      Peristiwa  sejarah menyangkut tiga dimensi waktu yaitu masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang
3.      Ada hubungan sebab akibat atau kausalitas dari peristiwa tersebut
4.      Kebenaran dari peristiwa sejarah bersifat sementara (merupakan hipotesis) yang akan gugur apabila ditemukan data pembuktian yang baru.

Sejarah merupakan cabang ilmu pengetahuan yang mengkaji secara sistematis keseluruhan perkembangan proses perubahan dinamika kehidupan masyarakat dengan segala aspek kehidupannya yang terjadi di masa lampau.
Masa lampau itu sendiri merupakan sebuah masa yang sudah terlewati. Tetapi, masa lampau bukan merupakan suatu masa yang final, terhenti, dan tertutup. Masa lampau itu bersifat terbuka dan berkesinambungan. Sehingga, dalam sejarah, masa lampau manusia bukan demi masa lampau itu sendiri dan dilupakan begitu saja sebab sejarah itu berkesinambungan apa yang terjadi dimasa lampau dapat dijadikan gambaran bagi kita untuk bertindak dimasa sekarang dan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik di masa mendatang. Sehingga, sejarah dapat digunakan sebagai modal bertindak di masa kini dan menjadi acuan untuk perencanaan masa yang akan datang.
Kejadian yang menyangkut kehidupan manusia merupakan unsur penting dalam sejarah yang menempati rentang waktu. Waktu akan memberikan makna dalam kehidupan dunia yang sedang dijalani sehingga selama hidup manusia tidak dapat lepas dari waktu karena perjalanan hidup manusia sama dengan perjalanan waktu itu sendiri. Perkembangan sejarah manusia akan mempengaruhi perkembangan masyarakat masa kini dan masa yang akan datang.
Sejarah dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, yaitu :
1.         Sejarah sebagai Peristiwa
Sejarah merupakan peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Sehingga sejarah sebagai peristiwa yaitu peristiwa yang sebenarnya telah terjadi/berlangsung pada waktu lampau serta tidak bisa diulangi pada masa kini.
Ciri utama dari Sejarah sebagai peristiwa adalah sebagai berikut.
a.       Abadi
Peristiwa tersebut tidak berubah-ubah. Sebuah peristiwa yang sudah terjadi dan tidak akan berubah ataupun diubah. Oleh karena itulah maka peristiwa tersebut atas tetap dikenang sepanjang masa.
b.      Unik
Karena peristiwa itu hanya terjadi satu kali. Peristiwa tersebut tidak dapat diulang jika ingin diulang tidak akan sama persis.
c.       Penting
Karena peristiwa yang terjadi tersebut mempunyai arti bagi seseorang bahkan dapat pula menentukan kehidupan orang banyak.
Tidak semua peristiwa dapat dikatakan sebagai sejarah. Sebuah kenyataan sejarah dapat diketahui melalui bukti-bukti sejarah yang dapat menjadi saksi terhadap peristiwa yang telah terjadi. Agar sebuah peristiwa dapat dikatakan sebagai sejarah maka harus memenuhi ciri-ciri berikut ini.
a)      Peristiwa tersebut berhubungan dengan kehidupan manusia baik sebagai individu maupun kelompok.
b)      Memperhatikan dimensi ruang dan waktu (kapan dan dimana)
c)      Peristiwa tersebut dapat dikaitkan dengan peristiwa yang lain
Contoh: peristiwa ekonomi yang terjadi bisa disebabkan oleh aspek politik, sosial dan budaya.
d)     Adanya hubungan sebab-akibat dari peristiwa tersebut.
Adanya hubungan sebab akibat baik karena faktor dari dalam maupun dari luar peristiwa tersebut. Penyebab adalah hal yang menyebabkan peristiwa tersebut terjadi.
e)      Peristiwa sejarah yang terjadi merupakan sebuah perubahan dalam kehidupan.
f)       Hal ini disebabkan karena sejarah pada hakekatnya adalah sebuah perubahan dalam kehidupan manusia. Selain itu, sejarah mempelajari aktivitas manusia dalam konteks waktu. Perubahan tersebut dapat meliputi berbagai aspek kehidupan seperti politik, sosial, ekonomi, dan budaya.
  
2.     Sejarah sebagai Kisah
Sejarah sebagai kisah merupakan rekonstruksi dari suatu peristiwa yang dituliskan maupun diceritakan oleh seseorang. Sejarah sebagai sebuah kisah dapat berbentuk lisan dan tulisan.
a.       Bentuk lisan,
Contoh penuturan secara lisan baik yang dilakukan oleh seorang maupun kelompok tentang peristiwa yang telah terjadi.
b.      Bentuk tulisan
Sejarah dapat berupa kisah yang ditulis dalam buku-buku sejarah.
Sejarah sebagai kisah sifatnya akan subjektif karena tergantung pada interpretasi atau penafsiran yang dilakukan oleh penulis sejarah. Subjektivitas terjadi lebih banyak diakibatkan oleh faktor-faktor kepribadian si penulis atau penutur cerita. Sejarah sebagai kisah dapat berupa narasi yang disusun berdasarkan memori, kesan, atau tafsiran manusia terhadap kejadian atau peristiwa yang terjadi pada waktu lampau.

3.     Sejarah sebagai Ilmu
Sejarah merupakan ilmu yang mempelajari masa lampau manusia. Sebagai ilmu, sejarah merupakan ilmu pengetahuan ilmiah yang memiliki seperangkat metode dan teori  yang dipergunakan untuk meneliti dan menganalisa serta menjelaskan kerangka masa lampau yang dipermasalahkan.
Sejarah sebagai ilmu memiliki objek, tujuan dan metode. Sebagai ilmu sejarah bersifat empiris dan tetap berupaya menjaga objektiviatsnya sekalipun tidak dapat sepenuhnya menghilangkan subjektifitas.
Menurut Kuntowijoyo, ciri-ciri atau karakteristik sejarah sebagai ilmu adalah sebagai berikut.
a.    Bersifat Empiris
Bersifat empiris sebab sejarah melakukan kajian pada peristiwa yang sungguh terjadi di masa lampau. Sejarah akan sangat tergantung pada pengalaman dan aktivitas nyata manusia yang direkam dalam dokumen. Untuk selanjutnya dokumen tersebut diteliti oleh para sejarawan untuk menemukan fakta yang akan diinterpretasi/ditafsirkan menjadi tulisan sejarah.
b.    Memiliki Objek
Objek sejarah yaitu perubahan atau perkembangan aktivitas manusia dalam dimensi waktu (masa lampau).
Waktu merupakan unsur penting dalam sejarah. Waktu dalam hal ini adalah waktu lampau sehingga asal mula maupun latar belakang menjadi pembahasan utama dalam kajian sejarah.
c.     Memiliki Teori
Teori merupakan pendapat yang dikemukakan sebagai keterangan mengenai suatu peristiwa. Teori dalam sejarah berisi satu kumpulan tentang kaidah-kaidah pokok suatu ilmu. Teori tersebut diajarkan berdasarkan keperluan peradaban. Rekonstruksi sejarah yang dilakukan mengenal adanya teori yang berkaitan dengan sebab akibat, eksplanasi, objektivitas, dan subjektivitas.
d.    Memiliki Metode
Metode merupakan cara yang teratur dan terpikir baik untuk mencapai suatu maksud. Setiap ilmu tentu memiliki tujuan. Tujuan dalam ilmu sejarah adalah menjelaskan perkembangan atau perubahan kehidupan masyarakat. Metode dalam ilmu sejarah diperlukan untuk menjelaskan perkembangan atau perubahan secara benar. Dalam sejarah dikenal metode sejarah guna mencari kebenaran sejarah. Sehingga seorang sejarawan harus lebih berhati-hati dalam menarik kesimpulan jangan terlalu berani tetapi sewajarnya saja.
e.     Mempunyai Generalisasi
Studi dari suatu ilmu selalu ditarik suatu kesimpulan. Kesimpulan tersebut menjadi kesimpulan umum atau generalisasi. Jadi generalisasi merupakan sebuah kesimpulan umum dari pengamatan dan pemahaman penulis.
Ciri sejarah sebagai seni, terdapat :
a.       Intuisi
Intuisi merupakan kemampuan mengetahui dan memahami sesuatu secara langsung mengenai suatu topik yang sedang diteliti.
b.      Emosi
Emosi merupakan luapan perasaan yang berkembang.
c.       Gaya Bahasa
Gaya bahasa merupakan cara khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk tulisan atau lisan.
d.      Imajinasi
Imajinasi merupakan daya pikiran untuk membayangkan kejadian berdasarkan kenyataan atau pengalaman seseorang (khayalan).
Dalam Novel Sepatu Dahlan Karya Khrisna Pabichara mengungkapkan sejarah bangsa Indonesia dengan pengaruh komunismenya. Kutipan yang menunjukkan hal tersebut sebagai berikut.
“Laskar Merah, begitulah orang-orang tua di kampungku menamai pasukan bentukan “sayap kiri” Front Demokrasi Rakyat. Bermula dari rapat raksasa di alu-alun Madiun, 15 Agustus 1948. Musa yang waktu itu digelari Sang Snabi dari Moskow, mengecam dan menuding bahwa Kabinet Hatta telah gagal membawa rakyat Indonesia memasuki gerbang kesejahteraan. Muso berpidato dengan berapi-api, membakar semangat rakyat yang selama ini miskin, terbelakang, dan buta huruf. Rapat raksasa itu dihadiri berpuluh-puluh ribu rakyat dari seantero Karesidenan Madiun. Bagi rakyat yang miskin, buta huruf, dan mendambakan hidup yang lebih, kabar kedatangan Sang Nabi dari Moskow bagai hujan yang diidam-idamkan sepanjang musim kemarau. Lalu, pada pertengahan September 1948, di Madiun, berdirilah sebuah Negara, Republik Soviet Indonesia. Negara itu didirikan oleh FDR. Dan, siapa saja yang berani menentang pendirian Negara baru itu akan “diamankan”. (Khrisna Pabichara,2012: 64-65)
Dalam novel ini juga diceritakan bahwa banyak warga di Madiun yang ditangkap oleh para anggota Laskar Merah tanpa sebab yang jelas. Sebagian besar dari yang ditangkap itu tidak kembali, dan ada yang kembali dengan keadaan yang mengenaskan. Kutipan yang menunjukkan uraian terseut sebagai berikut.
“Laskar Merah juga menduduki pos-pos Polsek, Polres, depo militer, dan Kodim. Kantor Bupati, Residen, dan Kejaksaan mereka rebut. Tak luput pula kantor Camat dan Kelurahan. Dalam rentang yang singkat, mereka menguasai Madiun, Magetan, Ngawi, Ponorogo, Pacitan ,Kudus, Cepu, dan Trenggalek. Bupati, wedana, kepala polisi, jaksa, komandan depo, kiai, guru, pemimpin partai, dan siapa saja yang diduga berseberangan dengan “sayap kiri” FDR, beramai-ramai digiring ke sebuah loji—barak bagi karyawan pabrik gula—PG. Redjo Agung, lalu diangkaut dengan lori menuju loji PG. Gorang Gareng, kemudian “benar-benar dibersihkan” di sana. Tawanan-tawanan itu disemayamkan di dua sumur tua Soco, sebuah sumur tua di tengah tegalan ketela di Cigrok, dan sebuah lagi Dusun Dadapan,”(Khrisna Pabichara,2012: 65)



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Bagian ini merupakan penyimpulan dari bab pembahasan terhadap temuan penelitian serta menjawab tujuan penelitian. Adapun penyimpulannya sebagai berikut.
Pertama, struktur novel  Sepatu Dahlan bertema sentral yaitu masalah mimpi dan cita-cita anak-anak miskin di Desa Kebon Dalem. Selain tema sentral, Novel Sepatu Dahlan memiliki tema sampingan yaitu maslah keluarga dan persahabatan anak-anak miskin di Desa Kebon Dalem.
Kedua, alur yang terdapat dalam  Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara memiliki alur mundur (flashback).
Ketiga, penokohan dan perwatakan yang terdapat dalam novel  Sepatu Dahlan pada tokoh protagonis adalah pekerja keras dan berbakti kepada orang tua. Namun tokoh Dahlan  (Sepatu Dahlan) memiliki watak nakal seperti anak-anak pada umumnya.
 Keempat, latar novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara menggunakan penunjuk waktu tahun, jam, serta keadaan pagi, siang, sore dan malam. Kemudian pada novel Sepatu Dahlan menggunakan latar pedesaan dan kehidupannya sebagai seorang pemimpi.
Kelima, point of view atau sudut pandang yang digunakan dalam novel  Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara adalah pesona atau gaya “aku” pengarang berada di dalam cerita.
Keenam, dari segi kepengarangannya, Khrisna Pabichara memiliki pemikiran bahwa Dahlan merupakan seorang anak yang suka bekerja untuk membantu orang tua. Namun tetap mengacu pada tema yaitu mimpi dan cita-cita anak-anak miskin di Desa Kebon Dalem.
Ketujuh, dapat diketahui bahwa novel Sepatu Dahlan memberikan pengaruh terhadap terciptanya novel lain. Dengan demikian, novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara merupakan hipogram novel lainnya.

B.     Saran
Saran-saran ini ditujukan kepada pendidik dan tenaga kependidikan, para peneliti sastra, penulis buku dan sastrawan untuk dapat dijadikan sebagai bahan  pertimbangan dalam mengabdikan tugas-tugas mereka. 
1)      Untuk Pendidik
a.       Novel  Sepatu Dahlan sangat baik digunakan sebagai bahan pelajaran sastra.
b.      Nilai pendidikan yang terkandung dalam  Sepatu Dahlan sangat baik untuk nilai pendidikan bagi siswa SMA dan generasi muda umumnya. Nilai pendidikan kesehatan serta nilai pendidikan sejarah sangat baik ditanamkan kepada generasi muda.
2)      Penyusun buku pelajaran
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan penyusunan materi buku ajar.
3)      Pembaca
a.       Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca. Khususnya mengenai pembahasan tokoh dan perwatakannya.
b.      Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pembaca mengenai nilai-nilai pendidikan yang ada didalamnya.
4)      Peneliti berikutnya
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk penelitian berikutnya ketika menganalisis karya sastra.


LAMPIRAN

A.    Identitas Buku
Judul                     : Sepatu Dahlan
Penulis                   : Khrisna Pabichara
Penerbit                 : Noura Books
Kota terbit             : Jakarta
Tahunl terbit          : Mei 2012
Cetakan ke                        : I
Tebal                     : 369 hlm
Harga                    : Rp 62.500,00

B.     Sinopsis
“Kemiskinan yang dijalani dengan cara yang tepat, akan mematangkan jiwa.”
Kisah dalam novel ini ditulis dengan alur mundur. Bermula dari mimpi “18 Jam Kematian” saat Dahlan menjalani operasi pencangkokan liver di negeri Tiongkok. Mimpi itu membawanya pada kenangan masa kecil, saat ia hidup bersama Bapak, Ibu, adiknya Zain di Kebon Dalem. Dahlan kecil lahir di sebuah keluarga petani yang miskin. Kedua kakaknya, mbak Atun dan mbak Sofwati memilih untuk pergi merantau dan mencari penghidupan sendiri. Namun di tengah kemiskinan, orang tua Dahlan mendidik anak-anaknya dengan kedisiplinan dan moral yang baik. Usai lulus Sekolah Rakyat, sebenarnya Dahlan berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan ke SMP Magetan. Namun hal ini ditentang oleh sang Bapak yang menginginkan Dahlan menimba ilmu di pesantren Takeran, milik keluarga besar sang Ibu. Dahlan tak mampu menolak, terlebih dua angka merah di rapornya dan keterbatasan ekonomi keluarganya cukup menjadi alasan baginya untuk mengurungkan keinginan.
Di hari pertama masuk Tsanawiyah, sang Bapak membekali Dahlan dengan tiga hal. Jangan ingin kaya dan jangan takut miskin (ojo kepingin sugih lan ojo wedi mlarat), tidak menyia-nyiakan waktu hanya untuk mencari jabatan (sumber bening ora bakal golek timbo), dan lebih baik miskin tapi beriman daripada kaya namun tidak beriman (mlarat ananging iman luwih becik tinimbang sugih tanpa iman). (Khrisna Pabichara,2012: 31)
Sejatinya, cita-cita Dahlan sangat sederhana yakni memiliki sepatu dan sepeda. Di mata Dahlan, sosok teman-temannya yang memakai sepatu ke sekolah sangatlah gagah. Selain itu, perjalanan sejauh 6 kilometer ke sekolah bukan hal yang mudah untuk dijalani. Kakinya kerap melepuh karena panas matahari yang terik di siang hari. Belum lagi siksaan lapar yang sudah menghiasi keseharian Dahlan.
Ibu Dahlan yang mengerti keletihan sang anak pun berjanji akan membelikan sepatu untuknya. Namun malang tak dapat dielak, di satu pagi sang Ibu jatuh tergeletak di pekarangan rumah dengan darah berwarna merah kehitaman di ujung bibirnya. Sang Ibu meninggal akibat penyakit liver yang menyerang tubuhnya. Di usia mudanya, Dahlan sudah banyak merasa kehilangan. Ia kerap meluapkan kesedihan hatinya dalam buku harian, hanya untuk sekedar meringankan beban hidup yang berat.
Di atas segala kesedihan hidup, cita-cita tentang sepatu dan sepeda terus membuat Dahlan bekerja keras. Selain sekolah, Dahlan giat bekerja menyabit rumput di waktu subuh, menggembala domba di sore hari, dan nguli nyeset di ladang tebu. Meski kemiskinan telah mengajari Dahlan bahwa banyak yang lebih penting dibeli dibanding sepatu; tiwul, minyak goreng, dan kebutuhan lainnya.
“Kita dapat menjadi orang yang merasa tidak beruntung karena lahir di tengah-tengah keluarga miskin, bermimpi ketiban rezeki semacam “durian runtuh” agar bisa membeli benda-benda idaman, atau membayangkan hal-hal lain yang menggiurkan seperti nasib baik anak-anak orang kaya. Tapi, kita juga dapat memilih menjalani hidup dengan wajar dan penuh keriangan, berusaha membantu orangtua sedapat mungkin, meraih segala yang didamba dengan keringat sendiri, dan tetap antusias memandang masa depan.” (Khrisna Pabichara,2012: 248)
Novel ini bukan sebuah biografi Dahlan Iskan, karena sarat dengan unsur fiksi yang kuat. Tokoh Arif, Kadir, Imran, Maryati, dan Komariyah dihadirkan untuk meramaikan kehidupan Dahlan di Kebon Dalem. Hadir pula Aisha, putri mandor pabrik gula, yang diam-diam menjadi pujaan hati Dahlan sejak di Tsanawiyah. “Hidup, bagi orang miskin, harus dijalani apa adanya. Hukum alam. Maka, sebagai orang miskin, aku tidak mau berharap terlalu muluk-muluk. Aku segera menghapus impian yang ketiga, Aisha. Pengalaman mengantar Aisha ke rumahnya, setelah pernah malu bukan kepalang karena terjun bebas ke selokan di depan matanya, adalah anugerah indah bagiku. Cukuplah itu.” (hlm. 322)


DAFTAR PUSTAKA

Adityana, Rina. http://www.freewebs.com/rinanditya/pengertiansejarah. Diakses pada tanggal 26 Oktober 2012.Pukul 19.00 WIB.
Andre, Hardjana. 1981. Kritik Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: PT Gramedia Jakarta.
Atar, Semi. 1989. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.
Budianta, Melani. 1993. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Fukushima, Arisa. http://akusukamenulis.wordpress.com/2012/06/15/
belajar-perjuangan-hidup-dari-sepatu-dahlan/#more-2279. Diakses pada tanggal 21 Oktober 2012. Pukul 15.00 WIB.
Nenden, Sri Lengkanawati. 2006. Bahasa dan Sastra. Bandung: Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas Pendidikan Indonesia.

-penyebab-gejala-dan.html. Diakses pada tanggal 26 Oktober 2012. Pukul 17.00 WIB.
Retno, Winarni. 2009. Kajian Sastra. Salatiga: Widya Sari Press.
Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.
Wellek, Rene & Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Zainuddin, Fananie. 2000. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press.

1 komentar: